TAKDIR KEADILAN: Hukum Untuk Kesejahteraan Rakyat

Afan Ari Kartika, S.H
Afan Ari Kartika, S.H

Oleh : Afan Ari Kartika, S.H

Prolog
Makna “takdir” sering kali diidentikkan sebagai wujud dari suasana kepasrahan, penderitaan dan bahkan sangat lekat dengan keputus-asaan. Hal tersebut mungkin sudah melekat dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Seolah takdir telah mengambil alih kisah perjuangan menjadi kekalahan.

Namun, disini saya akan menggambarkan makna “takdir” dalam dimensi yang berbeda, bukan kepasrahan atau menyerah, justru sebuah harapan dan optimisme. Dimana saya akan menggambaran kemenangan masyarakat Indonesia, yakni kemenangan dalam mendapatkan kedudukan dan perlakuan yang sama di depan hukum, yang bermuara pada sebuah keadilan yang tidak bisa digantikan dengan nilai mata uang manapun di dunia ini. Itulah kemudian yang disebut sebagai “takdir keadilan”.

Konsep Keadilan:Relevansinya Dengan Penegakan Hukum dan Tujuan Hukum

Berbicara mengenai keadilan, kiranya kita perlu meninjau berbagai teori para ahli. Salah satunya adalah Plato, yang memberikan pandangannya tentang keadilan sebagai berikut:

In his view, justice consists in a harmonious relation, between the various parts of the social organism . Every citizen must do his duty in his appointed place and do the thing for which his nature is best suited.

Dalam mengartikan keadilan, Plato sangat dipengaruhi oleh cita-cita kolektivistik yang memandang keadilan sebagai hubungan harmonis dengan berbagai organisme sosial. Setiap warga Negara harus melakukan tugasnya sesuai dengan posisi dan sifat alamiahnya. Dari sini terkesan pemahaman bahwa keadilan dalam konsep Plato sangat terkait dengan peran dan fungsi individu dalam masyarakat.

Lain halnya dengan Aristoteles, menurutnya keadilan berisi suatu unsur kesamaan, bahwa semua benda-benda yang ada di alam ini dibagi secara rata yang pelaksanaannya dikontrol oleh hukum. Dalam pandangan Aristoteles keadilan dibagi menjadi dua bentuk.Pertama, keadilan distributif, yaitu keadilan yang ditentukan oleh pembuat undang-undang, distribusinya memuat jasa, hak, dan kebaikan bagi anggota-anggota masyarakat menurut prinsip kesamaan proporsional.

Kedua, keadilan korektif, yaitu keadilan yang menjamin, mengawasi dan memelihara distribusi ini melawan serangan-serangan ilegal. Fungsi korektif keadilan pada prinsipnya diatur oleh hakim dan menstabilkan kembali status quo dengan cara mengembalikan milik korban yang bersangkutan atau dengan cara mengganti rugi atas milik nya yang hilang.
Aristoteles dalam mengartikan keadilan sangat dipengaruhi oleh unsur kepemilikan benda tertentu. Keadilan ideal dalam pandangan Aristoteles adalah ketika semua unsur masyarakat mendapat bagian yang sama dari semua benda yang ada di alam. Manusia oleh Aristoteles dipandang sejajar dan mempunyai hak yang sama atas kepemilikan suatu barang (materi).

Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam masyarakat. Dengan mengesampingkan “pembuktian” matematis, jelaslah bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai degan nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat.

Di sisi lain, keadilan korektif berfokus pada pembetulan sesuatu yang salah. Jika suatu pelanggaran dilanggar atau kesalahan dilakukan, maka keadilan korektif berusaha memberikan kompensasi yang memadai bagi pihak yang dirugikan, jika suatu kejahatan telah dilakukan, maka hukuman yang sepantasnya perlu diberikan kepada si pelaku. Bagaimanapun, ketidakadilan akan mengakibatkan terganggunya “kesetaraan” yang sudah mapan atau telah terbentuk. Keadilan korektif bertugas membangun kembali kesetaraan tersebut. Dari uraian ini nampak bahwa keadilan korektif merupakan wilayah peradilan sedangkan keadilan distributif merupakan bidangnya pemerintah.
Sementara itu Soekanto menyebut dua kutub citra keadilan yang harus melekat dalam setiap tindakan yang hendak dikatakan sebagai tindakan adil.

