Oleh : SUGENG WINARNO
Dalam pewayangan, ada tokoh bernama Sengkuni. Sengkuni termasuk dalam tokoh bertabiat jahat. Sengkuni masuk dalam tokoh antagonis dalam cerita wayang Mahabarata. Sengkuni suka memecah belah, memfitnah, dan mengubar kebencian. Saat ini julukan Sengkuni kiranya cocok disematkan kepada mereka yang suka menebar berita bohong (hoax). Sengkuni-sengkuni zaman now ini harus jadi musuh bersama dan terus diperangi semua pihak.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) pernah melontarkan pernyataan agar kita semua memerangi Sengkuni penebar fitnah. Seperti diberitakan beberapa media, Menteri Tjahjo Kumolo menyampaikan pesan itu saat menutup Rapat Koordinasi Nasional Dewan Pimpinan Pusat Organisasi Masyarakat Rasa Sejatining Inti Kamanungsan (Rajatikam) di Yogyakarta, Sabtu, (1/12/2018).
Ajakan untuk perang melawan hoax berupa spanduk, baliho, iklan layanan di koran, majalah, radio, televisi, dan media online sudah banyak dibuat. Gerakan masyarakat melalui kelompok anti hoax juga banyak bermunculan di beberapa daerah. Melalui ceramah-ceramah agama dari para ulama dan kiai juga sudah banyak menyerukan agar masyarakat waspada terhadap munculnya hoax.
Mengapa informasi hoax tetap saja ada dan terus di bagi-bagi (share) lewat beragam platform medsos dan media pertemanan semacam WhatsApp (WA)? Pada masa kampanye politik saat ini, hoax bahkan muncul semakin masif dan semakin sulit dibendung. Informasi bohong dan menyesatkan terus diproduksi, viral, menggelinding semakin lama semakin membesar layaknya bola salju. Mana informasi yang benar dan mana pula yang salah menjadi semakin sulit dipilah.
Era Keberlimpahan Informasi
Inilah era keberlimpahan informasi. Sebuah era dimana informasi muncul membanjiri masyarakat. Informasi dalam beragam wujud dan versi menelisik masuk ke ruang-ruang pribadi masyarakat lewat beragam gadget dan laman medsos. Informasi melaju amat deras menyerbu masyarakat. Pada situasi seperti ini banjir informasi terjadi dan tidak sedikit yang jadi korban.
Pada masa keberlimpahan informasi ini sulit dipilah mana fakta dan mana pula opini atau pendapat pribadi seseorang. Keduanya bercampur, hingga sebuah kebenaran semakin sulit ditemukan. Kebenaran bisa saja muncul dari fakta kebohongan yang dijadikan opini seseorang dan diviralkan di medsos hingga jadi opini publik (public opinion).
Jadi kebenaran bisa rancu. Karena kebenaran bisa lahir dari kebohongan yang disulap seakan-akan seperti benar. Fakta hasil sebuah rekayasa seolah-olah nyata. Apalagi yang menyampaikan atau ikut memviralkan beberapa informasi yang belum jelas tadi para tokoh publik. Karena ketokohannya tidak jarang orang akan percaya begitu saja terhadap apapun yang disampaikan.
Pada era banjir informasi saat ini juga memungkinkan masing-masing orang bisa menjadi produsen informasi. Lewat medsos setiap pemilik akun bisa menggungah beragam informasi dalam beragam wujud. Informasi yang tersebar di medsos sulit dilacak, tidak bisa diverifikasi, dan tak gampang dilihat akurasinya. Karena tidak jarang orang yang mengungah informasi dan pemilik akunnya tanpa indentitas yang jelas (anonim).
Kondisi ini semakin diperburuk dengan kemampuan melek media (literasi media) masyarakat yang sangat rendah. Tidak banyak masyarakat yang mampu berfikir kritis ketika mengonsumsi media. Tidak jarang pengguna Facebook, Twitter, Instagram, atau WhatsApp yang menerima begitu saja terhadap berbagai informasi yang masuk kepadanya. Dengan gampang pula mereka turut menyebarkan informasi yang sering berupa hoax itu ke pertemanan mereka.
Kontra Narasi Hoax
Narasi berupa informasi bohong di medsos terus bergulir. Merebaknya konten negatif yang menyebar di medsos tak mudah dibendung. Pembuat konten jahat di medsos terlampau perkasa. Mereka terus memroduksi narasi-narasi yang menyesatkan sementara pihak yang melakukan perlawanan dengan unggahan pesan-pesan positif sangat jarang.
Frekuensi kemunculan informasi buruk lewat medsos tidak sebanding dengan informasi yang baik. Kenapa bisa demikian? Salah satu sebabnya karena informasi bohong saat ini telah menjadi industri yang mendatangkan banyak keuntungan. Beberapa pihak telah menjadi sponsor agar lahir informasi hoax yang meresahkan masyarakat. Para sponsor inilah yang rela membayar mahal untuk merebaknya hoax.
Kalau kondisinya sudah seperti ini maka mengajak masyarakat hanya sekedar menyaring terhadap informasi buruk di medsos tentu tidak cukup. Informasi yang harus disaring terlampau banyak. Masyarakat juga dihadapkan pada kondisi yang sulit untuk memilah dan memilih mana informasi yang baik dan benar. Butuh keahlian yang tidak mudah agar mampu menyaring informasi palsu yang menyesatkan.
Selain kemampuan menyaring informasi, sebenarnya yang perlu dilakukan adalah kemampuan membuat kontra narasi hoax. Upaya ini bisa dilakukan dengan memroduksi konten-konten positip. Narasi-narasi berupa anti hoax idealnya harus terus diproduksi melebihi narasi hoax yang muncul. Semua yang bohong idealnya harus dilawan dengan menunjukkan yang benar. Upaya kontra narasi terhadap informasi hoax harus terus dibuat secara masif sejalan dengan masifnya hoax yang diproduksi dan disebar para Sengkuni. Mari lawan Sengkuni produsen hoax!.
(*)SUGENG WINARNO,Pegiat Literasi Media, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP
Universitas Muhammadiyah Malang