MALANGVOICE- Sederet pakar hukum dari akademisi dan juga praktisi mengisi materi mengenai sinkronisasi dan harmonisasi materi RUU Kejaksaan dan RUU KUHAP di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Kamis (30/1).
Seminar yang diadakan Fakultas Hukum itu mengkaji tentang pentingnya penyesuaian dan keselarasan regulasi hukum kejaksaan dengan KUHP agar tercipta sistem peradilan yang lebih efektif dan berkeadilan.
Seminar diawali Ketua Forum Dekan Fakultas Hukum PTM, Assoc. Prof. Dr. Faisal, S.H., M.Hum., yang menyoroti urgensi sinkronisasi antara RUU Kejaksaan dan KUHP guna memastikan efisiensi serta kejelasan dalam proses hukum di Indonesia.
Ia menekankan bahwa perubahan regulasi harus memperhatikan prinsip-prinsip keadilan dan kepastian hukum.
“Penyesuaian regulasi kejaksaan dan KUHP adalah suatu keharusan untuk memastikan bahwa sistem peradilan pidana kita berjalan dengan lebih efisien dan selaras dengan kebutuhan hukum yang berkembang,” ujarnya.
Kemudian ada pemaparan dari Dekan FH UMM Prof. Dr. Tongat, S.H., M.Hum. tentang restorative justice dan urgensinya sebagai penyelesaian perkara pidana dalam perspektif RUU Kejaksaan dan RUU KUHAP. Ada sederet kritik yang ia sampaikan terhadap peradilan pidana yakni prisonisasi, stigmatisasi, dan dehumanisasi. Prisonisasi adalah proses interaksi tersangka, terdakwa, dan terpidana di dalam lembaga yang menghasilkan transfer of knowledge tentang kejahatan.
“Sementara stigmatisasi merupakan pemberian stigma dan label cap jahat. Terakhir, dehumanisasi adalah proses pengasingan dan menjauhkan manusia daei komunitas sosialnya,” tambah Tongat.
Sementara itu, Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Dr. Trisno Raharjo, S.H., M.H., menjelaskan mengenai kebijakan hukum pidana dalam pelaksanaan tugas kejaksaan Republik Indonesia. Menurutnya, dalam menjalankan tugasnya, aparat kejaksaan harus berpegang pada prinsip keadilan dan proporsionalitas agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang.
“Tugas kejaksaan dalam penegakan hukum harus selalu didasarkan pada asas legalitas serta menjunjung tinggi hak asasi manusia,” tegasnya.
Trisno juga sempat menyoroti tantangan dalam praktik hukum kejaksaan, termasuk bagaimana menyeimbangkan aspek represif dan preventif dalam menegakkan hukum. Menurutnya, para pakar dan praktisi harus memastikan reformasi hukum pidana tidak hanya memperkuat kewenangan kejaksaan, tetapi juga menjamin hak-hak masyarakat dalam proses hukum.
Pembahasan ini kemudian diperkuat pemateri kedua, Dr. Sholehuddin, S.H., M.Hum., yang mengkaji sinkronisasi dan harmonisasi materi muatan RUU tentang kejaksaan terhadap KUHP. Menurutnya, ketidakharmonisan regulasi dapat berimplikasi pada tumpang tindih kewenangan dan ketidakpastian hukum dalam proses penegakan hukum di Indonesia.
“RUU Kejaksaan harus disusun dengan mempertimbangkan keterkaitannya dengan KUHP agar tidak terjadi benturan norma yang dapat menghambat proses peradilan,” ungkapnya.
Selain itu, penyelarasan antara peran kejaksaan dalam sistem peradilan dengan norma-norma hukum yang berlaku juga diperlukan. Tanpa adanya sinkronisasi yang baik, akan muncul perbedaan interpretasi hukum yang bisa berdampak pada ketidakpastian dalam penegakan hukum. Terakhir, koordinasi antar lembaga penegak hukum juga harus diperhatikan agar tidak terjadi konflik kepentingan.
Acara kemudian diakhiri Rektor UMM Prof. Dr. Nazaruddin Malik, M.Si. yang menegaskan pentingnya peran akademisi dalam memberikan masukan konstruktif bagi kebijakan hukum nasional.
Ia berharap seminar ini dapat menjadi wadah diskusi ilmiah yang berkontribusi pada penyusunan regulasi hukum yang lebih baik.(der)