Oleh: Kartika Demia
Ketika Alene van Nijenroode berdiri di pucuk jendela dengan cucuran air mata, Gritje mencoba meraih tangannya, mengajaknya kembali. Gadis bergaun silk duchess sewarna gading itu putus asa, jemari kakinya gemetar berdiri melawan angin dari lantai tiga. Bagai menginjak pucuk duri yang bisa runtuh kapan saja.
“Kumohon, jangan melompat. Kau harus memikirkan anakmu,” Gritje memandang perut Alene yang membulat sempurna. Dari balik bahu-bahu yang mengerumuni ruangan itu, di barisan belakang tampak seorang perempuan mengelus perut yang sama besarnya, matanya buram oleh selaput air mata yang membayang.
“Karena anak inilah aku ingin mati!” Teriakan Alene itu mampu membuat Gritje mundur selangkah, membuat wanita paruh baya itu diam. Para perempuan yang mengerumuninya, memanggil-manggil namanya untuk segera kembali kepada mereka. Bibir Alene bergetar, “Lebih baik aku mati daripada melahirkan anak dari keparat itu!”
Sedetik setelah gadis itu berteriak, sebuah letusan terdengar. Para perempuan itu sadar bahwa sebuah peluru tiba-tiba menembus kepala Alene. Serta merta tubuhnya jatuh dan terhempas ke tanah. Dari bawah sana, berdiri angkuh Mayor Sabarudin dengan senapannya, “Siapa lagi yang mau mati?”
***
Sebelumnya gedung itu adalah villa bupati Belanda, terletak di dataran tinggi Tretes dengan pemandangan seluruh penjuru Kota Mojokerto yang dapat terlihat dari sana. Saat Sabarudin menjabat sebagai Kompol Tentara Keamanan Rakyat tentu punya wewenang untuk menghabisi keluarga si bupati. Lelaki keturunan Aceh itu menyulapnya menjadi wisma bagi harem-haremnya. Pada ruangan berkorden kain brokat, cat putih menyaput seluruh dinding, dengan beberapa jongos pribumi dan tentu saja pasukan Sabarudin selalu siaga menjaga tempat itu agar tak ada yang dapat keluar barang sejengkal pun.
Malam itu tentu saja lebih kelam dari sebelum-sebelumnya. Para none Belanda masih berkabung. Gritje menyulam mantel dari benang wol warna merah, di sisinya gadis cilik berumur dua belas tahun duduk khusyuk memandangnya bekerja. “Apakah kau masih takut?” sang ibu bertanya.
Gadis itu tak menjawab, lekas Gritje meraihnya. “Lihat, Ibu membuatkan mantel untukmu.” Senyum wanita itu mengembang meyakinkan anaknya bahwa semua akan baik-baik saja.
Saat itu seorang perempuan dengan rambut sewarna tembaga langsung berdiri, “Kalian masih bisa tersenyum?” mata perempuan itu menyala-nyala. “Setelah kematian Alene, dan kau bilang semua akan baik-baik saja?!”
“Marien, aku mohon …”
“Cukup Gritje! Aku sudah muak.”
Ada emosi yang meluap-luap dari wajah Marien, kulit pucatnya seketika memerah marah. Bayangan suaminya ditembak mati oleh Sabarudin masih terngiang di kepala. Apa yang dimilikinya semua dirampas. Kariernya sebagai dokter yang bermukim di sudut Kota Yogyakarta kini berupa kenang. Setiap kali Sabarudin selesai menidurinya, perempuan itu selalu menggosok semua tubuhnya hingga merah. Tubuhnya seolah-olah berubah sangat kotor dan hina. Ia ingin mati saja. “Ada benarnya apa yang dilakukan Alene,” ucapnya lirih lalu duduk menyembunyikan matanya yang berkaca.
Ucapan itu membuat Gritje menatapnya nanar, ibu itu lantas memeluk sang anak. Dalam benaknya ia membenarkan semua ucapan Marien. Takdir mereka sebagai budak nafsu bagi mantan Shodancho itu tak dapat terelakkan. Gritje mengantarkan anaknya ke ranjang, menyadari wajah si anak yang semakin tirus – tak ada kebahagiaan. “Ibu, kapan kita pulang?”
