MALANGVOICE – Mulyanto (51) hanya bisa memendam kekecewaannya dan pasrah ketika rumahnya dieksekusi Pengadilan Negeri Malang (Rabu, 26/1).
Rumah miliknya seluas 123 meter persegi itu berlokasi di Perum Puri Indah, Desa Beji, Junrejo, Kota Batu.
Eksekusi pengosongan lantaran Mulyanto masih menguasai objek lelang yang telah beralih status kepemilikannya kepada Liandri, warga Surabaya.
Liandri dinyatakan sebagai pemenang lelang oleh KPKNL Malang atas aset rumah sebagai agunan pinjaman yang dilelang oleh Bank BTN Cabang Malang. Lelang ditempuh pihak bank karena pihak debitur wanprestasi terhadap kewajibannya.
Panitera PN Malang, Mohan Ayustya Jaya, mengatakan, eksekusi pengosongan oleh pengadilan didasarkan pada risalah lelang per tanggal 18 Desember 2020. Ia mengatakan, pemenang lelang selaku pemohon mendaftarkan gugatan melalui pengadilan pada 30 September 2021.
“Kami hanya menjalankan eksekusi atas putusan pengadilan atas objek lelang yang masih dikuasasi termohon,” kata dia.
Ia mengatakan, termohon Mulyanto sudah diberikan teguran untuk pengosongan, namun tak segera mengosongkan rumahnya yang beralih kepemilikan kepada Liandri setelah ketetapan lelang.
Mohan menambahkan, pengadilan tidak bisa menolak permohonan pengosongan karena diamanatkan dalam UU nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
“Maka dilakukan pengosongan oleh pengadilan atas gugatan yang diajukan pemenang lelang. Kami hanya mengeksekusi putusan pengadilan. Kalau urusan utang piutang di bank bukan kewenangan kami,” ujar dia.
Sementara itu, Mulyanto merasa dirugikan dan menilai lelang yang dilakukan oleh pihak bank hanya sepihak, serta putusan pengadilan terkesan tak adil.
Menurutnya rumahnya yang dijadikan jaminan pinjaman, dilepas senilai Rp 274 juta oleh pihak bank.
“Saya merasa dirugikan, tahu-tahu sudah dieksekusi. Kesimpulan saya, banyak mafia tanah berkeliaran di Kota Batu,” ujar bapak dua anak itu.
Ia menceritakan, di tahun 2010 lalu, dirinya mengajukan pinjaman Rp 100 juta ke BTN Cabang Malang. Uang itu digunakan untuk mengembangkan usahanya berupa toko sembako.
Dalam perjalan usaha, pads tahun 2017 usahanya tak berjalan mulus dan bangkrut. Akibatnya angsuran pinjamannya pun tersendat-sendat pads tahun 2018.
Pihak bank lantas mengirimkan pemberitahuan keterlambatan. Ia mengaku, sudah melakukan proses pelunasan dengan membayar Rp 142 juta kepada pihak bank, namun pihak bank menghitung ada kekurangan pembayaran Rp 37 juta.
Lantas ia mengajukan keringanan pelunasan kredit senilai Rp15 juta di tahun 2019 tetapi ditolak oleh bank.
Karena tak sanggup memenuhi permintaan bank, akhirnya rumahnya yang dijadikan pinjaman disita dan dilelang.
“Saya iyakan bayar Rp 37 juta, cuma saya minta untuk dipertemukan dengan pimpinan cabang, tapi permintaan saya tak digubris. Dua kali sudah mengirimkan surat untuk bertemu pimpinan cabang. Pantas tidak, hanya kurang Rp37 juta terus dieksekusi gini,” sesal dia.(end)