TA’ARUF CALEG

Oleh : SUGENG WINARNO

Tak kenal maka tak sayang, begitu ungkapan yang cocok untuk menggambarkan hubungan antara Calon Legislatif (Caleg) dengan masyarakat (konstituen) yang diwakilinya. Hiruk pikuk Pemilihan Presiden (Pilpres) sepertinya lebih menyita perhatian masyarakat. Tak banyak caleg yang muncul mengenalkan diri. Pada sisa waktu kampanye politik ini, saatnya para caleg lebih semangat mengenalkan diri (ta’aruf).

Bagaimana akan dipilih kalau kenal saja tidak. Banyak masyarakat yang tidak mengenal siapa caleg yang ada di daerahnya. Kalau hal ini terus terjadi hingga akhir masa kampanye maka bisa dipastikan masyarakat akan memilih caleg seperti layaknya membeli kucing dalam karung. Masyarakat bisa jadi keliru menentukan pilihannya karena tidak cukup informasi tentang sosok caleg yang sedang ikut berkontestasi.

Merujuk pada jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas pada November 2018, diperoleh hasil bahwa banyak caleg yang belum di kenal masyarakat. Dua bulan setelah penetapan caleg DPR, DPRD, dan DPD, ternyata publik belum banyak tahu. Menurut hasil jajak pendapat Kompas bahwa di level DPRD kabupaten/kota, ada 50,6 persen calon pemilih yang tidak tahu nama caleg yang ikut berkontestasi. Sementara pada level provinsi, sebanyak 55,7 persen dan untuk DPR sebanyak 63 persen, serta untuk calon DPD sebanyak 64,1 persen pemilih yang tidak tahu siapa kandidat caleg yang ikut berkompetisi.

Masih merujuk pada jajak pendapat Litbang Kompas, ternyata tingkat pengenalan masyarakat pada caleg yang sudah diketahuinya juga sangat rendah. Hanya 33,7 persen yang mengenal 1-5 caleg tingkat DPRD kabupaten/kota. Sementara pengenalan pada caleg level provinsi juga rendah, yakni 1-5 orang saja. Padahal menurut KPU, Daftar Calon Tetap (DCT) anggota DPR sejumlah 7.968 orang, dan calon DPD sebanyak 807 orang. Anggota DPD provinsi, kabupaten/kota dengan jumlah ratusan caleg di setiap daerah pemilihan (Kompas, 19/11/2018).

Popularitas Jadi Kunci

Kenapa caleg harus mengenalkan diri (ta’aruf)? Karena bagaimana masyarakat akan memilih kalau tahu dan kenal saja tidak. Minimal kenal sosok personalnya, keluarganya, terlebih masyarakat tahu rekam jejak (track record), visi misi, ide, gagasan dan program yang bakal diusungnya kelak bila terpilih jadi wakil rakyat. Popularitas sang caleg menjadi kata kunci guna menarik simpati.

Memilih caleg bukanlah seperti tebak-tebak si buang Manggis. Memilih caleg juga bukan seperti membeli kucing dalam karung. Memilih caleg pertaruhannya sangat serius. Bila masyarakat salah pilih, tentu penyesalan akan berlangsung hingga lima tahun ke depan. Agar masyarakat tidak salah dalam menentukan pilihan sosok caleg maka masyarakat perlu referensi sebanyak dan selengkap mungkin tentang sang caleg.

Bagi para caleg yang sedang berkontestasi juga jangan coba-coba mengelabui masyarakat. Jangan tampil instan lewat tebar pesona dan pencitraan. Kebohongan yang dibangun lewat beragam rekayasa sang caleg, ujung-ujungnya dapat menipu masyarakat. Janji-janji politik palsu yang digunakan merayu masyarakat hendaknya dijauhi.

Popularitas memang super penting, namun membangun dan mencapai popularitas itu hendaknya dengan cara-cara yang baik. Menunjukkan prestasi kerja nyata akan jadi cara yang ampuh untuk mengenalkan diri dan merebut simpati masyarakat pemilih. Popularitas yang dibangun lewat karya nyata dan rekam jejak yang baik akan menjadi referensi penting masyarakat dalam menentukan pilihannya.

Segala cara instan guna mendulang popularitas tidak bisa sekedar tipuan (lips) semata. Model-model kampanye tebar pesona di media sosial (medsos) dan iklan politik sering tidak menyentuh esensi persoalan masyarakat. Dramaturgi yang dimainkan para caleg di media massa saatnya diakhiri dan diganti dengan tampilan ide, gagasan, dan karya nyata yang bermanfaat bagi masyarakat.

Telisik Rekam Jejak

Pada pemilu 2019 mendatang, puluhan ribu orang akan berlomba memperebutkan 575 kursi di DPR, 19.817 kursi di DPRD provinsi/kabupaten/kota, dan 165 kursi DPD. Mereka yang ikut berkontestasi terdiri dari represensisi partai politik, artis, selebritas, dan masyarakat biasa. Semua memang berpeluang jadi caleg asal memenuhi persyarakat yang telah ditentukan KPU.

Para kandidat caleg berasal dari latarbelakang pendidikan, profesi, status sosial, partai dan beragam faktor lain. Heterogenitas yang melekat pada diri masing-masing caleg harus diketahui masyarakat. Bahkan caleg mantan napi korupsi hendaknya juga menjadi perhatian serius penyelenggara pemilu maupun masyarakat. Intinya semua rekam jejak sang kandidat harus secara terbuka diketahui masyarakat.

Di era digital saat ini, tidak sulit mengetahui rekan jejak seseorang. Siapa saja yang telah pernah membaut jejak digital di internet pasti bisa dilacak rekam jejaknya. Karena semua konten yang telah muncul secara online tidak akan bisa dihapus kecuali karena pertimbangan tertentu. Sehingga segala kebaikan dan atau keburukan yang pernah ditorehkan seseorang di jejak digital pasti dengan mudah bisa dilacak.

Menelisik rekam jejak sang caleg juga bisa dilakukan lewat penelusuran harta kekayaannya. Simak latar belakang dan harta yang dimiliki sang caleg. Jika ada sosok caleg yang super tajir, sementara pekerjaannya tidak jelas, maka ini patut dicurigai. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menyediakan laman digital untuk melakukan penelisikan harta kekayaan para pejabat publik.

Ketika banyak caleg yang belum dikenal masyarakat, sementara masyarakat harus menentukan pilihan politiknya, situasi ini bisa memicu persoalan serius. Untuk itu bagi para caleg hendaknya bersegera melakukan ta’aruf kepada masyarakat dengan cara-cara yang baik. Bagi masyarakat juga harus kritis dan waspada agar tidak tertipu memilih caleg busuk. Caleg yang kelak kalau terpilih kerjanya hanya bisa duduk dan diam, sambil tertidur saat rapat penting membahas nasib rakyat.

Pemilih yang kritis dan cerdas pasti bisa menemukan caleg yang berintegritas dan mampu bekerja demi rakyat yang diwakilinya. Semoga masyarakat mampu memilih wakilnya dengan tepat, tidak lagi keliru seperti membeli kucing dalam karung karena saat akan mencoblos di bilik suara seperti tebak-tebak si buah Manggis. Mari jadi pemilih yang cerdas! (*)

*) SUGENG WINARNO, Pegiat Literasi Media, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang