Pameran Agustusan Seni Rupa, Melepaskan Batasan Berkreasi untuk Menangkap Esensi Realitas

MALANGVOICE– Konsep kebebasan kerap diperdebatkan di setiap konteks sepanjang sejarah. Otonomi atas diri menjadi esensi eksistensi manusia untuk melepaskan batasan yang menghalangi potensi individu. Gagasan itu dikemukakan dalam sebuah pameran Agustusan Seni Rupa bertema ‘Lepas’ yang digelar di Pethak Art Space, Desa Junrejo, Kecamatan Junrejo, Kota Batu mulai 18-24 Agustus.

Event pameran seni rupa itu dalam rangka memperingati HUT ke-79 Kemerdekaan RI. Diikuti 17 perupa terdiri dari 10 perupa pria dan 7 perupawati. 17 partisipan melambangkan tanggal kemerdekaan RI yakni 17 Agustus. Mereka berasal dari Malang Raya, Surabaya, Mojokerto, Ngawi, Nganjuk, Tuluangung hingga Yogyakarta. Layaknya tema ‘Lepas’, para perupa menampilkan karya dengan media dan teknis yang bervariasi merepresentasikan karakter mereka masing-masing.

Seperti karya tiga dimensi berjudul ‘Tumbuh di Sela-Sela Himpitan’ buah pemikiran Yawara Oky Rahmawati, perupawati asal Tulungagung. Pada karya itu, ia mengkreasikan media kanvas berisi dakron yang dibentuk layaknya bebatuan saling berdempetan. Di sela-sela bentuk bebatuan dilekatkan tenunan benang-benang menjuntai yang diasosikan sebagai tumbuhan menyerupai lumut. Karya yang direkatkan pada plywood itu terlihat unik dan menarik.

Kreasi kekaryaannya itu direkam dari pengalaman empirisnya saat situasi sulit di masa pandemi. Di tengah ketidakpastian itu, dia banyak menghabiskan waktu bermain di hutan. Dari situlah terbentuk perenungan akan cara kerja tumbuhan yang mampu tumbuh dan bertahan. Sekalipun berada di ruang sempit dihimpit bebatuan.

Pola itu menjadi refleksi Yawara terhadap kehidupan manusia. Objek tumbuhan yang terbuat dari kumpulan benang menginterpretasikan manusia yang memiliki daya resiliensi. Sekalipun berada dalam ruang sempit dan situasi terjepit setiap individu diberkahi akal dan kreativitas untuk menciptakan suatu peluang agar bisa bertahan melanjutkan hidup.

Baca juga:
Kejari Kota Malang Musnahkan Barang Bukti Hasil Kejahatan Mulai Januari hingga Agustus

FIP UM Gelar Seminar Nasional, Soroti Pentingnya Pendidikan Karakter untuk Indonesia Emas 2045

Gudang Es Krim di Blimbing Dibobol Maling, Uang Ratusan Juta Amblas

BLES Bantu Renovasi Sekolah dan Bangun Rumah Warga di Kabupaten Malang

Merdeka Hutan Diserukan saat Peringatan HUT ke-78 RI

Karya lainnya yang tak kalah menarik ditampilkan oleh F. Sigit Santoso. Gagasannya cukup ‘nakal’ nan menggelitik akal dengan merekonstruksi objek bernuansa satire/parodi. Dia menampilkan sosok Kristus bertubuh kurus sedang berbaring memegang ponsel pada karya lukis realis berjudul ‘Message to Holbeins’. Ia mencoba menebas suatu kredo dengan membangun suatu makna baru.

Perupa asal Ngawi itu cukup piawai meng-apropriasi lukisan fenomenal ‘The Body of The Dead Christ In The Tomb karya Hans Holbeins. Lukisan Holbeins menggambarkan Kristus ke dalam kotak peti mati dengan kondisi meninggal seusai penyaliban. Namun versi kekaryaan Sigit, Kristus tidak mati tapi masih hidup, bergerak bahkan mengirimkan pesan melalui ponsel dari dalam peti mati.

“Pameran ini membebaskan kreativitas mereka untuk berkarya sesuai dengan ekspresi pribadinya,” ujar Kurator Pameran Agutusan Seni Rupa ‘Lepas’, Akhmad Budi Santoso atau akrab disapa Lek Budi.

Keleluasaan berekspresi menjadi simbol kebebasan berimajinasi. Subyek tidak perlu digambarkan seutuhnya, makna tidak harus dimengerti sepenuhnya. Semua yang menggoda dan mengundang pertanyaan dalam suatu karya biarlah menjadi enigma. Dalam kebenaran kita tak dapat mendedahkan semua teka-teki.

Pada akhirnya pesan dan makna dibalik karya menjadi nilai lebih, Darinya setap orang dapat menafsirkannya secara arbitrer, mengambil manfaat atau bahkan terinspirasi dari amatan atas karya seni yang sedang diamati. Singkatnya, ia merupakan media perenungan yang berangkat dari wilayah praktik, namun sekaligus berjarak dari area pragmatik.

“Dengan kebebasan, seniman mampu menjelajahi bentuk seni dan medium yang beragam serta meningkatkan kreativitas secara keseluruhan,” imbuh Lek Budi.

Menurutnya, setiap seniman memiliki kemampuan unik untuk mencerminkan realitas pada karyanya. Mereka dapat menangkap esensi isu-isu sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Masing-masing dapat menyampaikan narasi tentang manusia-manusia terpinggirkan, suara-suara terbungkam, ihwal ketidakadilan, kesetaraan, diskriminasi, maupun yang menyangkut soal lingkungan.

Melalui kebebasan berkreasi, para seniman tidak hanya merefleksikan kompleksitas masyarakat namun juga membangkitkan emosi, memicu perbincangan, dan mempengaruhi perubahan. Seni memungkinkan kita melihat dunia melalui sudut pandang yang berbeda, memperluas pemahaman, sekaligus mendorong empati.

“Ini akan memupuk adanya dialog, memancing pemikiran kritis, dan membentuk kesadaran kolektif,” pungkas dia.(der)

spot_img

Berita Terkini

Arikel Terkait