Dengan kecupan di kening yang seketika menghangatkan rona si kecil, sang ibu berkata seperti setiap malam-malam sebelumnya, “Tidurlah. Besok kita pulang.”
***
Esoknya sebuah keributan terjadi di wisma harem. Perempuan dengan perut besar berumur sembilan bulan tampak mengaduh kesakitan. Air ketuban telah pecah, membuat panik siapapun yang melihatnya. Wajah Gritje tegang dan segera mencari Marien. “Ibu, aku melihat Marien di dekat dapur.” Si gadis menyadari ibunya yang kelimpungan.
Sekonyong-konyong Gritje berlari menyongsong dokter itu. Dilihatnya Marien minum teh di antara meja dapur, saat itu ada seorang perempuan Jawa sedang mencuci piring. Gritje tak melihat mereka bercakap atau apa, tak menggubris pula apa yang sebenarnya dilakukan Marien di sana. Dengan napas satu-satu, Gritje berkata bahwa seseorang akan segera melahirkan. Namun dokter itu bergeming, tak kuasa menambah satu nyawa lagi di rumah ini. Dalam pikirnya, semua itu hanya akan menambah kesedihan, kehampaan saat semua kebebasan terampas. “Dokter Marien van Aelst?” Gritje menekankan suaranya.
Sejenak Marien menutup mata, lalu iris abunya berkilat memandang Gritje, “Baiklah.”
Para perempuan itu seolah mewujud satu keluarga, memaksa menjadi harem yang setia bagi Mayor Sabarudin. Beberapa masih mengharap kebebasan, seperti perempuan yang berjuang melahirkan anaknya kini. Dalam kesakitan yang ia rasakan, ia mengingat ayah dan ibunya di tanah kelahiran. Sebagai pengajar di Hollandsche Indische, wajahnya sangat rupawan hingga bisa mengalahkan paras ayu putri bupati Sidoarjo yang gagal dinikahi Sabarudin. Benar saja lelaki itu bangga bisa menghamilinya. Serupa memperoleh kemenangan karena kekalahannya mendapatkan putri bupati. Raut congkak Sabarudin ia turunkan pada wajah bayi yang dilahirkan si none Belanda. Seorang bayi perempuan bermata biru lahir ke dunia. Mewarisi alis dan rahang keras milik Sabarudin. Gritje bernapas lega dan segera memandikan bayi berlumur darah dalam gendongan.
Nyatanya, sebagai seorang dokter, Marien tak bisa membiarkan itu terjadi. Tak bisa benar-benar membiarkan seorang perempuan hampir meregang nyawa karena sakit oleh sembilan bulan. Lalu mendadak anak buah Sabarudin datang memanggil namanya dan membuyarkan lamunan. Marien yang belum sempat membasuh tangan dipaksa keluar. Perempuan itu dibawa menuju kamar utama, kamar di mana Sabarudin menunggunya. Di saat-saat tertentu sang mayor biasa mengunjungi tempat ini.
Sebuah ruangan paling besar dari yang lainnya. Paling kokoh jika dipandang. Dengan aroma bunga dari rangkaian mawar dan kembang sepatu di setiap sudut ruang. Gorden putih berenda yang merumbai-rumbai. Dan lampu kristal yang sama klasiknya dengan lukisan-lukisan yang terpajang di dinding. Marien berdiri diam di tengah ruang setelah anak buah Sabarudin menutup pintu. Dari situ Marien tahu apa yang setelahnya akan terjadi.
“Aku rindu padamu.” Ada bau alkohol yang menguar dari mulut pria itu. Matanya jalang menatap lekuk dada Marien yang seolah menantangnya.
Tanpa berkata apa, Marien menatapnya nyalang.
