Lambe Turah Riuh di Sekitar Kita

Oleh: Nurudin

Istilah lambe turah memang berasal dari media sosial (medsos), tetapi lambe turah bisa menggambarkan kehidupan masyarakat kita saat ini. Bahkan, lambe-lambe turah akan terus bermunculan pada masa yang akan datang, apalagi menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak dan Pemilihan Presiden (Pilpres). Tidak percaya? Kita bisa bertaruh.
Jika ditelusuri, munculnya istilah lambe turah memang agak susah. Namun demikian, salah satunya bisa ditelusuri melalui jejak digital. Lihat contoh misalnya akun instagram bernama “lambe_turah”, total pengikut 4,6 juta dengan tagline “gosip adalah fakta yang tertunda”. Ada juga akun “lambeturah” total pengikut 15,7 juta dengan tagline “akun anti ghibah”. Kemudian ada akun “maklambeturah” total pengikut 132 ribu dengan tagline “gak usah tegang lemesin aja cyiin”. Ini belum termasuk akun yang menggunakan media sosial lain. Anda boleh mengecek di akun dengan mencari kata kunci “lambe turah”. Followernya cukup fantastik, bukan?
Apa pun namanya, ini tentu sebuah perkembangan menarik. Dalam bahasa Jawa, lambe turah bisa berarti orang yang suka menyebar informasi tanpa fakta (isu, gosip, desas-desus) juga bisa berarti orang yang suka asal ngomong. Istilah sekarang disebut “ember”. Jika ada orang yang suka ngomong, bisa dijuluki lambe turah. Si lambe turah juga bisa berarti si tukang gosip.

Mengapa Terjadi?

Kemudian istilah lambe turah juga bisa dialamatkan kepada orang yang “nyinyir” di media sosial. Juga, orang yang senang dengan mengirimkan informasi-informasi yang tidak ada kebenaranya, misalnya hoaks (hox). Tak lupa melekat pada orang yang senang menyebar tautan atau informasi lain yang belum tentu kebenarannya tetapi ia buru-buru menyebar. Entah memang senang menyebar, atau orang itu tak menginginkan orang lain mendahului penyebarannya.
Mengapa lambe turah terjadi? Pertama, masyarakat kita itu kemaruk informasi. Mengapa begitu? Dalam istilah lain masyarakat kita kena peluberan informasi. Perumpaannya, seorang yang sedang berlatih silat, belum mendapat jurus mendalam ia justru bertingkah laku seperti orang yang sudah ahli silat. Jadi, matang tidak, mentah juga enggak. Serba tanggung, namun perilakunya seolah-olah sudah hebat. Inilah yang dinamakan kemaruk informasi.
Saking kemaruknya, informasi yang belum tentu kebenarannya saja kemudian disebar kemana-mana. Orang cenderung menyebar informasi itu bukan karena benar atau salah tetapi karena sesuai keinginan atau kecenderungan dirinya saja. Misalnya, ia ngefans sama Real Madrid. Maka berbagai informasi tentang Madrid akan dia sebar, termasuk informasi yang memojokkan Barcelona sebagai seteru abadinya. Nah, kecenderungan ini sangat kelihatan sekali jika lambe turah sudah berususan dengan politik. Anda boleh amati teman sepergaulan.

