Maticgator Sukses Lestarikan Penyu Langka di Indonesia

Tim mendapatkan double gold medal. (Istimewa)

MALANGVOICE – Tim dari Automatic Turtle Egg Incubator atau Maticgator Universitas Brawijaya (UB) berhasil menyabet prestasi di International Engineering Invention & Innovation Exhibition (i-Envex 2018) Universiti Malaysia Perlis.

Tim berhasil membawa pulang Double Gold Award dan Special Award from Korea dengan inovasinya di bidang Environmental Machines and Equipment.

Digawangi Firmansyah Putra Satria (Teknik Elektro 2015), Vani Dwi Febrian (Vokasi 2016), Vita Lutfiah (Vokasi 2016), dan Vinna Agustina Winata (FIB 2016) tim berangkat ke Malaysia untuk presentasi karya. Mereka bersaing dengan 300 tim peneliti dan innovator lintas benua, di antaranya Indonesia, Malaysia, Uni Arab Emirates, Polandia, Korea, Filipina, dan Taiwan, Kamboja, United Kingdom, Vietnam, USA, Taiwan, Thailand, dan Romania.

Tim Maticgator memfokuskan pada pelestarian hewan langka, yaitu penyu. Penyu merupakan salah satu jenis hewan yang tercantum di International Union for The Conservation Nature (IUCN) sebagai salah satu spesies yang hampir punah dan wajib dilindungi. Perlindungan penyu di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Selain itu penyu dilindungi oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Peluang pemanfaatannya melalui penangkaran juga diatur pada PP No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, (Kementerian Lingkungan Hidup, 2016).

Pertumbuhan embrio merupakan salah satu faktor produksi yang memegang peranan terpenting dalam menunjang keberhasilan proses penetasan telur penyu, jenis kelamin tukik (anak penyu, red.) semasa inkubasi sangat di pengaruhi oleh suhu pasir. Peningkatan jenis kelamin jantan sangatlah dibutuhkan karena berkat pemanasan global kebanyakan telur yang menetas adalah betina. Padahal, pada proses perkembangbiakannya dibutuhkan sampai enam jantan untuk satu betina.

“Penyu merupakan hewan endemik di Indonesia. Enam dari tujuh spesies penyu ada di Indonesia. Dengan adanya alat ini kami harap penyu bisa tetap lestari,” ungkap Firman.

Menurut penelitiannya, kebanyakan para kelompok masyarakat pengawas masih menggunakan cara tradisional dalam melakukan proses penetasan. Media penetasan masih menggunakan kantong plastik ataupun gabus yang ditutupi dengan pasir untuk menjaga temperatur. Biasanya media ini tidak di beri lubang pembuangan air sehingga telur yang tergenang air akan mati karena udara tidak dapat diserap oleh telur penyu. Pada proses ini pun nelayan hanya menggunakan feeling dalam proses penetasan telur penyu.

Perlakuan suhu dalam proses penetasan telur penyu dalam wadah buatan yang dilakukan nelayan mempengaruhi jenis kelamin tukik. Perlakuan suhu yang salah pada telur dapat mengubah jenis kelamin tukik. Oleh karena itu Maticgator bekerja untuk mengoptimalkan teknis penetasan telur penyu, khususnya pada proses pengaturan suhu dan kelembaban pasir.

Pada penelitiannya, disimpulkan bahwa kisaran suhu pasir (24-29)°C akan melahirkan penyu jantan dan betina pada kisaran (29-34)°C. Dan tingkat keberhasilan alat ini hampir mencapai 90%.

“Sebenarnya prinsip dari maticgator sudah pernah digunakan, tetapi penelitian-penilitian akan tetap dilakukan dan dikembangkan demi mendapatkan output dan efisiensi yang lebih baik. Nantinya juga akan memanfaatkan solar cell sebagai sumber listrik agar dapat digunakan dengan efisien di pantai yang minim akan pasokan listrik,” ungkapnya.

Mewakili tim Firman juga menyampaikan ungkapan terimakasih kepada dosen pembimbing, Eka Maulana yang telah memberikan dukungan dan motivasi kepada tim Maticgator untuk terus berkembang. (Der/Ery)