PKL Sultan Agung Menolak Pindah Sebelum Ada Solusi dari Pemkot Batu

Keberadaan kios semi permanen di sepanjang Jalan Sultan Agung Kota Batu dinilai menggangu keindahan kota dan ilegal karena didirikan di atas fasum rumija. Pemkot Batu memberikan peringatan agar para PKL pemilik kios membongkar secara mandiri paling lambat 27 September. (MVoice/M. Noerhadi).

MALANGVOICE– Keberadaan kios-kios semi permanen di sepanjang Jalan Sultan Agung, Kota Batu dipandang merusak keindahan kota. Apalagi mereka menggunakan fasum ruang milik jalan (rumija) tanpa ada rekomendasi dari instansi terkait. Sehingga Pemkot Batu mengeluarkan peringatan agar para pedagang membongkar sendiri kios-kios semi permanen paling lambat 27 September.

Terdapat dua perkumpulan pedagang di kawasan Sultan Agung Kota Batu. Yakni Paguyuban Among Roso berada di wilayah Kelurahan Ngaglik, sedangkan satunya Paguyuban Bukit Bintang masuk wilayah Kelurahan Sisir. Meski berada pada wilayah berbeda, namun mereka dihadapkan pada persoalan yang sama yakni penggusuran.

Rencana pembongkaran kios semi permanen di wilayah itu sekaligus untuk memuluskan pengerjaan sejumlah proyek Pemkot Batu. Antara lain peningkatan sarana jalan, drainase dan pembangunan trotoar sepanjang 94 meter dan lebar 2,4 meter. Alhasil muncul gejolak di kalangan PKL yang sudah berjualan sejak 12 tahun lalu di wilayah tersebut.

Baca juga:
PKL di Jalan Sultan Agung Dipaksa Angkat Kaki Imbas Proyek Pemkot Batu

FEB UB Gelar Konferensi Internasional Membahas Masa Depan Transformasi Ekonomi Global

Diduga Palsukan Surat untuk Mangkir Penyelidikan, Apeng Kembali Laporkan CH ke Polisi

PKL dan Parkir di Kayutangan Heritage Mulai Ditertibkan

Pemkot Batu ‘Paksa’ PKL Jauhi Alun-Alun

Perwakilan Paguyuban PKL Among Roso, Sugianto mengatakan, para pedagang enggan membongkar kios-kios semi permanen sebelum ada solusi. Sekalipun Pemkot Batu memiliki agenda proyek pembangunan di wilayah, pihaknya akan tetap bertahan karena menyangkut sumber penghidupan mereka. Terlebih para pedagang merasa tidak mengganggu fasum rumija karena kios-kios tersebut didirikan bukan persis di atas trotoar.

“Kios kami di lahan belakang jalur trotoar. Kalau diusir tanpa solusi dimana lagi harus mencari nafkah. Karena dari hasil jualan yang tak seberapa, kami butuh penghasilan untuk menyekolahkan anak,” keluh Sugianto.

Sikap penolakan yang ditunjukkan PKL bukan untuk mengangkangi peraturan daerah. Dalam hal ini Perda nomor 6 tahun 2021 tentang penataan dan pemberdayaan PKL. Serta Perda nomor 7 tahun 2021 tentang penyelenggaraan trantibum ketentraman dan perlindungan masyarakat. Regulasi itu menjadi instrumen pemerintah untuk menggusur para PKL di sepanjang Jalan Sultan Agung.

Justru, lanjut Sugianto, pemerintah tidak memiliki kepedulian terhadap masyarakat kecil seperti dirinya. Karena penggusuran dilakukan secara memaksa tanpa disertai solusi seperti dipindahkan ke tempat lain untuk berjualan. Ia juga meminta pemerintah tak tebang pilih dalam menjalankan perda. Mengingat di tempat lainnya masih banyak PKL yang berjualan di atas trotoar.

“Kami setuju dengan perda asal jangan tebang pilih dalam penerapannya. Kami ini warga asli Kota Batu, cari makan di Kota Batu tapi pemerintah tidak ada perhatian. Soal penghidupan tolong dipikirkan juga,” imbuh dia.

Menurutnya, para PKL yang berjualan di situ karena mendapat jaminan dari mantan Wali Kota Batu, Eddy Rumpoko yang berjanji tak akan menggusur mereka sekalipun ada proyek skala besar maupun kecil.

“Mengutip perkataan Pak ER dulu, dari PKL ini akan lahir generasi penerus bangsa. Anaknya bisa sekolah, kemudian bisa jadi pejabat, pengusaha, dan lainnya. Karena itu sebesar apapun proyeknya, Pak ER berjanji tidak akan menggusur PKL,” tuturnya.

Pernyataan tersebut diungkapkan karena rencana penggusuran tersebut dampak dari sejumlah proyek yang bakal dikerjakan Pemkot Batu, salah satunya pembangunan drainase. Namun anggota paguyuban tidak mendapatkan kepastian apakah mereka bisa membangun kembali bangunan warungnya ketika proyek pemkot tersebut sudah rampung. Mereka khawatir jika proyek telah selesai ternyata mereka tidak bisa membangun kembali warung semi permanennya.

“Kalau diizinkan lagi untuk berdagang setelah proyek selesai, ya nggak keberatan membongkar warung untuk sementara. Atau mungkin dicarikan tempat lain, tentu nggak keberatan,” ujar dia.

Di kawasan tersebut, total ada sekitar 40 PKL yang berasal dari sejumlah paguyuban. Dengan adanya pemberitahuan itu, mereka juga memohon bantuan kepada DPRD Kota Batu sebagai penyambung lidah.

“Jika tidak ada titik temu, maka Pemkot Batu menciptakan suasana yang tidak bagus dan situasi yang tidak kondusif. Seolah-olah Pemkot Batu hanya melindungi pedagang besar saja, sedangkan yang kecil ditindas,” tuturnya,

Sementara itu, Ketua RW 14 Kelurahan Ngaglik, Fatoni menambahkan, jika di kawasan Jalan Sultan Agung PKL digusur, maka untuk penyama rataan PKL bunga yang ada di kawasan Jalan Sidomulyo juga harus digusur. Dia melihat PKL dikawasan itu sangat melanggar karena sudah menggunakan trotoar.

“Ini memang inisiatif RW kami, yang mau berjualan silahkan, tujuannya sederhana agar ekonomi bergerak. Kami tidak melanggar fasum, bangunan berdiri di belakang fasum,” tuturnya.

Menurut Fatoni, apabila benar ada proyek pembenahan drainase dari Pemprov Jatim di kawasan itu, hal tersebut merupakan hal yang mubazir. Sebab dikawasan itu tidak pernah banjir.

“Karena itu, kami tidak setuju jika ada penggusuran. Warga asli Kota Batu cari makan dirumahnya sendiri tapi diusir,” imbuhnya.(Der)