Tren Bencana Terus Naik, BPBD Kota Malang: Dampak Perubahan Iklim

Ilustrasi bencana. (BPBD Kota Malang)

MALANGVOICE – Kasus kebencanaan menunjukkan kenaikan tiap tahunnya. Hal ini tak lepas dari perubahan iklim yang telah diprediksi jauh hari.

BPBD Kota Malang mencatat kenaikan kasus kejadian bencana dalam lima tahun terakhir. Tahun 2016 tercatat 106 kasus kejadian, tahun 2017 sebanyak 192 kasus dan tahun 2018 naik menjadi 222 kasus. Data menyebut bencana hidrometeorologi memiliki peran paling dominan seperti tanah longsor, genangan air, banjir, angin kencang, pohon tumbang hingga kekeringan hidologis.

“Hasil studi para ahli mengarah pada kesimpulan, bahwa bencana dipengaruhi dua hal yakni populasi dan perubahan iklim,” kata Analis Bencana BPBD Kota Malang, Mahfuzi dalam keterangan tertulisnya.

Isu besar, lanjut dia, terkait perubahan iklim bukan lagi menjadi konsumsi dunia internasional, namun sudah menjadi pembicaraan di tingkat regional hingga kota. Bahwa pentingnya adaptasi terhadap perubahan iklim sudah saatnya dilakukan.

Adaptasi iklim sangat penting dalam upaya mengurangi risiko dan dampak perubahan iklim. Adaptasi perubahan iklim harus dilakukan secara masif dan sistematis dalam suatu ekosistem (baca: komunitas atau masyarakat) yang mana dapat dilakukan baik secara individual, kelompok hingga masyarakat dalam skala luas.

“Adaptasi itu menurut saya adalah upaya kita untuk menyesuaikan diri terhadap proses perubahan iklim yang ada. Bisa dengan membatasi dampak akibat perubahan iklim, atau malah dengan memanfaatkan peluang dari perubahan iklim itu sendiri,” imbuh alumnus disaster management Unsyiah Aceh ini.

Dicontohkannya, penyebab pohon tumbang di Kota Malang selain diterpa angin kencang juga akibat akar atau batang pohon yang lapuk. Terdapat 6 jenis pohon yang sering tumbang. Yakni pohon Ceri (Muntingia calabura), Sepatu Dea (Spathodea), Trembesi (Albizia saman), Kecrutan (Spathodea campanulate), Waru (Hibiscus tiliaceus) dan Sengon (Paraserianthes falcataria).

“Adaptasinya bisa dengan memilih tanaman yang memiliki akar yang kuat dan tahan terpaan angin kencang,” sambung dia.

Demikian pula dengan fenomena banjir di Kota Malang, Mahfuzi menjelaskan dapat diantisipasi dengan memahami sifat fisik air itu sendiri. Hierarkinya air akan menuju tempat yang lebih rendah, untuk itu jangan arah alirannya jangan sampai terhalangi.

“Saluran drainase harus bebas sampah. Sedimentasi pun seminim mungkin. Agar infiltrasi lancar, jangan tutup halaman dengan cor semen serta buatkan sumur resapan atau biopori,” ujarnya.

Dampak adanya perubahan iklim telah nyata di depan mata. Cuaca yang kian tak menentu, dan bencana hidrometeorologi yang meningkat membutuhkan aksi nyata untuk meredam atau mengurangi dampak agar tak makin mempengaruhi kehidupan manusia di masa mendatang.

“Aksi itu bermacam-macam. Dimulai dari diri sendiri dan keluarga. Misalnya penggunaan tumbler sebagai wadah minum. Bersepeda juga ikut berkontribusi mengurangi kadar CO2, bahkan dengan menanam pohon di halaman serta efisiensi energi dengan mematikan lampu di siang hari. Intinya perubahan besar dimulai dari hal-hal yang kecil,” urainya.

Ia menambahkan, belakang ini temperatur udara Kota Malang terasa panas. Tak hanya siang hari, saat malam pun banyak yang mengeluh suhu udara yang membuat keringat tubuh mengucur. Awan gelap yang menggantung dan diprediksi bakal menurunkan hujan nyatanya tak kunjung tiba.

“Setuju atau tidak, inilah dampak dari perubahan iklim (climate change),” ujarnya.(Der/Aka)