MALANGVOICE – Perubahan Perda RTRW Kota Batu dinilai akan memperparah turunnya kualitas daya dukung lingkungan Kota Batu. Aliansi Selamatkan Malang Raya menilai kebijakan yang mengatur pengelolaan dan pemanfaatan ruang itu memicu potensi besar bencana ekologis.
Sebagaimana diketahui Pemkot Batu merevisi Perda Kota Batu nomor 7 tahun 2011 tentang RTRW 2010-2030. Perubahan itu seiring dengan dinamika perkembangan Kota Batu yang tumbuh pesat. Sehingga ada penyesuaian dengan menerbitkan perubahan yakni Ranperda RTRW 2019-2039.
Jubir Aliansi, Jansen Tarigan mengatakan, berdasarkan hasil kajian, perubahan itu mengancam keberadaan tiga kawasan lindung yang mereduksi fungsi kawasan lindung. Berkurangnya kawasan sempadan yang mengancam kelesterian sumber air. Berikutnya, lenyapnya kawasan cagar budaya serta alih fungsi hutan lindung menjadi wilayah hutan produksi.
“Pengurangan besaran sempadan sungai. Dan perubahan kalimat dari “kawasan pemukiman/di luar pemukiman” menjadi “kawasan terbangun/tidak terbangun” yang melegitimasi kondisi ketidakteraturan pembangunan di Kota Batu,” imbuh Jansen saat menggelar aksi bersama Aliansi Selamatkan Malang Raya di halaman DPRD Kota Batu, Selasa (22/2).
Banjir bandang pada 4 November 2021 lalu merupakan titik kulminasi yang menandakan kerusakan yang mendatangkan bencana ekologis. Kritisnya pengelolaan ruang hidup diperparah dengan kebijakan antoposentris Pemkot Batu. Seperti memberikan izin pembangunan yang berdiri di kawasan yang bukan peruntukannya. Sehingga merusak kawasan-kawasan esensial. Mulai dari penyusutan hutan primer hingga ruang terbuka hijau.
“Di antaranya, seperti perumahan atau wisata buatan yang berdiri di kawasan ruang terbuka hijau (RTH). Alih fungsi lahan inilah yang berdasarkan pernyataan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), menyebabkan penyusutan kawasan hijau di Kota Batu, sehingga turut memberikan kerentanan wilayah terhadap bencana ekologis,” papar Jansen.
Berkaitan dengan perubahan Perda RTRW, pihak aliansi juga berkali-kali mengajukan agenda advokasi permohonan informasi dokumen kajian lingkungan hidup strategis (KLHS). Dokumen ini menjadi landasan utama menyusun evaluasi perubahan RTRW.
Permohonan audiensi telah dilayangkan sebanyak dua kali oleh Aliansi Selamatkan Malang Raya pada November 2021 dan Januari 2022. Namun, lanjut Jansen, permohonan tersebut diabaikan begitu saja dengan berbagai alasan prosedural.
“Padahal, tujuan audiensi tersebut adalah untuk mendiskusikan persoalan kerusakan lingkungan dan perubahan kebijakan RTRW, yang diduga tidak partisipatif dan mengancam keselamatan lingkungan hidup di Kota Batu,” papar dia.
Ia menambahkan, saat audiensi pada 4 Oktober 2021 bersama Dinas Lingkungan Hidup (DLH), pihak aliansi dijanjikan akan diberi dokumen KLHS kepada publik. Namun, pihaknya menilai Kepala DLH Kota Batu tak konsisten karena hingga kini tak kunjung ditanggapi.
“Kepala DLH Kota Batu dirasa juga tidak konsisten terhadap pernyataannya. Diperparah, DPRD Kota Batu juga bertindak abai terhadap aspirasi masyarakat sipil yang peduli pada kondisi kerusakan lingkungan di Kota Batu,” seru dia.
Sehingga memandang eksekutif dan legislatif tidak partisipatif dan tertutup menyangkut keberpihakan terhadap upaya pelindungan dan penyelamatan lingkungan hidup beserta masyarakatnya. Bahkan, patut diduga bahwa revisi kebijakan RTRW merupakan upaya melegitimasi praktik eksploitasi dan alih fungsi lahan semata yang sekaligus mempersempit RTH serta peminggiran masyarakat dari ruang hidupnya.
“Terbukti, hingga kini RTH di Kota Batu hanya tersisa 12% dari total luas wilayah,” ujar dia.
Beberapa poin pernyataan sikap disampaikan aliansi, yakni mendesak DPRD agar membuka ruang partisipasi masyarakat peduli lingkungan hidup di Kota Batu. menghentikan segala upaya penyempitan ruang demokrasi yang diajukan oleh masyarakat sipil, dan mendesak kepada DPRD untuk segera bertindak menyelamatkan Kota Batu dari keterancaman bencana ekologis dengan tidak mendukung revisi Perda RTRW Kota Batu.
Berikutnya meminta agar DPRD untuk mendesak eksekutif membuka dokumen KLHS kepada publik. Serta membuka ruang diskursus secara adil dan setara bersama masyarakat peduli lingkungan di Kota Batu.
“Selain itu menyerukan agar DPRD mendesak eksektutif untuk tidak mengeluarkan segala bentuk kebijakan yang kontra terhadap upaya penyelamatan lingkungan dan pencegahan bencana, ataupun yang menyamarkan peran Perda RTRW,” tukas dia
Ketua DPRD Batu, Asmadi saat dikonfirmasi mengatakan padatnya agenda anggota dewan mengakibatkan rencana audensi dengan Aliansi Selamatkan Malang Raya belum bisa dilaksanakan. Perda RTRW saat ini dikatakannya merupakan produk anggota DPRD Batu periode sebelumnya.
“Saya juga belum tahu perubahannya seperti apa, jangan sampai ada titipan-titipan,” tegas Asmadi.
Informasi yang diperoleh Asmadi, Perda RTRW masih berada di Pemerintah Pusat untuk menyesuaikan dengan regulasi di atasnya. Katanya, ada banyak hal yang direvisi di Perda tersebut. Hanya saja, ia belum menerima dokumen aslinya.
“RTRW masih di kementerian, ternyata disesuaikan lagi karena ada perubahan lagi kaitannya pandemi ini. Ada banyak hal yang direvisi,” paparnya.
Asmadi sependapat dengan Aliansi Selamatkan Malang Raya, bahwa peraturan yang baru nanti jangan sampai berpotensi melahirkan bencana alam. Masukan-masukan yang disampaikan oleh aliansi akan ditampung dan menjadi bahan pertimbangan.
“Perda RTRW itu peninggalan dewan sebelumnya. Kami mengubah yang tidak cocok, katakan kawasan yang tidak boleh dibangun. Jangan sampai banjir bandang lagi. Kami menerima masukannya aliansi, justru bagus,” ujarnya.(der)