Oleh: Anwar Hudijono
Ketika pertama kali Covid-19 muncul, seperti masyarakat pada umumnya, ada kalangan pesantren yang sempat kaget dan panik. Itu manusiawilah. Nabi Musa saja sempat takut dan panik ketika baru melihat ular-ular tukang sihirnya Firaun.
Tapi setelah mendapat petunjuk Allah bahwa ular-ular itu hanya tipuan, halusinasi, tidak nyata, Musa tenang. Dan meneruskan jihadnya menyampaikan risalah Allah kepada Firaun. Dan Musa menang.
Malah ada seorang kiai sepuh di daerah Nganjuk yang sejak awal bersikap tenang. Seperti tenangnya gunung tatkala diterpa angin. Menyatakan Covid-19 tidak ada. Blak-blakan saja saya semula menganggap Mbah Kiai ini sekadar anti-mainstream. Kurang informasi. Gagal paham.
Tapi lama-lama saya jadi mikir, jangan-jangan maksud kalimat “Covid-19 tidak ada” ini antara Mbah Kiai dengan saya berbeda. Jangan-jangan karena instrumen yang digunakan Mbah Kiai berbeda dengan yang saya pakai. Mbah Kiai melihat Covid ini dengan mata batin (bashirah), sementara saya ini memahami dengan mata handphone.
Saya mulai mikir, jangan-jangan justru saya ini yang gagal paham bin keblinger karena terlalu banyak membaca, melihat informasi tentang Covid-19. Ini bukan era informasi tapi disinformasi. Jangan-jangan yang saya baca, lihat dengarkan melalui medsos, media mainstream itu disinformasi. Yang saya anggap benar sebenarnya palsu. Dan yang saya anggap palsu justru benar. Campuran hoax dan fakta. Tidak jelas mana yang benar dan mana yang palsu. Sudah bercampur baur yang hak dan yang batil. Dalam istilah fiqih disebut syubhat. Kira-kira artinya remang-remang.
Saya mulai mikir lagi Hadits Rasulullah: “Sungguh demi Allah. Ada sesorang mendatangi dalam keadaan mengira bahwasanya dia itu beriman. Namun, pada akhirnya malah menjadi pengikutnya disebabkan syubhat-syubhat yang dia (Dajjal) sampaikan. (HR Ahmad). (A’udzubika min syarri masihid-dajjal.)
Ingat Mbah Kiai ini saya jadi ingat Nabi Hidlir. (Bukan bermaksud menjustifikasi Mbah Kiai ini seperti Hidlir). Hidlir tinggal sendirian di pertemuan dua samudera. Tidak pernah ke kota. Tapi dia mengetahui pemilik rumah reyot yaitu dua orang anak yatim anak orang saleh. Di dalam tanag di bawah rumah itu tersimpan harta karun. Musa yang menggunakan mata eksternal tidak mengetahuinya.
Hidlir tidak pernah bergaul dengan para nelayan, tetapi paham betul ada penguasa dzalim yang hendak merampas perahu para nelayan itu. (Pelajaran dari Allah itu implisit di dalam kisah Musa-Hidlir yang tertuang di dalam Quran, Kahfi 60-82).
Mbah Kiai ini mungkin memang tidak gaul luas. Mungkin juga gak androidan. Dia ahli tarekat. Insya Allah dzikir mengalir bersama desah nafasnya. (Nyuwun pengapunten Mbah Kiai. Saya sudah keminter, sok pintar dan sok tahu. Musa dulu juga sok keminter kepada Hidlir hahaha.)
Ujian dari Allah
Ketakutan kalangan pesantren tidak berlangsung lama. Ibarat orang diterjang banjir, setelah sempat tergagap beberapa bentar mereka segera memegang akar yang kuat untuk menyelamatkan diri. Akar itu adalah Quran dan Hadits. Kesimpulannya, Covid-19 ini ujian dari Allah. Untuk menyeleksi hamba-Nya.
“Yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa, Maha Pengampun.” (Quran, Al Muluk 2).
Covid-19 ini bisa saja tidak bersifat natural seperti angin yang merobohkan rumah. Tapi, hasil konspirasi setan (jin dan manusia) – misalnya dengan melalukan rekayasa genetika atau semacam senjata biologi. Tetapi tetap saja bisa terjadi atas ijin Allah. Bi idznillah. Tanpa ijin Allah semuanya mustahil terjadi. Dan Allah menggunakannya untuk menguji manusia.
Referensinya adalah Nabi Ayub diuji Allah dengan mengijinkan setan menginfeksikan penyakit ke tubuh Ayub. Efeknya penyakitnya jauh lebih dahsyat dibanding Covid-19. Betapa tidak, hampir seluruh tubuh Ayub berborok yang bernanah, dirubung set.
Ada lagi. Setan membunuh anak-anak Ayub. Iblis membakar pertanian Ayub sampai kekurangan pangan. Jatuh miskin. Belum cukup? Masih ditambah istrinya ngambek. Lengkap pol ujian untuk Ayub.
