UM Kukuhkan Lima Guru Besar, Pendidikan Ekonomi Tidak Tergarap Korupsi Meningkat

Lima guru besar baru UM yang dikukuhkan, Kamis (12/5) di Gedung Cakrawala. (Humas UM/Mvoice)

MALANGVOICE – Rektor Universitas Negeri Malang (UM) Prof Dr AH Rofi’uddin MPd mengukuhkan lima guru besar baru, Kamis (12/5) dalam Sidang Terbuka Senat Akademik UM di Gedung Cakrawala.

Mereka adalah Prof Dr Hari Wahyono MPd, Prof Dr Cipto Wardoyo SE, MPd, MSi, Ak, CA, Prof Dr Rina Rifqie Mariana MP, Prof Dr Hardika MPd, Prof Dr Hayuni Retno Widarti MSi
dan Prof Dr Maysyaroh MPd.

Seperti juga pengukuhan guru besar sebelumnya, mereka juga berkesempatan menyampaikan pidato ilmiah dengan berbagai bidang ilmunya.

Prof Hari Wahyono dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis mengakui betapa pentingnya pendidikan ekonomi bagi bangsa ini. “Pendidikan ekonomi tidak kalah pentingnya dengan pendidikan bahasa atau pun sejarah,” ujarnya menjelang pengukuhannya.

Menurutnya perilaku ekonomi yang tidak benar sekarang ini menyebabkan literasi keuangan amboradul, etos kerja rendah, hidup susah, banyak pengangguran dan korupsi meningkat sumbernya adalah pendidikan ekonomi tidak digarap dengan baik.

Prof Hari mengakui selama ini pendidikan ekonomi kurang diperhatilan. Baik di sektor informal lingkungan rumah tangga, nonformal, masyarakat maupun formal, pendidikan.

“Di sektor formal kita punya sistem ekonomi Pancasila yang begitu hebat berlandaskan koperasi yang diabaikan,” terangnya.

Untuk itu Prof Hari memiliki pemikiran dengan pendidikan ekonomi masyarakat akan mampu jika semua itu dibingkai dalam Ekonomi Pancasila,” tegasnya.

Dalam Pidato Ilmiahnya yang bejudul Pendidikan Ekonomi dan Kesejahteraan dalam Bingkai Ekonomi Pncasila, Prof Hari mempertanyakan kenapa masih import paham ekonomi dari negara lain.

“Sementara sejak dulu Indonesia memiliki paham ekonomi kerakyatan dan Pancasila,” tegasnya.

Prof Cipto Wardoyo yang juga dari Ilmu Pendidikan Ekonomi mengetengahkan profesionalisme dan profesionalisasi pendidik di perguruan tinggi.

Menurutnya, profesionalime dibagi menjadi empat fase. Fase pertama adalah fase pra profesional. “Pendidikan masih mengharapkan arahan dari atasan, karena dianggap memiliki wawasab yang lebih luas,” ujarnya yang ditemui secara terpisah.

Untuk fase ini tambah Cipto Wardoyo adalah pendidik yang masih muda.

Untuk fase kedua, disebut sebagai fase otonom profesional, kemudian fase profesional kolegial dan yang terakhir adalah fase pascaprofesional.

“Fase pascaprofesional ini sering disebut dengan era baru atau postmodern. Terbuka dapat menerima masukan dari manapun, inklusif dan lebih demokratis,” tambahnya.

Sementara Prof Hayuni mengakui sampai saat ini Ilmu Kimua masih menjadi momok bagi peserta didik.

“Peserta didik terkadang merasa kesulitan mempelajari ilmu kimia. Terlebih lagi kondisi pandemi Covid-19 yang mengharuskan pembelajaran hanya dapat dilakukan secara daring,” terangnya.

Menurutnya konsep Prof Hayuni yakni Desain Program Pembelajaran Berbasis Multiple Representation melalui Cognitive Dissonance untuk mereduksi miskomsepsi Kimia sangat membantu peserta didik dalam mempelajari ilmu kimia saat pandemi Covid ini.

Prof Maisyaroh dalam pidato ilmiahnya mengungkapkan, seirang guru harus terus menerus mengembangkan kemampuan mengajarnya.

Sehingga kualitas proses belajar mengajar di kelas dapat membentuk peserta didik yang berkualitas.

Sedangkan Prof Hardika memposisikan seorang pendidik adalah sebagai teman belajar.

Guru besar Ilmu Pendidikan Luar Sekolah ini mengatakan pendidik adalah membantu menyelesaikan masalah.

“Memang mudah diucapkan tapi sulit dilakukan. Misalnya mahasiswa WA dosennya trus menjawabnya 3 hari kemudian dan hanya singkat, OK, silakan,” tegasnya.

Menurut Hardika bagaimana dosen atau guru bisa menjadi sahabat belajar kalau tidak ada komunikasi.

Menyinggung pembelajaran secara online menurut Hardika selain tidak ada komunikasi juga keterlamabtan respon. “Isi respon tidak memadai sebagai penjelasan akademik,” terangnya.(end)