Pertama, Naminem Laedere, yakni “jangan merugikan orang lain”, secara luas azas ini berarti ” Apa yang anda tidak ingin alami, janganlah menyebabkan orang lain mengalaminya”.Kedua, Suum Cuique Tribuere, yakni “bertindaklah sebanding”. Secara luas azas ini berarti “Apa yang boleh anda dapat, biarkanlah orang lain berusaha mendapatkannya”. Azas pertama merupakan sendi equality yang ditujukan kepada umum sebagai azas pergaulan hidup. Sedangkan azas kedua merupakan azas equity yang diarahkan pada penyamaan apa yang tidak berbeda dan membedakan apa yang memang tidak sama.
Terlepas dari beberapa pendapat para ahli di atas maka perlu diambil benang merah tentang teori keadilan tersebut, agar konsep keadilan dapat terumuskan dengan gamblang dan utuh serta universal. Keadilan baru dapat dikatakan bersifat universal jika dapat mencakup semua persoalan keadilan sosial dan individual yang muncul. Universal dalam penerapannya mempunyai arti tuntutan-tuntutannya harus berlaku bagi seluruh anggota masyarakat. Dapat diuniversalkan dalam arti harus menjadi prinsip yang universalitas penerimaannya dan dapat dikembangkan seluruh warga masyarakat. Agar dapat dikembangkan dan membimbing tindakan warga masyarakat, maka prinsip-prinsip tersebut harus dapat dimengerti oleh setiap orang. Masalah keadilan muncul ketika individu-individu yang berlainan mengalami konflik atas kepentingan mereka, maka prinsip-prinsip keadilan harus mampu tampil sebagai pemberi keputusan dan penentu akhir bagi perselisihan masalah keadilan. Prinsip keadilan yang dapat diterima seluruh masyarakat akan menjadi prinsip keadilan yang bukan sekedar lahir dari kata “setuju”, tetapi benar-benar merupakan jelmaan kesepakatan yang mengikat dan mengandung isyarat komitmen menjaga kelestarian prinsip keadilan tersebut.

Adapun untuk mewujudkan cita-cita tersebut adalah dengan cara mensterilisasi serta memperbaiki beberapa hal yang memiliki pengaruh signifikan terhadap kehidupan masyarakat di Negara ini, salah satunya adalah terkait penegakan hukum. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku manusia yang mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan hukum sebagaimana pendapat kaum legalistik. Namun proses penegakan hukum mempunyai dimensi yang lebih luas daripada pendapat tersebut, karena dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku manusia.

Sehingga secara konseptual, maka inti dari penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabar dalam kaidah-kaidah yang mantap, mengejewantah, dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Namun demikian, mungkin saat ini masih banyak persoalan-persoalan hukum yang belum terselaikan dan seakan tebang pilih, namun takdir keadilan ini seyogyanya harus terus kita perjuangkan.

Lembaga peradilan yang merupakan representasi utama wajah penegakan hukum dituntut untuk mampu melahirkan tidak hanya kepastian hukum, melainkan pula keadilan dan kemanfaatan. Kegagalan lembaga peradilan dalam mewujudkan tujuan hukum telah mendorong meningkatnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap pranata hukum dan lembaga-lembaga hukum. Mungkin benar apabila dikatakan bahwa perhatian masyarakat terhadap lembaga-lembaga hukum telah berada pada titik jenuh. Hampir setiap saat kita dapat menemukan berita, informasi, laporan atau ulasan yang berhubungan dengan lembaga-lembaga hukum kita. Dan ini merupakan salah satu permasalahan yang perlu mendapat perhatian kita semua adalah merosotnya rasa hormat masyarakat terhadap wibawa hukum.

Bertitik tolak dari kondisi diatas, maka perlu dikaji mengenai masalah penegakan hukum di Indonesia, lebih spesifiknya mengenai keadilan, karena banyak spekulasi-spekulasi negatif yang berkembang di tengah masyarakat yang mengatakan bahwa penegakan hukum saat ini sudah mulai menjauh dari keadilan yang dicita-citakan oleh masyarakat hukum itu sendiri.