“Dan ingatlah ketika hamba Kami Ayyub ketika dia menyeru Tuhannya, sesungguhnya aku diganggu setan dengan penderitaan dan bencana”. (Quran, Shad 41).
Dalam ayat itu Ayub jelas menyebut setan. Dan setan itu terdiri dari dua golongan yaitu jin dan manusia. Jin dan setan bisa saja berkonspirasi menganiaya Ayub.
Ayub lulus dari ujian yang sangat berat itu. Dan Allah menghargai dengan karunia yang sangat besar.
“Dan Kami anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan Kami lipatgandakan jumlah mereka, sebagai rahmat dari Kami dan pelajaran bagi orang-orang yang berpikiran sehat”. (Quran, Shad 43).
Warga pesantren sudah mafhum betul, setiap menghadapi ujian itu yang jadi pegangan pokok antara lain Quran Surah Al Baqarah 152 – 157. Ujian itu bisa berupa ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa (sakit, mati), dan buah-buahan.
Dimulai dengan rasa syukur. Bersikap sabar dan shalat. Yakin Allah bersama orang yang sabar. Jika mati ketika menghadapi ujian, maka termasuk jihad fi sabilillah. Ending dari sabar dan shalat itu akan mendapat ampunan dan rahmat dari Allah. Dengan begitu termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk.
Penyelenggaraan pendidikan di pesantren itu memiliki paradigma, asas dasar yang sangat kokoh yaitu sebagai jihad fi sabilillah. Menyiapkan generasi berilmu. Cerdas. Ulul albab. Ilmu yang dikembangkan ilmu yang barokah. Hanya orang berilmu yang bisa memahami ayat-ayat Allah. Bukan ilmu yang diperlakukan seperti komoditas.
Model virtual
Sistem pembelajaran pesantren sudah memiliki pedoman, khasanah sendiri dan teruji. Di antaranya tak bisa diganti dengan model pembelajaran virtual. Pendidikan pesantren sangat mengutamakan pembentukan sikap. Karakter. Ahlak. Sampai-sampai kitab Ta’lim al Muta’alim diajarkan sekitar dua tahun.
Pembentukan sikap tidak bisa dilakukan secara virtual. Melainkan harus dalam praktek kehidupan sehari-hari. Melalui pembiasaan. Seperti pembiasaan Shalat jamaah, shalat tahajud, baca Quran, silaturahmi. Kedekatan personal santri dengan kiai. Jalinan hubungan batin yang intens.
Maka proses pembelajaran di pesantren berlangsung 24 jam. Di situlah letak perannya sebagai penjaga dan pengembang budaya belajar.
Praktis pesantren sudah kembali berpikiran sehat. Hidup normal. Dan ternyata thayib-thayib (baik-baik) saja. Kalau ada yang terinfeksi Covid-19 ya diobati seperti halnya penyakit lain. Sakit itu protapnya kalau tidak sembuh ya mati. Gak ada yang luar biasa.
Jika ada yang mati tetap dipandandang peristiwa biasa. Sudah takdir Allah. Tidak kena Covid pun orang pasti mati. Orang tidur di kasur empuk di rumah saja juga bisa mati. Lagi makan pecel di warung juga bisa mati setelah ada truk yang nyelonong nabrak.
Soal di-branding mati tanpa ditunggui keluarga, pemakamannya secara khusus dan terkesan mengerikan, akan dijawab orang mati itu pasti sendirian. Anak istrinya juga gak mau mengikuti. Orang mau mati juga gak pernah mikir ada keluarga apa tidak. Merasakan sakaratul maut saja sudah luar biasa sakitnya, boro-boro mikir partai, keluarga.
Kesabaran mereka itu seperti lautan. Diprovokasi, dijejali hoax, dipropaganda, didisinformasi tetap tak berubah.
Langkah pesantren ini, insya Allah sudah mengilhami banyak penyelenggara sekolah. Diam-diam sudah banyak sekolah melakukan tatap muka. Wisuda sekolah pun dilakukan sembunyi-sembunyi. Ada yang pakai sistem drive thru. Sudah membuat festival. Dan itu bagus. Dan aman-aman saja.
Penyelenggara sekolah, kepala sekolah para guru sebenarnya sudah mampu melepaskan diri dari cenkeraman Covid-19. Tapi masih ada yang mencekeram mereka yaitu pihak otoritas. Bisa itu yayasan dan organisasi yang menaungi. Juga otoritas lain (sampai di sini saya lupa dan mrinding).
Kadang pendidikan itu berada di bawah orotitas subyek yang tidak paham pendidikan. Lebih peduli urusan uang dibanding sumber daya manusia. Yang paling tragis itu jika otoritas lebih percaya bahkan menghamba kepada artificial intelligent (AI) dibanding kemanusiaan. Dan kita tahu siapa operator terbesar AI global ini.
Astaghfirullahal adhim.
Rabbana atina min ladunka rahmah wa hayyiklana min amrina rosada. Ya Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah petunjuk yang lurus bagi kami dalam urusan kami.” (Quran, Kahfi 10).
Rabbi a’lam (Tuhan lebih tahu).
Anwar Hudijono,
penulis tinggal di Sidoarjo.