Puisi-Puisimu
Aku adalah puisimu-puisimu
yang patah
dan kau
penyair yang lelah
pasrah
Demi Tanah Terpijak
Demi tanah terpijak
semoga kami tidak tergagap menatap sajak-sajak
yang direnggut dari pucuk gunung itu dengan congkak
semoga kami tetap berdiri pada segaris kalimat perlawanan yang tegak
bersama kecemasan-kecamasan nurani
yang menggigil
melihat tuan menghamba pada gumpalan materi
sementara kami terus menghidupi meja makan dengan padi
yang tertanam di pangkuan bumi
membasuh lelah dengan air yang seharusnya aman dalam dekapan ibu pertiwi
O, tuan, tanah kami
mau sedalam apa tuan mengoyaknya?
demi emas-emas yang menumbuhkan cemas
Tuan, maukah meruang bersama suara-suara kami?
yang berserakan kehilangan naungan
terpinggirkan
tuan, sebelum semua tenggelam dan kelam
sebelum senja menandakan peniadaan
sebelum esok adalah pungkasnya harapan
sebelum tanah kami kehilangan napas-napas kehidupan
mau sampai kapan tuan membungkam?
mau sampai kapan menyumpal telinga dengan kemewahan-kemewahan?
semoga tuan sadar
selama ini tuan hanya memuja bokong dunia yang fana
mengejar uang dan segala keriuhannya
ah, gila!
*Menjaga ingatan tentang Gunung Tumpang Pitu beserta pertambangan emasnya dan tanah kelahiranku yang dikoyak-koyak tuan berkuasa. Semoga perlawanan tidak mati dan tetap abadi.
Malang, 16 November 2017
Surat-Surat
Surat-surat yang membusuk di bawah bantal
meneteskan kata-kata
aku menyaksikannya dengan sesak
sementara di luar jendela
purnama mengabarkan waktu tetap bergulir apa adanya
ada ingatan yang merindukan kawan
sengatan-sengatan rasa ketika sepasang dekapan
menggenggam kerut-kerut lelahku
sebelum aku terbenam
surat-surat itu membusuk bersama malam-malam lengang
dan aku membisik pelan
aku ingin pulang
Kita dan Hujan
Telah diamini dan direstui oleh semesta dan kita
kenangan akan selalu dikabarkan ulang oleh hujan
yang datang di bulan Juni seperti sabda Sapardi,
seperti hujan bulan Juli ketika pertama kali aku menamatkan sebait puisi,
seperti anomali ketika hujan datang di bulan-bulan kering dan gersang,
atau seperti hujan di bulan ini,
yang tiba-tiba, deras, dan keras
Hujan akan menyeduh ingatan
dan kita terjebak dalam nostalgia berkepanjangan
dikoyak-dikoyak rindu atau sesal
dan kita tidak pernah mendebat mengapa kehadirannya bersanding dengan kemuraman
kita hanya merasa terbebaskan
menyesap habis-habisan kenangan tanpa adanya penggugat
dan kita merasa aman
sebab hujan tidak akan mengabarkan kenangan ini pada cuping-cuping telinga
dari balik jendela
dari rumah-rumah
atau pada orang-orang berlarian mencari peneduh dan kehangatan
kenangan ini seutuhnya adalah kita
dan hujan tidak akan mengkhianati
ia tahu pada siapa harus membagi
ketika ia jatuh dan membumi
Malang, 5 November 2017
Perempuan Itu
Perempuan itu,
kutemukan sedang menepi dalam semangkuk sup di meja makan malamku
sebelum akhirnya beku
menyisakan remah-remah waktu
dan aku
meruang bersama kegaduhan dan detak-detak yang berantakan
kala perempuan itu melompat dan menyusup ke lembaran koran
berserakan
lalu meneduh di bawah pigura lama dengan foto tanpa gurat rasa
mengembalikan sebagian masa yang sempat tenggelam dan kelam
aku terkapar
kemudian dengan sederhana
dan cara paling terduga
perempuan itu jatuh dalam sebaris kata
yang kupungut dengan lelah dan putus asa
Perempuan itu,
adalah rindu dan sendu
semu
suka berlalu
mengguratku dengan sembilu
biru
Malang, 26 November 2017
* Ana Widiawati lahir di Banyuwangi 21 tahun silam. Bermukim di Malang dan sedang menempuh pendidikan di jurusan Hubungan Internasional Universitas Brawijaya. Masih aktif di Lembaga Pers Mahasiswa Perspektif (LPM Perspektif). Karya-karya cerpen dan puisinya pernah nangkring di Solo Pos, Radar Banyuwangi, dan buku-buku antologi.