Pakar Hukum: Disparitas Pemidanaan Tipikor Menimbulkan Ketidakpastian Hukum

Lucky Endrawari ditemui MVoice. (Anja arowana)

MALANGVOICE – Pemberantasan tindak pidana korupsi (tipikor) menjadi permasalahan yang sulit ditegakkan di Indonesia. Segala kasus hukum harus melalui proses beracara di pengadilan. Masalahnya, penjatuhan putusan pengadilan yang berbeda-beda dalam penanganan tipikor kerap menimbulkan ketidakpastian hukum.

“Produk legislasi yang seharusnya menjadi acuan, malah membuka peluang inkonsistensi penerapan hukum dan disparitas pemidanaan. Dalam UU Tipikor, ada sejumlah delik sejenis tetapi ancaman pidananya berbeda,” papar peneliti di Pusat Pengembangan Riset Sistem Peradilan Pidana(Persada), Dr Lucky Endrawati, saat ditemui MVoice, Rabu (30/8)

Dia menambahkan, permasalahan itu mengakibatkan hakim menjatuhkan pidana berbeda untuk satu perkara yang sama.
Disparitas pemidanaan dapat terjadi akibat perbedaan penafsiran majelis hakim dan para penagak hukum soal kerugian negara.

Dia menjelaskan, ada perbedaan pemahaman menyangkut pengembalian uang negara. Bagi BPK, jika mengacu pada UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara, masalah kerugian negara selesai secara administratif ketika pelaku perbuatan merugikan negara mengembalikan atau memulihkan aset negara. Namun, ada kalanya aparat penegak hukum, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Kejaksaan Agung, dan Polri, memiliki pendapat lain. Mereka menginginkan agar kasus itu langsung dibawa ke ranah hukum.

Dengan segala problematika itu, Lucky memberikan solusi. Harus ada patokan pemidanaan dalam perundang-undangan dan praktik peradilan. Termasuk penentuan rumus penentuan lamanya hukuman untuk pelaku tipikor yang jelas dan sama untuk semua lembaga peradilan.

“Agar persepsi soal kerugian negara dan lamanya putusan hukuman menjadi sama, harusnya dibuatkan saja rumus yang disitu tercantum seperti, jika korupsi berapa maka penjaranya sekian tahun,” tutup dia.(Der/Yei)