Amplop Tebal

Ilustrasi. (Anja Aronawa)

Oleh: Sulistiyo Suparno

Partinah sudah memasak daging ayam serundeng, sambal tomat, dan lalapan mentimun. Ini hari istimewa. Tak lama lagi Dalimin, suaminya akan pulang membawa amplop tebal, lebih tebal dari bulan-bulan yang lalu.

Partinah mengerti, suaminya telah berjuang agar bisa mendapatkan amplop tebal itu. Suami dan teman-temannya sudah menempuh berbagai cara, termasuk turun ke jalan dan mengepung Istana Negara.

Partinah dan anak-anak, Sari dan Hanif, selalu mengikuti perkembangan perjuangan Dalimin melalui berita-berita di televisi. Setiap usai salat mereka senantiasa berdoa agar perjuangan suami dan ayah mereka menuai hasil yang gemilang.

Maka ketika pemerintah mengumumkan akan menaikkan upah buruh, Partinah dan anak-anak segera sujud syukur. Ketika Dalimin pulang, Partinah dan anak-anak bergegas menyambutnya dengan pelukan hangat.

“Bapak hebat,” kata Hanif.

“Bapak pahlawan,” sahut Sari.

***

Partinah sudah selesai menata hidangan di meja makan, setelah itu ia duduk menanti di ruang tamu. Pukul 16.45. Sebentar lagi Dalimin pulang. Tak lama kemudian, Partinah melihat Dalimin membuka pintu pagar.

“Assalamu’alaikum,” Dalimin menyampaikan salam, ketika tiba di ambang pintu.

“Wa’alaikumsalam,” sahut Partinah tersenyum ceria. “Bagaimana, Pak?”

Dalimin mengerti maksud pertanyaan Partinah. Dalimin duduk, lalu mengeluarkan amplop coklat yang terlipat dari saku baju seragam pabriknya.

“Wah, tebal sekali ya, Pak?” kata Partinah sambil senyum-senyum.

“Alhamdulillah, Bu. Rezeki untuk keluarga kita,” sahut Dalimin.

“Kok tebal sekali ya, Pak?”

Dalimin gugup sesaat, lalu tersenyum dan berkata: “Itu sudah termasuk bonus. Kata mandor, kerjaku bagus.”

“Oh. Aku kira kamu korupsi, Pak,” kata Partinah terkekeh.

“Anak-anak mana, Bu?” tanya Dalimin.

“Masih di TPQ. Mungkin sebentar lagi pulang.”

Tak lama kemudian, tampak Sari dan Hanif memasuki halaman. Ketika melihat Dalimin di ruang tamu, Sari dan Hanif berseru gembira.

“Gimana, Pak? Jadi beli sepatu baru untuk Hanif, kan?” tanya Hanif.

“Dan kerudung baru untuk Sari,” sahut Sari ikut menagih janji.

“Pasti, dong. Nanti bakda isya, ya?” jawab Dalimin.

“Asyik!” seru Hanif melonjak-lonjak.

Di tengah suasana bahagia itu, Partinah lalu berkata: “Nah, sekarang kita ke meja makan. Ayam serundengnya sudah siap.”

Di meja makan, Sari dan Hanif makan seperti orang kelaparan. Sudah lama mereka tak makan daging ayam serundeng. Setiap hari mereka hanya makan seadanya. Makan daging ayam apalagi daging sapi, belum tentu sebulan sekali. Tetapi, ini hari istimewa, patut dirayakan dengan menu istimewa.

***

Tengah malam Partinah terjaga ketika mendengar suara sesengukkan di kamar. Dalam remang lampu 5 Watt, Partinah melihat Dalimin duduk di tepi ranjang.
Partinah duduk di sisi suaminya dan bertanya dengan suara lembut: “Ada apa, Pak. Mengapa kamu menangis?”

“Aku minta maaf, Bu. Aku sudah berbohong sama kamu,” jawab Dalimin, lalu menghela napas panjang.

“Bohong soal apa, Pak?”

“Amplop tebal yang tadi itu bukan upah dan bonus. Itu pesangon.”

“Pesangon?”

Dalimin mengangguk, lantas bercerita tentang keadaan di pabrik.

“Tadi siang Mr. Tanaka menemui para buruh. Mr. Tanaka meminta maaf karena pabriknya akan dipindah ke Vietnam. Mulai besok pabrik berhenti produksi. Mr. Tanaka tidak sanggup bila harus membayar buruh dengan aturan upah yang baru.”
Gemetar tubuh Partinah mendengar pengakuan suaminya.

“Terus bagaimana, Pak?”

“Entahlah, Bu. Aku bingung.”

Partinah menghela napas dan memejamkan mata. Keadaan ini memang bisa membuat bingung dan sedih buat Partinah dan Dalimin yang punya dua anak.

Bila Dalimin tidak bekerja lagi, lantas bagaimana untuk membiayai sekolah anak-anak? Sebentar lagi Hanif akan masuk SMA, Sari akan kuliah. Uang dari mana bila Dalimin tidak bekerja?

Tetapi Partinah juga mengerti, semua ini sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Anggap saja ini ujian, nanti pasti ada jalan keluar. Berpikir begitu, Partinah lantas membuka mata dan tersenyum.

Partinah menggenggam tangan Dalimin dan berkata lembut: “Sabar, ya, Pak? Gusti Allah pasti punya rencana yang lebih baik untuk kita.”

Dalimin tampak lega mendengar ucapan Partinah.

“Anak-anak jangan sampai tahu, ya, Bu? Aku akan coba cari kerjaan lagi. Semoga aku cepat mendapatkan pekerjaan baru,” kata Dalimin.

“Ya, Pak. Ini rahasia kita,” sahut Partinah tersenyum.

Partinah dan Dalimin lantas kembali membaringkan tubuh di ranjang. Sebelum memejamkan mata, Dalimin berkata: “Terima kasih, istriku. Kamu sudah memasak ayam serundeng. Ini hari istimewa untukku.”

Partinah memiringkan tubuh, menatap Dalimin, tersenyum dan menjawab: “Ya, Pak. Ini hari istimewa. Sudah larut malam, Pak. Tidurlah.”

*Sulistiyo Suparno, kelahiran Batang, 9 Mei 1974. Cerpen-cerpennya tersiar di Suara Merdeka, Radar Surabaya, Kedaulatan Rakyat, Nova, Minggu Pagi, Solopos, dan media lainnya. Bermukim di Batang, Jawa Tengah.