Tujuan akhir hukum adalah keadilan. Oleh karena itu, segala usaha yang terkait dengan hukum mutlak harus diarahkan untuk menemukan sebuah sistem hukum yang paling sesuai dengan prinsip keadilan. Hukum harus terjalin erat dengan keadilan, bila suatu hukum konkrit, yakni sebuah aturan bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan, maka hukum itu tidak bersifat normatif lagi dan tidak dapat dikatakan sebagai hukum lagi. Sebuah aturan hanya menjadi hukum bila memenuhi prinsip-prinsip keadilan.

Dengan kata lain, adil merupakan unsur konstitutif segala pengertian tentang hukum. Sifat adil dianggap sebagai bagian konstitutif hukum karena hukum dipandang sebagai bagian tugas etis manusia di dunia ini, artinya manusia wajib membentuk hidup bersama yang baik dengan mengaturnya secara adil. Dengan kata lain kesadaran manusia yang timbul dari hati nurani tentang tugas sesuai pengemban misi keadilan secara spontan adalah penyebab mengapa keadilan menjadi unsur konstitutif hukum.

Huijbers menambahkan alasan penunjang mengapa keadilan menjadi unsur konstitutif hukum:
a. Pemerintah negara manapun selalu membela tindakan dengan memperlihatkan keadilan yang nyata di dalamnya;
b. Undang-undang yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan seringkali dianggap sebagai undang-undang yang telah usang dan tidak berlaku lagi;
c. Dengan bertindak tidak adil, suatu pemerintahan sebenamya bertindak di luar wewenangnya yang tidak sah secara hukum.

Bahkan, seorang Professor and Head Department of Political Science Univesity of Sind sebagaimana dikutip Abdul Ghofur Anshori, mengunggkapkan:

Every state has undertaken to eradicate the scourges of ignorance disease, squalor, hunger and every type of injustice from among its citizens so that everybody may pursue a happy life in a free way.

Dari ungkapan tersebut tergambar sebuah pengertian, bahwa tujuan akhir hukum berupa keadilan harus dicapai melalui sebuah institusi legal dan independen dalam sebuah negara. Hal tersebut menunjukkan pentingnya mewujudkan keadilan bagi setiap warga negara (manusia) sebagai orientasi hukum.
Penegakan hukum bukan semata-mata menjadi tujuan akhir dari proses hukum, karena keadilan belum tentu tercapai dengan penegakan hukum, padahal tujuan akhirnya adalah keadilan. Pernyataan ini merupakan isyarat bahwa keadilan yang hidup di masyarakat tidak mungkin seragam. Hal ini disebabkan keadilan merupakan proses yang bergerak di antara dua kutub citra keadilan. Naminem Laedere semata bukanlah keadilan, demikian pula Suum Cuique Tribuere yang berdiri sendiri tidak dapat dikatakan keadilan. Keadilan bergerak di antara dua kutub tersebut. Pada suatu ketika keadilan lebih dekat pada satu kutub, dan pada saat yang lain, keadilan lebih condong pada kutub lainnya. Keadilan yang mendekati kutubNaminem Laedere adalah pada saat manusia berhadapan dengan bidang-bidang kehidupan yang bersifat netral. Akan tetapi jika yang dipersoalkan adalah bidang kehidupan spiritual atau sensitif, maka yang disebut adil berada lebih dekat dengan kutub Suum Cuique Tribuere. Pengertian tersebut mengisyaratkan bahwa hanya melalui suatu tata hukum yang adil orang dapat hidup dengan damai menuju suatu kesejahteraan jasmani maupun rohani.

Takdir Negara Hukum Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat

Sejatinya semangat reformasi telah membuka pintu dan mengantarkan Hukum di Indonesia pada takdir keadilan, sehingga tak ada lagi ruang semu yang bisa ditutup-tutupi, karena hijab itu sudah dibuka lebar-lebar melalui reformasi hukum dan birokrasi.

Sebuah bangunan yang bernama Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang memiliki kekuasaan tertinggi yang sah dan harus ditaati oleh rakyatnya.
Sedangkan istilah kesejahteraan erat kaitannya dengan tujuan Negara Indonesia. Negara didirikan, dipertahankan dan dikembangkan untuk kepentingan seluruh rakyat, yaitu untuk manjamin dan memajukan kesejahteraan umum (keadilan sosial). Istilah kesejahteraan berasal dari kata sejahtera yang berarti aman sentosa dan makmur serta terlepas dari gangguan. Sedangkan kesejahteraan diartikan dengan hal atau keadaan sejahtera, keamanan, keselamatan dan ketentraman.

