Taman Tanpa Pagar, Kata Anton Lahirkan Spirit Baru

MALANGVOICE – Wali Kota Malang HM Anton,  angkat bicara perihal penataan taman Tugu dengan melakukan pembongkaran tembok pada lokasi itu.

Menurutnya, pembongkaran tembok taman tidak berbenturan dengan nilai estetika serta tidak menyimpang dari sejarah taman itu.

“Pembongkaran ini telah memperhatikan nilai sejarahnya,  estetikanya dan harmonisasi antara ramah lingkungan dengan ramah sosialnya dan makin mengukuhkan simbol tidak ada sekat antara pemerintah dengan warganya,  ” kata Anton, Kamis (3/9).

Dikatakan Anton,  saat perwakilan Kementerian Lingkungan Hidup berkunjung ke Malang, pemerintah kota mendapat catatan penting agar menjadikan taman harus mengarah pada pola taman hijau,  taman cerdas dan taman yang ramah publik

Satu di antaranya,  menata kembali taman Tugu dengan model pagar yang langsung bersifat asri (pagar tanaman) dan menghilangkan pagar batu beton. “Pemugaran bata beton taman Tugu itu, diharapkan membawa spirit baru dengan tidak meninggalkan sejarahnya,” kata dia.

Versi Pemkot Malang, sejarah perkembangan taman Tugu dimulai sejak berdirinya kota Malang pada 1 April 1914. Kala itu, keberadaan taman itu bersifat open space (ruang terbuka) dengan jalur jalan yang konturnya sama dengan kondisi saat ini.

Pada era Presiden Soekarno,  dengan memperhatikan potensi kota Malang sebagai pusat pemerintahan,  dibangun Monumen Tugu Kemerdekaan tepat di tengah tengah taman Tugu.

Hal ini, semakin menguatkan citra sebagai sentra pemerintahan dan simbol semangat kedekatan praja dengan rakyatnya, sehingga pola alun alun pun tidak terpagari.

Pada era Presiden Suharto, wajah taman Tugu akhirnya berubah dengan model pagar permanen (beton bata). Saat itu perdebatan publik mengiringi,  karena kesan “angker” muncul karena dinilai seperti makam.

Perdebatan itu tidak lepas dari konsep taman Tugu pada masa Wali Kota Malang era tahun 1970-an Ebes Sugiono menggunakan model pagar dari tanaman tanpa ada bata beton.

Versi yang disampaikan Pemkot Malang, jelas berbeda dengan apa yang diungkap Ketua Yayasan Inggil Malang, Dwi Cahyono.

Pria yang juga pemerhati sejarah dan cagar budaya itu mengatakan, jika fungsi taman Tugu bukanlah seperti taman di Alun-alun Merdeka yang sifatnya open space.
Taman Tugu, kata dia, awalnya adalah satu bagian dengan bangunan Balai Kota Malang dan dibangun untuk fasilitas kantor pemerintah.

“Kantor pemerintah ini adalah tinggalan Belanda dimana corak Eropa, kantor yang jauh dari keramaian publik di desain waktu itu,” kata Dwi.

Karenanya, kantor pemerintahan Malang yang awalnya berada di kawasan Alun-alun Merdeka, dipindahkan, karena lokasi itu sudah ramai dengan aktifitas masyarakat.

“Taman Tugu itu adalah bentuk wibawa pemerintah, meski ia taman yang bisa dikunjungi, tapi sifatnya bukan taman seperti Alun-alun Merdeka,” beber Dwi Cahyono.

Polemik penataan ini semakin panas, saat Komisi C DPRD Kota Malang menurunkan rekomendasi kepada Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) dengan poin penting, pembongkaran tembok taman Tugu harus dihentikan.

“Rekomendasi kami jelas, jangan sampai ‘menyentuh’ tembok taman Tugu,” tegas Ketua Komisi C Bambang Sumarto.-