Sabarudin menangkap bercak darah di tangan Marien. “Bersihkan dirimu dulu.” Dengan satu jentikan jari saja, dua orang perempuan pribumi segera membawa Marien ke jeding. Membersihkannya dari darah dan kotoran. Lalu Marien sadar, sampai kapan pun tubuhnya tidak akan benar-benar bisa bersih sekarang. Kotor. Sekotor pikiran si mayor saat itu. Sehina apa yang Sabarudin lakukan padanya setiap waktu. Marien semakin mengamini untuk membenci dirinya sendiri. Lalu angan-angan itu semakin menajam di kepalanya. Sesuatu yang telah ia pikirkan sedari siang saat di dapur. Saat ia mengamati pembantu pribumi yang sibuk di sana. Marien melihat setiap detilnya. Lalu ia kembali ke kamar dengan aroma Sabarudin yang membekas pada tubuhnya. Bau yang membuatnya mual. Ia membayangkan akan mencebur ke lautan alkohol agar tubuhnya steril kembali. Lantas ia meratapi tubuhnya yang ia gosok berulang kali sampai merah di kamar mandi. Dengan keran mengucur deras menyamarkan air matanya.
Esoknya saat matahari menyala nyalang di atas kepala, para perempuan itu melihat asap yang membumbung di halaman. Sebuah jeritan terdengar, dua tubuh menggelepar. Sabarudin menemukan penyusup di daerah kekuasaannya. Dua pemuda Ambon ia tangkap. Lalu tanpa bertanya babibu langsung dibakarnya.
Gritje menutup mata anaknya, melarang melihat kekejaman yang dibuat Sabarudin. Masih mencium samar bau bensin, ketika pintu ruangan harem mendadak terbuka, berdirilah sang mayor di sana. “Aku ingin sesuatu yang lain.” Wajahnya serupa setan yang bisa menggilas nyawa mereka kapan saja. Ia lalu berjalan mengitari perempuan-perempuan itu. Tak ada yang berani memandang matanya kecuali Marien yang menatapnya lurus. Sorot kebencian menyala-nyala.
Langkah Sabarudin berhenti di depan bocah perempuan yang dipeluk Gritje. Lelaki itu meraih tangan gadis kecil yang langsung ditepis oleh ibunya. “Jangan sentuh dia!”
Segera senapan dikeluarkan, membidik tepat pada kening si ibu dan DOR! Tak sempat berkata, sosok yang melindungi anaknya itu terjerembab. Si anak menangis dan berubah menjadi jeritan ketika Sabarudin membawanya pergi. Begitulah Sabarudin dengan kemauannya. Mereka tidak bisa melakukan apapun, perempuan-perempuan itu. Dan tak satu pun menyadari mata Marien yang semakin berkilat.
Ketika matahari telah lenyap, dan berganti malam. Marien mengendap-endap ke dapur. Tempo hari dengan alasan sakit kepala dan secangkir teh hangat yang dipinta ia mengamati tempat itu. Wanita pribumi yang melayaninya tak menaruh curiga saat ia sibuk mengisi kompor dengan minyak tanah. Marien kini dengan jelas dapat mencium bau itu. Dua jeriken besar ia bawa keluar.
Di sisi lain, Sabarudin meninggalkan kerajan haremnya. Menuju Gondomanan bersama sepuluh anak buah kepercayaan. Ketika melewati pepohonan randu pada jalanan menurun melewati bukit-bukit kecil di sekitar Tretes, ia berpapasan dengan salah satu tangan kanannya yang mendadak menghentikan laju truknya. Pada sang mayor ia bicara, pemimpin Laskar Minyak akan segera memenggal kepala Sabarudin jika tidak membebaskan perempuan-perempuan itu.
Sabarudin sekonyong-konyong mengumpat, menggelontorkan satu pelurunya ke angkasa karena kesal, “Tak ada yang bisa merampas harem-haremku, sekalipun Tuhan.” Bersama sepasukan setianya ia meneruskan perjalanan. Meninggalkan bukit, mengabaikan ancaman yang dibawa kaki tangannya. Ia tak tahu pemandangan ganjil di ujung bukit yang ia tinggalkan. Penampakan nyala api di sebuah wisma. Asap membumbung tinggi dari kerajaan haremnya.
*Kartika Demia, kelahiran Malang kini menetap di Madura. Beberapa karyanya dimuat di; Malang Pos, Flores Sastra, Panchake magazine dan Harian Rakyat Sultra. Saat ini aktif di komunitas sastra Dimensi Kata.