MALANGVOICE- Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB) menggelar seminar nasional membahas rancangan KUHAP dalam perspektif keadilan proses pidana: Menggali Kelemahan dan Solusi.
Seminar ini menghadirkan beberapa narasumber dari praktisi dan pakar hukum dari banyak universitas, seperti Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Prof Dr Pujiyono sebagai keynote speaker, Dekan FH UB, Aan Eko Widiarto; Dekan Universitas Sebelas Maret, Dr M Rustamaji;
Dr Erma Rusdiana dari Dekan Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo; Guru Besar FH UB, Prof Dr Sudarsono; dan Dosen FH UB, Prija Djatmika.

Mahasiswa FH Unisma Gelar Unjuk Rasa, Soroti Kebijakan dan Tuntut Transparansi Keuangan
Dalam kesempatan pertama, Prof Pujiyono menyinggung penyusunan RUU ini harus dilakukan dengan cermat agar tidak melahirkan lembaga dengan kewenangan terlalu besar atau super body, yang berpotensi menyalahgunakan kekuasaan.
“Jangan sampai RUU ini menjadikan satu lembaga menjadi super body. Ini berbahaya sekali. Independensi kejaksaan dan kepolisian harus tetap terjaga agar optimal, tanpa intervensi politik yang berlebihan,” tegasnya.
Independensi menjadi aspek penting dalam sistem peradilan pidana, mengingat lembaga seperti kejaksaan dan kepolisian kerap berada dalam tekanan politik.
“Apakah sekarang mereka belum independen? Tidak juga. Tapi dalam beberapa hal, intervensi politik bisa cukup kuat menekan lembaga-lembaga ini. Oleh karena itu, independensi mereka harus diatur dengan baik dalam pasal-pasal yang ada,” imbuh Pujiyono.
Selain kewenangan, dirinya juga menyoroti pentingnya sistem merit dalam institusi kejaksaan dan kepolisian. Ia menekankan bahwa setiap proses hukum harus berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) dan profesionalisme.
Selain itu ia menyoroti sistem merit dalam rekrutmen dan promosi di lembaga penegak hukum. Menurutnya, sistem ini harus diatur lebih rinci dalam undang-undang agar tidak terjadi nepotisme atau penyalahgunaan jabatan.
Atas dasar berbagai potensi permasalahan tersebut, para pemateri dalam seminar nasional ini menilai Rancangan KUHAP tidak bisa serta-merta disahkan tanpa perbaikan substansial.
Diharapkan pemerintah dan DPR lebih terbuka terhadap masukan dari akademisi dan pakar hukum dalam menyusun regulasi yang berdampak luas bagi sistem peradilan di Indonesia. Menurutnya, kampus memiliki peran penting sebagai pihak yang netral dalam memberikan kajian dan rekomendasi hukum.
“Perguruan tinggi dan akademisi berperan dalam menjembatani agar setiap regulasi tetap dalam koridor yang harmonis. Kami tidak memiliki conflict of interest yang besar, sehingga bisa melihatnya lebih objektif,” kata dia.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Prof. Dr Sudarsono, SH, MH
mengkritisi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Rancangan KUHAP). Ia menilai rancangan tersebut perlu diperbaiki sebelum disahkan agar tidak terjadi kontroversi atau tumpang tindih kewenangan antara lembaga penegak hukum, seperti kejaksaan, kepolisian, dan peradilan.
Menurutnya tidak dilakukan harmonisasi secara matang, pembahasan RUU ini bisa memicu konflik kewenangan antar-institusi.
”Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Rancangan KUHAP) ini kalau tidak diluruskan dan dibatalkan berpotensi memperumit pembagian tugas dan tanggung jawab dalam sistem peradilan pidana di Indonesia,” ujarnya.
“Kami khawatir ini akan menjadi ‘perang RUU’. Semoga tidak terjadi, tetapi inilah tugas akademisi, memberikan kontribusi untuk menyeimbangkan agar tidak terjadi over kewenangan atau tumpang tindih antara satu RUU dengan lainnya,” tandasnya.(der)