Tim GTRA Kota Batu Jadi Ujung Tombak Urai Konflik Agraria

Konflik tenurial penguasaan lahan kawasan hutan banyak ditemui di Kecamatan Bumiaji, Kota Batu. Lahan kawasan hutan dimanfaatkan masyarakat untuk pertanian hingga permukiman. (MG1/Malangvoice)

MALANGVOICE – Konflik tenurial kawasan hutan menyelimuti tiga desa yang ada di wilayah Kecamatan Bumiaji, Kota Batu. Sebagian besar banyak ditemukan di Desa Tulungrejo yang diketahui konflik agraria di kawasan hutan tersebar di empat titik.

Terdapat tiga titik konflik agraria berada dalam tanah negara yang dipergunakan pihak swasta dengan status HGU dan HGB.

Kepala Desa Tulungrejo, Suliyono mengatakan, sudah puluhan tahun masyarakat menempati lahan kawasan hutan. Mereka memanfaatkan lahan tersebut sebagai area permukiman maupun areal pertanian.

Semisal di Dusun Junggo yang saat ini lahan seluas 35 hektar diklaim milik Perhutani sebagai kawasan hutan lindung. Ia mengatakan, lahan tersebut ditempati 119 kepala keluarga (KK) yang dimanfaatkan sebagai lahan pertanian hingga kini.

“Lahan itu sebelumnya milik warga Dusun Junggo. Tapi Perum Perhutani mengklaim sebagai asetnya. Masyarakat berharap diberikan hak milik sebagai penggarap lahan,” tutur dia.

Hal serupa dialami 317 kepala keluarga (KK) di Kampung Besta, Dusun Junggo. Mereka menempati lahan seluas 10,9 hektare untuk lahan pertanian maupun permukiman. Masyarakat setempat mengajukan permohonan, dan ditindaklanjuti dengan langkah tukar menukar tanah petak 50a Perhutani dengan tanah yasan seluas 16 hektar di Desa Bandungrejo, Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang. Status legalitasnya masih menunggu rekomendasi dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur.

Selanjutnya, berada di Kampung Talun, Dusun Wonorejo, Desa Tulungrejo dengan lahan seluas 11 hektar yang ditempati 281 orang. Masyarakat mengajukan permohonan tukar menukar tanah yasan di Desa Srigonco, Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang. Status saat ini menunggu Surat Persetujuan Menteri KLHK untuk proses pemberian hak milik kepada warga Kampung Talun.

Suliyono menambahkan, konflik agraria juga berada di tanah aset negara berstatus HGB maupun HGU. Seperti pada lahan bekas perkebunan swasta yang HGB-nya berakhir pada 2010 lalu. Lahan seluas 9 hektar itu dimanfaatkan 52 KK.

Lahan lainnya yang masih menyisakan persoalan yakni tanah negara bekas HGB seluas 8,35 hektar. Sebelumnya lahan itu dikuasai PT Bukit Selecta Mas selaku pemegang hak atas tanah (HAT) sejak 1988. Masa berlaku HGB berkahir pada 2010. Kini, masyarakat mengajukan permohonan redistribusi atas tanah tersebut.

Suliyono menaruh harapan pada Tim Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Kota Batu bisa mengurai sejumlah konflik agraria yang ada di desanya. Tim GTRA Kota Batu dibentuk berdasarkan pada Keputusan Wali Kota Batu nomor 188.45/79/KEP/422.012/2022.

“Nanti akan diidentifikasi bisa tidaknya diberikan pada warga. Semoga bisa seperti di Dusun Kekep, Desa Tulungrejo yang mendapatkan program redistribusi sertifikat untuk 113 KK,” ujar Suliyono.

Sementara itu, Wali Kota Batu, Dewanti Rumpoko sempat terperangah ketika mengetahui konflik agraria terjadi di beberapa titik. Karena selain di Desa Tlekung, persoalan semacam itu juga dialami Desa Sumber Brantas dan Desa Sumbergondo. Dua desa itu masih masuk dalam wilayah Kecamatan Bumiaji.

“Ternyata banyak juga konflik agraria. Memang secara geografis Kota Batu bersinggungan degan hutan. Kami berharap dengan terbentuknya GTRA ada tindak lanjut untuk kesejahteraan masyarakat,” pungkas dia.(der)