Kedua, masyarakat kita belum terdidik dan melek informasi. Apakah ini juga bisa dikatakan masyarakat kita bodoh? Belum tentu. Memang masyarakat kita itu berpendidikan, namun sering hanya berupa gelar akademik. Gelar akademik yang tinggi belum mencerminkan dirinya terdidik. Coba lihat berapa banyak mereka yang bergelar tapi ikut saja menyebarkan berita hoaks?
Ciri-ciri penyebar hoaks tidak saja mereka yang secara membagi buta menyebarkan berita bohong. Tetapi, mereka yang menyebarkan informasi dari pihak lain dengan ending perkataan, “Saya hanya copas lho”, “Saya hanya sebar link lho”, atau “Cuma sebar, siapa tahu bermanfaat, benar tidaknya saya tidak tahu”. Penyebar itu sebenarnya sudah tahu bahwa informasi yang didapatkannya belum tentu benar, tapi karena tidak melek informasi maka ia termakan hoaks, kemudian menyebarkannya.
Ketiga, biar dianggap peduli dan pinter. Ini bisa juga ada benarnya. Seseorang termasuk kategori lambe turah karena biar dianggap “lebih” dari kebanyakan orang. Mengapa orang senang dan banyak omong? Biar dianggap pinter atau biar dianggap punya pengetahuan banyak. Kalau perlu dia mengatakan dengan bukti yang agak meyakinkan, padahal tidak seperti itu adanya. Orang ini tentu senang mendramatisir setiap informasi yang didapat. Lihat kehidupan di sekitar kita. Ada kalanya orang banyak omong yang sebenarnya dibuat-buat semata. Senyatanya tidak sehebat yang diceritakan.
Dalam medsos orang bisa berpura-pura pintar. Misalnya dengan membuat status mengutip pendapat tokoh tertentu, padahal ia hanya mencari di google. Tak terkecuali seolah menjadi motivator hebat lewat status medsosnya, padahal juga hanya didapatkan dari orang lain. Juga, berani menganalisis sana sini seolah hebat. Sementara itu, teman-temannya mulai terkagum-kagum. Padahal jika melihat kenyataan sehari-hari, “jauh panggang dari api” alias tak sesuai kenyataan.

Dalam Politik

Lambe turah lebih ramai jika sudah dikaitkan dengan politik. Dari sinilah kemudian muncul istilah nyinyir, haters, cebong, panasbung, bani serbet, dunia datar dan sebagainya. Istilah-istilah ini membuka peluang orang untuk menjadi kelompok lambe turah. Mengapa begitu? Apa yang disampaikan cuma berdasar emosi dan meluapkan perasaan saja, bukan pada apakah yang disampaikan itu benar atau salah. Akibatnya, emosi yang diluapkan itu telah membentuk media sosial semakih riuh.
Lambe turah memang seperti dunia entertainment. Sifatnya hanya untuk menghibur semata. Dunia entertainment sebagaimana disajikan dalam televisi kebanyakan hanya berisi gosip para artis. Sebenarnya, entertainment itu orang tuanya lambe turah. Hanya lambe turah ini muncul khas dalam media sosial, sementara dalam entertainment khas televisi. Meskipun informasinya sama saja yakni sama-sama gosip. Bahkan bisa dikatakan sama-sama mengejar popularitas.
Lambe turah adalah konteks dangkal pemikiran masyarakat yang terus dilegalkan dan dipopulerkan. Kelompok lambe turah tentu tidak berpikiran apakah informasi yang disebarkan masyarakat itu berguna untuk kebaikan apa tidak. Kalau dalam media sosial bisa tujuannya memperbanyak pengikut (follower). Dengan banyak follower siapa tahu ada sponsor masuk. Buntutnya untuk keuntungan ekonomis, bukan?
Lembe turah murni menghibur. Ini sebagaimana kodrat media sosial yang bersifat menghibur. Mengapa demikian? Jika media sosial tidak punya fungsi menghibur maka ia akan ditinggalkan masyarakat. Mengapa masyarakat banyak yang menyukai media sosial? Karena masyarakat memang suka hiburan sementara media sosial menyediakannya. Tak jarang jika dalam politik, sindiran yang bernada menghina bermunculan. Tujuannya apalagi jika bukan untuk menghibur, sesekali menyerang lawan-lawan politik. Lambe turah tentu tidak banyak manfaat di masyarakat. Namun, yang membikin heran justru komunitas lambe turah ini menjadi perhatian publik. Akun-akun yang bernama lambe turah banyak pengikutnya. Apakah dalam hal ini masyarakat kita sudah susah diajak berpikir serius? Entahlah.
Maka, berhati-hatilah karena lambe turah akan segera kita saksikan sejalan dengan perlehatan Pilkada serentak dan Pilpres di Indonesia. Lambe turah ada di sekitar kita atau jangan-jangan kita sendiri termasuk anggota lambe turah?

*) Nurudin , Penulis adalah Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM); Penulis buku “Perkembangan Teknologi Komunikasi” (2017). Penulis bisa dihubungi di twitter: @nurudinwriter, IG: nurudinwriter