Mimpi Sang Penakluk

Yunan Syaifullah

Oleh: Yunan Syaifullah

Burak Yilmaz, kapten Turki, seolah menjelma dan membayangkan dirinya adalah sosok Muhammad Al Fatih, Pangeran Muda Turki yang dikenal dengan Sang Penakluk dalam sejarah Otsmania klasik takkala memasuki Stadion Olympico Roma untuk menghadapi Italia dalam laga perdana Euro 2021.
Sang kapten, meski tak lagi muda, usianya sudah 35 tahun, laga dengan Italia dimaknai sebagai laga hidup mati. Bukan masalah kemenangan yang tertanam dalam pikirannya. Namun laga itu sudah dianggap sebagai laga harga diri sebagai bangsa Turki.

Sultan Mehmed II, nama aslinya Muhammad Al Fatih, Pangeran Muda Turki yang memimpin dan menaklukan Konstantinopel kala itu berada pada usia 25 tahun.

Takluknya Konstantinopel dan Sang Penakluk telah menjadi cerita suksses bagi bangsa Turki yang telah menjiwai seluruh rakyat Turki di kemudian hari. Termasuk bagi pesepak bola Turki dan Tim Nasional Turki.

Sang Penakluk memberikan pelajaran berarti tentang cita-cita dan kedaulatan. Keduanya bagi Sultan Mehmet II adalah harga diri. Jatuhnya Konstantimopel adalah jatuhnya hegemoni —dari sesuatu yang besar secara ekonomi dan politik. Begitu Konstantinopel jatuh, tak lama lagi terlahir negeri Otsmania, kelak kita kenal sebagai Turki, sebagai sinar baru bagi masyarakat Otsmania dalam berbangsa dan bernegara.

Praktek hegemoni bangsa Romawi — mewakili bangsa yang besar secara ekonomi politik terhadap bangsa dan Negara kecil menjadi api kebencian dan amarah Sultan Mehmet II untuk diperangi.
Turki seolah diposisikan sebagai bangsa dan Negara kecil, yang layak menjadi korban eksploitasi bangsa besar.

Sejarah Sang Penakluk, kemudian hari yang menjadi api semangat bagi bangsa Turki untuk membuat sejarah peradaban dunia.

Semangat dan cita-cita itulah yang tertanam dan ditunjukkan Tim nasional Turki.

Dalam percaturan sepak bola dunia, Turki bukan menjadi halaman sejarah dunia yang ditengok. Sepak Bola Turki dianggap negara kecil yang tidak memiliki kekuatan dan daya saing dalam soal sepak bola.

Industri sepak bola dimiliki negara-negara pewaris Konstantinopel hingga saat ini.
Realitas yang selalu tidak berpihak kepada Sepak Bola Turki. Kondisi hal itu bukan malah mematikan dan menyurutkan Sepak Bola Turki. Senantiasa diposisikan yang lemah (underdog) dalam kurun waktu lama. Dunia terkaget dan harus mengakui kehebatan Turki takkala Piala Dunia 2002 yang mampu menempati posisi ketiga.

Semenjak 2002, Turki tidak lagi diremehkan dalam perhelatan sepak bola dunia. Negara manapun ketika berjumpanya harus berpikir serius.
Bagi pesepak bola Turki, pertandingan dengan siapapun senantiasa dimaknai sebagai pertarungan harga diri sebagai bangsa. Dirinya bermain sepak bola bukan untuk kepentingan pribadinya. Namun dirinya adalah cermin bangsa. Sebuah bangsa yang terbangun karena harga diri.

Karena itu, Burak Yilmaz, sang kapten Turki meski telah berusia 35 tahun rela memberikan segalanya yang terbaik untuk negaranya. Demi harga diri bangsa.

Cita-cita, harga diri dan Semangat Sang Penakluk berkumpul menjadi satu sebagai mimpi kolektif untuk mengulangi cerita sukses Piala Dunia 2002. Kendati Pasukan Tim Nasional Turki 2021 yang diturunkan adalah sebagian besar sudah melewati usia emas.

