MALANGVOICE- Sidang kasus dugaan pencemaran nama baik yang menyeret selebgram transgender Isa Zega memasuki babak baru. Bukan sekadar adu argumen, persidangan kali ini justru menghadirkan perspektif unik dari seorang ahli bahasa dan linguistik forensik. Andik Rianto, pakar dari Universitas Negeri Surabaya, dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk “membongkar” makna tersembunyi di balik unggahan tulisan dan video terdakwa.
Alih-alih fokus pada benar atau salahnya tuduhan, Andik justru menyoroti bagaimana bahasa bisa menjadi “senjata” yang berbahaya. Di hadapan majelis hakim, ia membedah unggahan Isa Zega yang menyebut nama “Shaundeship”. Sebuah nama yang, di mata awam, mungkin hanya terlihat sebagai salah ketik dari judul film kartun anak-anak.
Geger! Wahana Zombie Imersif Pertama di Indonesia Hadir di Malang, Siap Guncang Libur Lebaran
Namun, Andik punya pandangan berbeda. Dengan keahliannya, ia justru melihat “Shaundeship” sebagai kode tersembunyi yang mengarah pada satu nama: Shandy, pemilik MS Glow. Analisis ini diperkuat dengan pengakuan Isa Zega sendiri dalam persidangan yang menyebut, “Shandy aja ok.”
Lebih lanjut, Andik menjelaskan “kejahatan bahasa” dalam konteks ini bukan sekadar kesalahan gramatikal. Ia melihatnya sebagai rangkaian konten yang secara sengaja diarahkan kepada Shandy, terutama dalam konteks bisnis skincare. Sindiran dan plesetan kata, meski tampak biasa, menurut Andik memiliki maksud tersembunyi yang hanya bisa diurai melalui ilmu kebahasaan pragmatik dan forensik.
“Memang dalam bahasa tidak ada yang 100 persen pas, tapi kita dengan perangkat-perangkat kebahasaan kita, kata-kata yang dimaksud tadi ini mengarah ke A, o ini mengarah B,” jelas Andik, memberikan gambaran betapa rumitnya menafsirkan makna di balik kata-kata, terutama di era digital di mana teks, suara, dan video bercampur menjadi satu.
Menariknya, tim kuasa hukum Isa Zega Pitra Romadoni Nasution, justru meragukan kompetensi sang ahli. Mereka bahkan mencoba “menguji” Andik dengan istilah-istilah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang ternyata tidak sesuai dengan penjelasannya. Pihak pengacara berargumen, ahli hanya berasumsi tanpa rujukan yang jelas, sehingga opininya dianggap tidak objektif. Namun, Andik bersikukuh beberapa istilah yang ia gunakan mengacu pada KBBI versi daring, bukan cetak.
“Karena tadi kita juga bawa KBBI, pengertian tadi contohnya biang itu tidak sesuai dengan apa yang disampaikan dia, keladi juga tidak ada berdasarkan yang disampaikan dia, pengertian owner dan skincare juga tidak sesuai KBBI. dan dia mengaku bahwasanya itu adalah asumsi dia saja,” urai Pitra.
Katanya pengertianya yang disampaikan bukan berdasarkan rujukan yang jelas, sumber yang jelas.
“Sehingga kita bisa kategorikan contohnya Biang itu adalah induk binatang, tapi dia tidak menjelaskan sesuai KBBI, dia hanya membuat satu opini seolah-olah mengarah ke perkara tersebut, kan tidak boleh. Kita kan mengacu pada kamus besar bahasa Indonesia yang ada sehingga perkara ini terang benderang dan objektif,” pungkasnya.(der)