Minum Air Kloset agar Lekas Sehat

Ilustrasi. (Anja Arowana)

Oleh Surya Gemilang*

“Sebaiknya Anda minum air kloset agar lekas sehat,” balas dokter itu setelah kuucapkan keluhanku. Sinting bukan main, kan?!

Barangkali Sijit, teman baikku, tidak kalah sintingnya karena telah merekomendasikanku untuk pergi ke dokter sinting itu.

“Kau sialan, Jit!” hardikku melalui ponsel sepulangnya aku dari tempat praktik si Dokter Sinting. “Kau bilang dokter itu dapat diandalkan! Rupa-rupanya dokter itu sinting!”

“Lho? Sinting bagaimana?” tanya Sijit.

“Masa aku disuruh minum air kloset agar lekas sehat?!”

“Kalau memang begitu suruhannya, ikuti saja.”

“Ikuti saja?! Kau sinting sebagaimana dokter itu, ya?!

“Dengarkan aku baik-baik, Babah.” Sijit berhenti sebentar. “Waktu salah seorang saudaraku sakit gede, tak ada seorang dokter pun yang bisa menangani penyakitnya, kecuali dokter yang kau anggap sinting itu. Kau tahu dia menyuruh saudaraku minum apa? Dia menyuruhnya untuk minum kopi campur telur mentah! Dan, saudaraku langsung sembuh begitu menuruti suruhan dokter itu!”

“Itu, kan, hanya kopi campur telur mentah, Jit! Bukan a-i-r k-l-o-s-e-t!”

***

Rasa sakit yang ganjil itu hinggap di perutku sejak sebulan yang lalu. Semula, kupikir aku maag. Maka, kuminumlah obat maag, tapi rasa sakit di perutku tak kunjung membaik. Hari demi hari, sejak rasa sakit itu muncul, perutku terus membesar—sedikit demi sedikit saja, sehingga tak langsung kusadari hal itu. Kala rasa sakit di perutku semakin mengganggu, aku memutuskan untuk tidak ngantor sampai rasa sakit itu lenyap—entah kapan. (Toh, meski tak bekerja, uang tetap menghujani rekeningku.)

Sebelum mendatangi si Dokter Sinting, tak kurang dari sepuluh orang Dokter Normal yang telah kudatangi, dan mereka semua tidak tahu penyakit macam apa yang hinggap di perutku. Sempat aku berpikir bahwa aku disantet. Tapi, bukankah tukang santet dan semacamnya sudah pada punah di tahun 2040 ini?

***

Pagi ini—sehari setelah kudatangi si Dokter Sinting—begitu membuka mata, kudapati perutku sudah sebesar perut seorang wanita yang kandungannya berusia delapan bulan! Padahal, kemarin, ukuran perutku masih sekitar setengah dari ukuran perutku yang sekarang. Otomatis, baju-bajuku jadi pada tidak muat, sehingga aku mesti telanjang dari pinggang ke atas. Langkahku pun terasa berat. Perutku semakin sakit.

Masa, sih, aku mesti minum air kloset?! pikirku.

***

Entah kenapa kekasihku, Babah, tak bisa dihubungi pagi ini. Oleh karena itulah aku memutuskan untuk pergi ke rumahnya. Di depan gerbang rumah mewah tempatnya tinggal, aku bertemu dengan Sijit. “Kekasihmu tak bisa kuhubungi, dan itu membuatku khawatir,” jawab Sijit ketika kutanyai maksud kehadirannya kemari.

Kami pun masuk ke rumah Babah—pembantunya yang sudah pantas disebut “nenek” itu yang membukakan pintu—dan terbelalak begitu sampai di kamarnya.

“Ya ampun, Babah!” pekikku dan Sijit bersamaan.

Kekasihku tergeletak lemas di kasur, tanpa memakai baju. Wajahnya pucat, sepucat mayat—tapi ia masih hidup—dan perutnya … Ya ampun!

“Kenapa kau tidak berinisiatif untuk mencarikan dokter buat majikanmu?” ucapku pada si Pembantu yang sudah tua, setengah membentak.

Si Pembantu tertunduk. “Maunya, sih, begitu, Nona. Tapi Tuan Babah melarang saya.”

“Aku sudah bosan bertemu dengan dokter!” sambung Babah, suaranya parau. “Mereka semua tidak berguna!”

Sijit berdeham. “Apa kau sudah minum air kloset?”

(Aku sudah dengar soal “minum air kloset” itu dari Babah kemarin, via video call.)

“Bah! Kau jangan sinting, Jit! Pasti ada solusi yang lebih baik untuk menyembuhkan penyakitku ini!”

Heninglah beberapa jenak.

Si Pembantu memberi isyarat minta diri, dan Babah mengangguk, lantas pergi dari kamar ini.

Sijit tiba-tiba tampak menahan tawa. “Barangkali, perutmu itu terus membesar secara ganjil karena rekeningmu terus menggendut secara sama ganjilnya!” Tawa Sijit lantas pecah. “Makanya, jangan kaucurangi bosmu sendiri!”

Babah mengerang sebelum berkata, “Sialan betul kau! Mentang-mentang kini aku kesakitan, dan rasanya hampir mati, kau malah mengingatkanku akan dosa-dosaku sendiri!”

Sijit tergelak lagi, kemudian berkata kepadaku, “Nah! Benar, kan, apa kataku? Kekasihmu ini kotor!”

“Aku tidak peduli pada kotor-bersih dirinya,” balasku, dengan wajah memerah.

Sijit mendecak-decakkan lidah. “Wah … wah … Cinta dan uang sama-sama bisa bikin bodoh.”

“Mending kau pergi saja, Jit!” hardikku.

Wajah teman baik kekasihku itu sontak masam. Ia lalu berlalu dari kamar ini, tanpa kata-kata, sehingga tersisalah aku dan Babah.

“Biarlah dia pergi,” kata Babah lirih. “Kita tak memerlukannya.”

Tak terlalu lama kemudian, Sijit kembali ke kamar ini dengan segelas air di tangannya. Aku langsung tahu air apa itu sebab aromanya yang rada-rada tengik tercium jelas di hidungku.

“Kau mau meminumkan air kloset kepadanya?!” kataku.

“Jangan gila, Sijit!” Babah memekik parau. “Kau tidak boleh meminumkanku air kloset!”

Dengan gerakan cepat, aku pun merebut gelas itu dari tangan Sijit. Dan Sijit merebut gelas itu dari tanganku. Dan aku merebut gelas itu dari tangan Sijit. Dan Sijit … Selagi kami saling memperebutkan gelas tersebut, kulihat Babah bangkit perlahan-lahan, dengan susah sungguh, lantas meninju rahang Sijit dari samping dengan teramat keras hingga teman baiknya itu pingsan.

***