Minum Air Kloset agar Lekas Sehat

Aku mulai berpikir bahwa apa yang sempat Sijit katakan padaku ada benarnya …

Pada pagi ketika kudapati ukuran perutku bertambah drastis, ada uang yang masuk ke rekeningku dalam jumlah yang jauh di atas biasanya—kuketahui itu setelah aku mengecek rekeningku melalui internet.

Tunggu dulu … Tidak ada penjelasan logis mengenai hubungan antara perutku dengan rekeningku! Toh, aku bermain curang sekali saja; uanglah yang terus-terusan menghujani rekeningku berkat kemenanganku dalam permainan itu. Memang, sih, rasa sakit yang ganjil itu mulai hinggap di perutku sehari setelah hari kemenanganku …

Tapi, mana mungkin kekayaanku merugikan diriku sendiri?

***

Sijit tak mau lagi peduli pada kekasihku yang kini—empat hari setelah hari di mana Babah meninju Sijit hingga pingsan—hanya mampu tergeletak di kasur. Perutnya yang besar ternyata masih bisa bertambah besar. Rasa sakitnya yang hebat masih bisa bertambah hebat.

Sudah tiga hari aku menunggui Babah di kamar rumah sakit ini. (Akhirnya, setelah benar-benar kesakitan, ia mau dibawa ke rumah sakit, meski pihak rumah sakit ini mengaku belum mengetahui penyakit macam apa yang diderita olehnya—tapi mereka berjanji akan terus berusaha mencari tahu, dan untuk sementara ini Babah hanya dirawat sebisanya.) Pekerjaan Babah di kantor jadi semakin terbengkalai. Tapi Babah tak khawatir soal pekerjaannya karena tanpa ngantor pun uang akan tetap diperolehnya.

Setiap hari, seorang dokter dan seorang perawat selalu datang ke kamar ini; si Dokter menyuntikkan suatu cairan ke tubuh Babah, sedangkan si Perawat meminumkannya sebutir pil berwarna putih.

“Kenapa rasa air minumnya aneh betul?” kekasihku memprotes setelah berhasil menelan pil berwarna putih, dengan bantuan air minum tentunya, yang diminumkan oleh si Perawat hari ini. “Apa air minumnya sudah kedaluarsa, eh?”
Si dokter dan si Perawat lantas kebingungan. Aku pun pura-pura kebingungan dengan ucapan Babah. Sesungguhnya, telah kuganti air minum itu dengan air kloset. Untungnya air kloset di rumah sakit ini tidak berbau tengik, sehingga tak ada yang terasa ganjil sebelum Babah menenggaknya. Apakah aku sudah sinting karena telah melakukan hal itu? (Setidaknya, aku melakukannya demi kebaikan.)

Mendadak dari dalam perut Babah terdengar gemuruh yang ganjil. Ia jadi panik betul—sebagaimana aku—seraya menjerit sejadi-jadinya, terlebih ketika perlahan-lahan perutnya yang amat besar itu membesar!

Bukannya bertindak, si Dokter dan si Perawat malah menundukkan kepala. Mulut mereka terlihat bergerak-gerak kecil, seperti sedang merapalkan doa.

Tahu-tahu saja perut Babah meledak, mengguncang ruangan, membuat siapa pun yang hidup pada terkejut. Alih-alih darah, daging, dan lainnya yang masuk akal, cairan kental berwarna emaslah yang terciprat dari perut itu!

***

*)Surya Gemilang, lahir di Denpasar, 21 Maret 1998. Buku pertamanya adalah antologi cerpen tunggal berjudul Mengejar Bintang Jatuh (2015). Kumpulan puisi Cara Mencintai Monster (2017) adalah buku keduanya. Karya-karya tulisnya yang lain dapat dijumpai di lebih dari sepuluh antologi bersama dan sejumlah media massa, seperti: Kompas, Suara NTB, Bali Post, Riau Pos, Rakyat Sumbar, Medan Bisnis, Basabasi.co, Litera, Tatkala.co, dan lain-lain.