MALANGVOICE – Perwakilan sopir angkutan kota (angkot) dan Organisasi Angkutan Darat (Organda) Kota Malang mendatangi DPRD Kota Malang, Senin (15/9). Mereka mempertanyakan kejelasan rencana peluncuran Trans Jatim yang disebut akan mulai beroperasi Oktober mendatang.
Sekretaris Organda Kota Malang, Purwono Tjokro Darsono, menegaskan audiensi ini dilakukan untuk menjaga komunikasi sekaligus menyampaikan sikap penolakan.
“Intinya kami ingin mendengar pendapat DPRD. Hasil komunikasi akhir, kami menolak keberadaan Trans Jatim,” ujarnya.
Purwono menyebut informasi yang beredar di media menyatakan angkot akan dijadikan feeder (pengumpan) Trans Jatim. Namun, hingga kini para sopir tidak pernah mendapat penjelasan resmi.
Ketua DPRD Kota Malang Tegaskan Perlunya Edukasi dan Pembatasan Penggunaan Plastik
“Mereka seharusnya melakukan sosialisasi dengan baik, bukan sepihak begitu saja. Ini urusan perut sopir,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan agar pemerintah tidak terburu-buru meluncurkan program ini tanpa kajian matang, baik lalu lintas maupun sosial.
“Bagaimana bisa meyakinkan bahwa dengan adanya Trans Jatim ini tidak mengganggu pendapatan sopir angkot? Intinya masalah perut,” tambah Purwono.
Menurutnya, komunikasi yang buruk hanya akan memicu konflik baru. “Kalau katanya mau kerja sama dengan angkot, tapi faktanya tidak ada komunikasi. Justru bisa jadi masalah baru,” pungkasnya.
Senada, Ketua Forum Komunikasi Paguyuban Angkot, Stefanus Hari Wahyudi, menilai Trans Jatim berpotensi menghancurkan keberlangsungan angkot yang masih beroperasi di Kota Malang.
“Kekhawatiran itu jelas, nantinya bisa menghancurkan rekan-rekan angkot yang masih bertahan,” katanya.
Stefanus mengaku sopir angkot tidak pernah diajak duduk bersama membahas proyek ini. Hanya ada diskusi informal dengan Kepala Dinas Perhubungan.
“Semua jalur angkot belum pernah diajak secara resmi membahas Trans Jatim. Tiba-tiba di media ramai, lalu dibilang mau diluncurkan bulan 10,” ujarnya.
Ia menegaskan sopir angkot sepakat menolak program ini. Alasannya, berbagai janji pembelaan pemerintah belum pernah terealisasi.
“Pokoknya harga mati, tetap menolak. Argumen pembelaan dari Dishub Kota, Kabupaten, maupun Provinsi sampai sekarang tidak terbukti,” tegasnya.
Stefanus menambahkan, kondisi angkot saat ini sudah lesu. Penumpang berkurang, pendapatan sopir tidak menentu, tapi mereka tetap berusaha melayani warga.
“Akhirnya kami sepakat, dari semua jalur angkot di Kota Malang, menolak Trans Jatim,” tandasnya.(der)