Unik, Biskuit Berbahan Tempe dan Bekatul Karya Mahasiswa Tembus Internasional

Tim penemu biskuit tempe. (Istimewa)
Tim penemu biskuit tempe. (Istimewa)

MALANGVOICE – Biskuit biasanya dibuat dengan tepung terigu dan tepung gandum. Namun tidak bagi sekelompok mahasiswa Universitas Brawijaya (UB), mereka menciptakan biskuit berbahan tempe disebut Yuki atau Yummy Cookie

Mereka adalah Ngesti Ekaning Asih, Af’idatul Lutfita Shofiatur Rizka, Susi Wardani, Nur Afida Nuzula dan Lusia Kartika Ratri. Kelimanya mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian angkatan 2015. Tak hanya tempe, biskuit ini juga terdiri dari campuran tepung ganyong, dan bekatul.

Ketua tim, Ngesti Ekaning Asih mengatakan, menurut data yang mereka himpun dari Food and Agriculture Organization (FAO). Data tersebut menunjukkan sebanyak 124 juta manusia di dunia terancam kelaparan di sepanjang 2017.

“Data jumlah manusia sedunia yang terancam kelaparan menunjukkan kenaikan setiap tahunnya. Selain itu FAO juga memperkirakan bahwa terdapat 19.4 juta penduduk Indonesia menderita kekurangan gizi sepanjang 2014-2016,” katanya, (18/6).

Berawal dari situ, kelima mahasiswa jurusan Teknologi Hasil Pertanian ini kemudian mencari inovasi atas permasalahan tersebut. Mereka kemudian menemukan biskuit berbahan dasar tempe, bekatul dan tepung ganyong untuk mengatasi kelaparan dan malnutrisi.

“Kebetulan kami kuliah di Malang sehingga kami cukup akrab dengan olahan tempe asal Malang. Selain itu, tempe juga merupakan komoditas yang banyak dijumpai di daerah asal teman teman di Trenggalek, Nganjuk dan Blitar,” lanjut wanita asli Malang tersebut.

Di bawah bimbingan dosen UB, Wenny Bekti Sunarharum, kelima mahasiswa ini ingin mengolah bahan dasar tempe menjadi bahan pangan yang fungsional sekaligus sesuai tren masa kini. Sebab, pada umumnya tempe hanya disajikan dalam bentuk gorengan.

Biskuit tempe enak rasanya. (Istimewa)

“Kali ini tempe kami olah sebagai cookies dengan penambahan tepung ganyong dan bekatul untuk memperkaya nutrisinya. Sajian cookies ini selain bentuknya yang unik dan praktis, juga memperpanjang umur simpan dan tampilan packaging yang lebih menarik,” tuturnya.

Ngesti menjelaskan, proses pembuatan biskuit tempe ini relatif sederhana. Setelah tempe, bekatul dan ganyong mengalami proses pengeringan dan penepungan kemudian tinggal ditambah telur serta bahan lain. Adonan kemudian diolah seperti pembuatan cookies pada umumnya.

Selain itu, biskuit tempe diklaim aman bagi penderita autis. Sebab dalam pembuatannya, biskuit ini tidak menggunakan tepung terigu sama sekali sehingga bersifat non gluten. Makanan yang mengandung gluten sering kali dituding dapat memperberat gejala pada anak autisme.

“Selain mengoptimalkan pengolahan komoditas lokal, tempe, ganyong dan bekatul, inovasi kami ini juga bermanfaat bagi penderita autis dan malnutrisi serta terutama mengatasi wabah kelaparan dunia karena tinggi kandungan kalorinya,” pungkasnya.

Berkat biskuit ini, kelima mahasiswa ini berhak maju dalam final kompetisi pangan dunia, The International Union of Food Science and Technology (IUFoST) Product Development Competition 2018 di CIDCO Exhibition Centre, Mumbai, India, pada 23-27 Oktober 2018.

Kelima mahasiswa asal Indonesia ini berhasil menyisihkan tiga ribu kontestan lainnya dari 70 negara dalam kompetisi tersebut. Mereka pun maju sebagai finalis bersama delapan tim, yakni dari China, Amerika Serikat, Brazil, India, Uganda, Kenya, United Kingdom dan Perancis.

Sebagai informasi, IUFoST Product Development Competition 2018 adalah kompetisi ilmiah dua tahunan tingkat dunia di bidang pengembangan produk pangan. IUFoST dididirikan sejak 1962 dan memiliki motto Food Science Fighting Hunger. (Der/Ery)