Hal ini secara tegas dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi:
”kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesa yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian, abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang dasar Negara Indonesia”.

Dari pemaknaan Tujuan Bernegara tersebut, maka negara berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan hidup warga negaranya. Sebagaimana dinyatakan oleh Aristoteles bahwa Negara dibentuk untuk menyelenggarakan hidup yang baik bagi semua warganya. Namun demikian, kesejahteraan umum (keadilan sosial) sebagai tujuan Negara bukan berarti kewajiban Negara untuk menciptakan kesejahteraan seluruh rakyat, sehingga rakyat tidak berupaya untuk mewujudkan kesejahteraan bagi dirinya sendiri, akan tetapi rakyat mempunyai hak dan kewajiban untuk mencapai kesejahteraannya. Negara bertugas untuk menciptakan suasana atau keadaan yang memungkinkan rakyat dapat menikmati hak-haknya sebagai warga Negara dan mencapai kesejahteraan mereka semaksimal mungkin.

Dalam rangka mewujudkan kesejahteraan tersebut komponen utama yang harus dipenuhi salah satunya adalah adanya jaminan kepastian hukum. Kepastian hukum menjadi penting dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umum (keadilan sosial) di Indonesia, mengingat Indonesia adalah Negara berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) bukan berdasar pada kekuasaan (machtsstaat). Terciptanya Negara hukum berarti juga ditaatinya peraturan hukum (rule of law) dalam seganap aktivitas Negara dan warga negaranya.

Keserasian dan keseimbangan antara kepastian hukum dan kesejahteraan umum (keadilan sosial) mutlak diperlukan dalam menjamin hak-hak warga Negara. Keserasian keduanya dapat terwujud manakala memenuhi persyaratan:
a. Kaidah-kaidah hukum serta penerapannya mendekati citra masyarakat;
b. Pelaksana penegakan hukum dapat mengemban tugas sesuai tujuan dan keinginan hukum;
c. Masyarakat dimana hukum itu berlaku taat dan sadar akan pentingnya hukum bagi keadilan dan kesejahteraan.

Hal tersebut adalah perkembangan dari ajaran negara berdasarkan atas hukum, yaitu ajaran negara hukum materiil. Dengan demikian, pelaksanaan negara kesejahteraan tidak boleh terlepas dari prinsip negara berdasarkan atas hukum.

Dalam konsep negara kesejahteraan/(welfare state) yaitu negara yang pemerintahannya menjalin terselenggaranya kesejahteraan rakyatnya, negara harus secara aktif bertindak adil yang dapat dirasakan seluruh masyarakat secara merata dan seimbang, bukan menyejahterakan golongan tertentu melainkan seluruh rakyat. Sekali lagi, Indonesia merupakan negara yang berdasar atas hukum. Sebagaimana yang digariskan oleh para pembentuk Undang-Undang Dasar kita, yaitu Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum dengan rumusan “Rechtsstaat”, dengan harapan tidak menyimpang dari pengertian Negara Hukum pada umumnya (genus-begrip), disesuaikan dengan keadaan Indonesia. Artinya digunakan dengan ukuran pandangan hidup maupun pandangan bernegara kita.
Lantas apa makna negara berdasar atas hukum? Jawaban ini akan kita temukan dengan meneliti kembali negara yang bagaimana yang hendak didirikan sesuai UUD 1945.
Dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (Dokuritsu zunbi cosakai), Soekarno mengatakan rakyat ingin sejahtera, rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan, pakaian, menciptakan dunia baru yang di dalamnya ada keadilan di bawah pimpinan Ratu Adil. Jikalau kita memang betul-betul mengerti dan mencintai rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale rechvaardigheid ini.

Dengan demikian, jelaslah yang dimaksud dengan negara berdasar atas hukum adalah negara kesejahteraan. Dengan kata lain, negara hukum akan menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakatnya yang muara akhirnya melahirkan kesejahteraan hakiki bagi masyarakat.

Afan Ari Kartika, S.H
Penulis adalah Pengamat Hukum Tata Negara / Ketua Dewan Pengurus Cabang Himpunan Putra Putri Keluarga Angkatan Darat (DPC HIPAKAD) Malang Raya