Sepak bola sesungguhnya tidak berdiri tunggal dengan masalah dan aspek sosial lainnya. Karena itu, mimpi dan semangat Burak Yilmaz dalam laga tersebut menarik dipelajari. Sepak bola bukan masalah lapangan hijau.
Lapangan hijau ternyata bisa dan mampu melahirkan benih nasionalisme.
Parade nasionalisme di lapangan hijau menjadi perhatian dan perbincangan menarik dari banyak kalangan. Tidak hanya penonton dan penikmat bola. Terlebih, secara masif, pekikan nasionalisme itu ditayangkan secara live dan terus menerus. Tidak hanya, siaran langsung pertandingan bola di salah satu stasiun televisi. Tetapi juga masuk dalam postingan yang tertib dan teratur di media sosial, seperti Instagram dan Facebook.

Pekikan nasionalisme yang diproduksi secara terus menerus di berbagai kanal televisi dan media sosial, secara tidak langsung mempengaruhi persepsi dan memori para insan bola untuk dipaksa memperbincangkan. Baik itu dengan nalar kritisnya maupun skeptis.

Realita hal itu menjadi wajar dan logis. Apabila dikaitkan dengan data statistik pengguna Instagram dunia pada periode 2018 telah menyentuh angka 800 juta orang. Peringkat tertinggi, di Amerika Serikat yakni 110 juta pengguna. Nomor dua tertinggi adalah Brazil sebesar 57 juta pengguna. Menariknya, peringkat ketiga justru diraih dan ditempati Indonesia, yakni sebesar 55 juta pengguna. (databoks.katadata.co.id, 2019)

Media sosial adalah ruang yang bisa dan mampu untuk mendekatkan yang jauh menjadi lebih dekat. Intensitas komunikasi dan distribusi informasi makin dipermudah dan tinggi.

Tidak sedikit dari total populasi pengguna Instagram, kasus di Indonesia, bukan hanya pengguna perorangan tetapi juga korporasi. Termasuk para penonton bola, pemain bola, para insan bola dan korporasi yang berhubungan langsung dan tidak langsung dari lapangan hijau.
Pekikan nasionalisme dari lapangan hijau dalam waktu singkat dan cepat menjadi perbincangan menarik pecinta bola.

Menariknya, pekikan nasionalisme dari lapangan hijau yang kini sedang berlangsung dalam Euro 2021 itu telah mengarah dan menyembul menjadi heroisme baru untuk menggugurkan trauma dan kebencian yang diarahkan kedalam lapangan hijau.
Sepak bola, harus diakui, telah menjadi kecintaan bagi banyak kalangan. Sepak bola bahkan telah dan mampu menjelma menjadi ideologi untuk kemanusiaan.

Di sisi lain, sepak bola, juga mampu melahirkan kegilaan. Praktek kegilaan itulah yang menghasilkan konflik kepentingan yang tidak berujung. Kepentingan yang tidak mampu dipenuhi bisa jadi menimbulkan kebencian yang tidak pernah selesai.

Meski, hari ini, kegilaan dan konflik kepentingan dalam lapangan hijau jauh berkurang karena adanya globalisasi ekonomi yang telah menyentuh lapangan hijau.

Tehnologi yang dibawa serta globalisasi ekonomi kini mengubah wajah sepak bola. Seluruh pihak bisa mengkritisi dan mengamati dengan lebih rinci dan detail segala sesuatu yang berhubungan dengan sepak bola.

Migrasi pemain sepak bola dari negara kecil dan terbelakang menuju ke negara yang menjadi raksasa bola, makin mudah dan tinggi tingkatnya. Bahkan menjadi idola baru di lapangan hijau di negara tujuan. Seperti George Weah dan masih banyak lainnya.

Sepak bola membuat setiap orang mudah merasa antusias. Kompetisi sepak bola adalah tempat untuk bermimpi indahnya bagi seluruh komponen bola. Mulai dari pemain, penonton, wasit hingga korporasi.

Akan tetapi, yang perlu dipahami dalam memahami mimpi itu adalah terjadinya pertautan kultural yang tidak mudah. Meski bila berhasil menggabungkan pertautan kultural itu bisa menjadi kekuatan luar biasa.

Seorang João Ramos do Nascimento, yang dijuluki Dondinho, adalah pesepakbola Brasil yang bermain sebagai penyerang tengah. Dia adalah ayah, mentor dan pelatih dari legenda Brazil, Pelé pernah berujar pada sang Anak, mimpi pesepak bola bisa jatuh bila dalam diri pesepak bola tidak memiliki keyakinan dan semangat untuk maju dalam merebut mimpi.

Cerita ini bisa kita peroleh dalam film biopic yang berjudul Pele: Birth of a Legend (2016)

Pojok Pustaka, 12/06/2021

Yunan Syaifullah
Penikmat Bola, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Malang