MALANGVOICE – Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy menangis sesenggukan pada saat meminta Aremania menahan diri untuk menghindari ledakan sosial akibat Tragedi Kanjuruhan.
Hal itu terjadi ketika Muhadjir bertemu dengan puluhan Aremania di Stadion Gajayana, Kota Malang, Senin (3/10) hampir tengah malam.
“Semua prihatin atas insiden di Stadion Kanjuruhan. Tapi saat ini saya minta Aremania untuk menahan diri. Mari kita ciptakan suasana yang kondusif. Jangan sampai ada lagi korban berjatuhan. Sudah cukup. Terlalu mahal nyawa hanya untuk sepakbola … “
Baca Juga: KontraS Beber Dua Temuan Penyebab Ratusan Korban Dalam Tragedi Kanjuruhan
Kemudian Muhadjir menangis sambil menahan air matanya dengan telapak tangan. Suasana pertemuan yang semula terasa panas, riuh berubah hening. Hanya isakan tangis Muhadjir yang terdengar di sela-sela degub jantung dan desah napas.
“Saya mencintai Arema. Kita semua mencintai Arema. Tapi tidak boleh mengorbankan nyawa untuk Arema. Terlalu mahal nyawa itu dikorbankan untuk sepakbola. Mari kita kembalikan martabat Arema di mata Indonesia. Di mata dunia,” lanjut mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada Kabinet Jokowi jilid satu ini.
Ajakan Muhadjir agar Aremania menahan diri bukan suatu yang berlebihan. Memang ada ada suasana eksplosif di masyarakat.
Baca Juga: Gusdurian Gerak Cepat Beri Santunan Keluarga Korban Tragedi Kanjuruhan
Muhadjir tahu persis kondisi riil karena dia blusukan sejak kurang dari 10 jam setelah musibah kubro (besar) Stadion Kanjuruhan.
Praktis dia di lapangan sejak pagi sampai larut malam. Ia mengunjungi korban yang dirawat di beberapa rumah sakit. Berdialog dengan keluarga korban yang meninggal. Memberikan santunan dari pemerintah kepada korban. Melakukan koordinasi penanganan dengan otoritas terkait dan banyak elemen masyarakat.
Dihadang Massa
Muhadjir, anak ke 6 dari 9 bersaudara pasangan Guru Soeroya dan Hj Sri Subitah ini sempat dihadang ketika hendak meninjau Stadion Kanjuruhan. Demikian pula pada saat menuju kampus UMM untuk bertemu perwakilan Koordinator Wilayah (Korwil) Aremania pada Senin malam.
Baca Juga: Tragedi Kanjuruhan Berbuntut Kapolres Malang Dicopot
Pada mulanya Muhadjir dikawal mobil patwal. Tetapi di tengah jalan ada massa Aremania. Pada saat massa melihat mobil patwal, ada tanda-tanda massa mau anarkis. Untuk itu mobil patwal kembali untuk mencegah jadi sasaran amuk massa.
Massa memberi jalan setelah diberi tahu ajudan bahwa yang di dalam mobil Muhadjir. Akhirnya Muhadjir sampai di kampus UMM.
Kemudian perjalanan dari UMM ke Stadion Gajayana tanpa menggunakan mobil patwal. Dia dikawal Rektor UMM Fauzan, Wakil Rektor II Nazaruddin Malik, beberapa tokoh Aremania seperti Ade d’Kross, Rois, Iskak.
Baca Juga: Traumatik Siswa Kelas 3 SD Saksi Mata Tragedi Kanjuruhan, “Ayah Aku Takut”
Polisi memang menjadi sasaran utama kemarahan Aremania. Mereka beranggapan pemicu musibah kubro adalah tembakan gas air mata yang dilepaskan polisi kepada penonton di tribun utara, timur dan selatan.
Saat ini juga berkembang narasi bahwa yang terjadi di Stadion Kanjuruhan adalah pembantaian terhadap orang-orang yang tak berdosa dan tak berdaya.
Pada saat pertemuan Korwil Aremania dengan Muhadjir di kampus UMM, terlihat pula kemarahan mereka atas polisi.
“Apakah di sini ada polisi? Kami mohon kalau ada agar meninggalkan tempat. Jangan kelihatan. Karena kawan-kawan ini masih marah ke polisi,” kata Amin, tokoh Aremania Korwil Jalur Gaza.
Yang juga membuat mereka memendam marah ke polisi karena sampai sekarang polisi tidak mau meminta maaf. Mereka menilai polisi arogan.
Polisi jelas salah karena membawa gas air mata masuk ke dalam stadion itu jelas melanggar aturan FIFA. Apalagi sampai menggunakannya. “Pak kami hanya minta keadilan. Minta keadilan,” ujar Udin.
Dalam menanggapi narasi emosional Aremania, Muhadjir bersikap cool. Tenang.
“Soal permintaan maaf nanti saya sampaikan ke Pak Kapolri. Percayalah Pak Kapolri serius menangani masalah ini. Lantas soal siapa yang bertanggung jawab, Pak Presiden sudah menegaskan harus ada yang bertanggung jawab,” kata ayah dari 3 anak ini.
“Tugas saya dalam tahap tanggap bencana sudah selesai. Selanjutnya tahap investigasi yang akan dipimpin Pak Menko Polhukam yang juga Ketua TGIPF. Meskipun demikian kalau ada perkembangan masalah jumlah korban, santunan saya tetap akan mengurusnya. Percayalah saya tidak akan meninggalkan Arema,” Muhadjir menambahkan.
Pada Tragedi Kanjuruhan yang terjadi Sabtu (1/10) mengakibatkan 125 nyawa melayang, ratusan luka-luka. Selain penonton, yang menjadi korban adalah penjual makanan dan minuman di dalam stadion serta dua orang polisi. Korban mulai anak berumur 6 tahun sampai orang tua, laki-laki dan perempuan.
Musibah ini merupakan yang terbesar di dunia sepakbola dalam 40 tahun terakhir, melampaui tragedi Stadion Hysel, Brussels tahun 1985 yang mengakibatkan 39 nyawa melayang, 600 orang luka-luka cdan 14 orang dibidana karena melakukan pembunuhan.(end)