Catatan HPN: Kebebasan yang Kebablasan, Tantangan Terkini Dunia Pers

MALANGVOICE- Pada dialog bertajuk Konvensi Media Massa di forum HPN 2016 di Mataram, Nusa Tenggara Barat, Ketua Dewan Pers, Prof Bagir Manan, juga mempresentasikan tantangan terkini dunia pers, terutama kebebasan per situ sendiri.

“Paling tidak ada dua masalah dan tantangan. Pertama, pers menerapkan kebebasan secara berlebihan (exessive). Dalam kaitan ini cukup populer sebutan ‘pers kebablasan’. Kemerdekaan memperoleh dan menyebarkan informasi dimaknai tanpa batas,” katanya.

Setiap prosedur, apalagi perbuatan yang sedikit ‘menghambat’ memperoleh informasi atau menjalankan tugas-tugas jurnalistik, serta merta dianggap sebagai ancaman terhadap kemerdekaan pers. Dari berbagai kasus yang ada di Dewan Pers, didapati pelajaran kaidah-kaidah hukum pers, prinsip-prinsip jurnalisme dan kode etik.

Kedua, lanjut Bagir, reduksi normatif kemerdekaan pers. Masih didapati ketentuan atau rancangan ketentuan yang dapat membatasi kemerdekaan pers lebih dari takaran yang diperlukan (ancaman pidana yang diperberat).

“Secara normatif, ketentuan-ketentuan ini bersifat umum (berlaku pada setiap orang), tetapi karena jenis perbuatan dan sifat perbuatan pers, perslah yang paling potensial dan mudah terkena ancaman ini. Dan ketiga, kekerasan terhadap pers yang sedang menjalankan tugas jurnalistik, bahkan tidak hanya terhadap wartawan, tetapi juga peralatan jurnalistik dan kantor pers,” rincinya.

Persaingan Antar Pers

Prof Bagir juga menyorot kebebasan menyelenggarakan usaha pers yang mengakibatkan persaingan sangat bebas antar pers. Pers yang kuat mengembangkan usaha pers dengan membuat badan usaha yang tersebar hampir di seluruh tanah air.

Dalam berbagai hal terjadi persaingan tidak sehat, seperti berebut iklan, memurahkan harga, yang dapat mematikan usaha pers lainnya. Bagi masyarakat, banyaknya usaha pers memberi keuntungan karena tersedia berbagai pilihan.

Persoalannya, persaingan merebut pasar tidak selalu mengedepankan manajemen yang baik (efisiensi), mutu jurnalistik, penggunaan teknologi yang tepat, melainkan persaingan dengan cara-cara tidak sehat.

Mutu SDM

Sumberdaya manusia pers terdiri dari bermacam-macam komponen, mulai dari pemilik, penanggungjawab berita isi siaran, wartawan, dan sebagainya.”Reformasi antara lain ditandai dengan ‘booming’ penerbitan dan aktifitas pers. Selain persoalan kemampuan manajemen, saat ini yang terjadi adalah ketersediaan wartawan yang bermutu.

Umumnya peminat menjadi wartawan tidak (belum) pernah bersiap menjadi wartawan. Ada beberapa motif menjadi wartawan. Pertama; idealisme. Yaitu menjadi pekerja profesional yang merdeka (bebas).

Kedua, latar belakang keilmuan (mendalami ilmu jurnalistik atau salah satu cabang ilmu komunikasi atau ilmu komunikasi pada umumnya). Ketiga, sebagai lapangan kerja. Kewartawanan merupakan lapangan kerja yang sangat terbuka, tanpa persyaratan pengetahuan khusus tertentu, bekerja sambil belajar (learning by doing).

“Keempat, jalan memperluas akses sosial dan peluang ekonomi. Kelima, ada itikad buruk menggunakan ‘kartu wartawan’ sebagai alat memperoleh keuntungan pribadi, dan keenam, menjadikan media sebagai sarana berpolitik,” jelasnya.

Mungkin masih ada motif-motif lain. Makin ke daerah (pers yang terbit di daerah), tambah Bagir lagi, makin banyak dihadapi persoalan dan masalah mutu wartawan.

Independensi dan Motif

Telah lama diterima, pers bukan lagi semata sebagai institusi sosial, tetapi juga ekonomi dan politik. Persoalannya, “Bagaimana menggunakan atau menjaga keseimbangan antara pers sebagai institusi sosial yang menuntut independensi, dengan kepentingan-kepentingan pers sebagai institusi ekonomi dan institusi politik?”

Sebagai institusi ekonomi, kata Bagir, tidak mungkin menafikan motif ekonomi usaha pers. Dari segi ekonomi, pers dapat hidup layak apabila ditopang ketersediaan kemampuan ekonomi yang cukup.

Dengan demikian didapati hubungan simbiosis antara pers sebagai institusi sosial dan ekonomi. Yang harus dijaga adalah, jangan sampai terjadi eksploitasi pers demi kepentingan ekonomi.

Presiden dalam pidato di hadapan MPR saat memperingati Proklamasi tahun lalu, mensinyalair, pers terlalu menekankan pada rating. Secara implisit Presiden juga bermaksud menyatakan, pers seperti itu melupakan diri sebagai institusi sosial atau sebagai institusi publik.

“Lalu bagaimana dengan pers sebagai institusi politik. Thomas Carlille mengintrodusir istilah ‘pers sebagai the fourth estate’… sebagai cabang kekuasaan di samping legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dengan sebutan itu, pers dimaknai sebagai institusi politik,” tegas Bagir.

Kedudukan pers sebagai institusi politik diperkuat oleh penerapan demokrasi. Selain sebagai sarana mewujudkan kebebasan berpendapat dan penghubung antara penyelenggara negara dan rakyat, pers lekat dengan fungsi kontrol terhadap penyelenggara negara.

“Persoalan timbul ketika usaha pers dimiliki atau dijalankan oleh pelaku politik, seperti pemimpin partai. Apakah pers semacam itu dapat menjalankan prinsip independensi atau menjadi partisan yang menjadi saluran kepentingan politik?”