Bedah Buku Nicotine War, ‘Siasat Korporasi Farmasi Jualan Nikotin’

Bedah buku Nicotine War. (istimewa)

MALANGVOICE – LPM Canopy Universitas Brawijaya (UB) bersama Komunitas Kretek mengadakan bedah buku karya Wanda Hamilton berjudul Nicotine War.

Acara yang digelar pada Selasa (31/5) di UB Guest House ini mengangkat tema ‘Membedah Siasat Korporasi Farmasi Jualan Nikotin’. Dipandu Eddward S Kennedy sebagai penulis dan juga jurnalis, menghadirkan Imanina Eka Dalila (Peneliti PPKE Universitas Brawijaya), dan Abhisam Demosa (Koordinator Nasional Komunitas Kretek 2010-2016) sebagai narasumber.

Sejak dirilis dari tahun 2011 hingga kini, Nicotine War selalu menjadi perbincangan di kalangan akademisi maupun umum. Hasil riset dan kajian Wanda Hamilton menyajikan fakta-fakta (bukan fiksi atau prediksi) bahwa di balik agenda global pengontrolan tembakau terdapat kepentingan besar dari bisnis perdagangan obat-obat yang dikenal sebagai Nicotine Replacement Therapy (NRT).

Perang nikotin, sebagaimana digambarkan Wanda Hamilton, sudah nyaris dimenangkan korporasi-korporasi farmasi internasional dengan kesuksesannya melalui kampanye global antitembakau serta dukungan penuh dari WHO, lembaga kesehatan publik, pemerintahan dan NGO anti tembakau.

Siasat bermitra dengan pemerintah, otoritas kesehatan publik, dan membuat propaganda kesehatan melalui jaringan media, termasuk secara sistematis mengintervensi para dokter adalah semata untuk mematikan industri tembakau. Tujuannya jelas, nikotin tidak lagi dikonsumsi melalui rokok, melainkan melalui racikan farmasi.

Nicotine War berisikan informasi yang sangat kontekstual atas berkembangnya isu antirokok secara global. Terdapat fakta-fakta ilmiah yang diungkap oleh Wanda Hamilton, yakni tentang seluk-beluk peperangan memperebutkan nikotin antara “zat nikotin alami dalam tembakau” yang diwakili industri rokok versus “senyawa mirip nikotin” dan “sarana pengantar nikotin” yang diwakili industri kesehatan.

Isu antirokok itu sudah banyak ditemui sampai hari ini dan terus berkembang hingga salah satu agenda besarnya adalah Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) terus diperingati di Indonesia setiap tanggal 31 Mei dengan berbagai kegiatan dan tentu sebagai salah satu kampanye besar antirokok yang ingin memberantas tembakau di negara ini.

Dalam diskusi kali ini, Abhisam mengatakan, “Nicotine War” ini akan berimbas dengan punahnya kemandirian ekonomi, Industri kretek nasional adalah model industri berkarakter kuat: modal, bahan baku, produksi, sampai konsumsi hampir seluruhnya bersandar di dalam negeri sendiri.

“Setelah kemandirian ekonomi punah, maka di saat yang sama hajat hidup orang banyak akan punah juga. Ada 5,98 juta orang yang terlibat langsung dalam industri kretek nasional, sementara sektor yang berhubungan secara tidak langsung digerakkan oleh 24,4 juta tenaga kerja. Jumlah keseluruhan tenaga kerja yang terserap industri ini mencapai lebih dari 30 juta orang,” katanya.

Sementara Imanina menilai Industri Hasil Tembakau merupakan satu-satunya industri nasional yang terintegrasi dari hulu sampai hilir. Hal tersebut karena IHT memiliki peran signifikan dari penyediaan input produksi, pengolahan, hingga proses distribusinya dan IHT memberikan kontribusi yang signifikan bagi penerimaan nasional.

Imanina juga mengatakan rencana simplifikasi cukai dan kenaikan tarif cukai akan berbanding lurus dengan peningkatan peredaran rokok ilegal, pada tahun 2019, ketika tidak ada kenaikan tarif cukai, tidak ada simplifikasi, peredaran rokok ilegal mengalami penurunan signifikan diikuti dengan penurunan prevalensi perokok.

“Pola tersebut memberikan hipotetis bahwa kebijakan simplifikasi dan kenaikan tarif cukai hanya berdampak pada berkurangnya produksi rokok legal, namun tidak konsumsi secara agregat, mengingat masih adanya peredaran rokok ilegal,” tambahnya.

Sementara Irfan Afifi memandang ini melalui kacamata kebudayaan yang menganggap rencana besar antirokok yang ditulis oleh Wanda hamilton di dalam buku “Nicotine War” ini membuat bangsa Indonesia seperti tidak punya kemandirian dan kekuatan di dalam menentukan sikap dan lebih suka menerapkan apa yang dilakukan negara lain ketimbang membuat keputusan sendiri tentang kebijakan rokok dan tembakau di negara ini.

Dia juga mengatakan kalau di level pengetahuan kita sudah tidak mandiri, apalagi di level solusinya. Pun demikian dengan pengetahuan yang dibatasi dan kemudian diintervensi kampanye kesehatan yang masif selama puluhan tahun.

“Kita terus mengadopsi banyak hal mengenai hasil penelitian luar negeri dan “dipaksa” mengeksekusinya secara mentah, tidak memandang , nalar kebudayaan kita lah yang saat ini masih membuat kita masih bekerja membentengi rokok kretek sebagai produk kebudayaan Indonesia,” jelasnya.

Seiring perkembangan, agenda kepentingan pengendalian tembakau global memainkan agenda politiknya dalam upaya merebut pasar perokok di Indonesia. Di antaranya melalui regulasi cukai, menaikkan tarif cukai di atas 10 persen di tiap tahun, termasuk menerapkan simplifikasi cukai (penyederhanaan tarif) yang berpotensi membuat pabrikan level kecil menengah tidak akan kuat menanggung beban cukai yang disamakan dengan perusahaan besar.(der)