MALANGVOICE – Gubuk Tulis. Ya dua kata yang mungkin tak asing lagi dalam kurun 1,5 tahun belakangan. Komunitas Gubuk Tulis dicetuskan Februari 2016 lalu. Al Muiz Liddinillah dan Viki Maulana, sebagai pioner berdirinya komunitas ini.
Berlatar sebagai aktivis mahasiswa, keduanya prihatin atas pesatnya perkembangan media online dan media sosial. Terbesit di benak mereka untuk menggalakkan literasi media, sebagai penyeimbang derasnya informasi dan konten-konten yang dinilai kurang mendidik.
Mereka lantas membuat website sebagai wadah tulisan baik sumbangan dari kolega dan berbagai kalangan. Kegiatan berupa jagongan dari warung kopi ke warung kopi menjadi tradisi dan rutinitas Gubuk Tulis. Mulai diskusi seputar gender hingga isu-isu yang sedang hangat. Tak sedikit yang ikut nimbrung setiap acara Gubuk Tulis.
“Tema diskusi variatif. Tidak hanya soal gender saja,” kata Muiz, saat ditemui MVoice, di Warung Kopi Oase, dua pekan lalu.
Muiz dan Viki lebih dulu menghiasi website dengan tulisannya-sebagai pemantik penulis lain untuk menuangkan idenya. Menodong kolega dan kerabat agar menyumbangkan tulisan kerap dilakukan. Hingga akhir 2016, lebih 150 kontributor menyumbangkan tulisan ke Gubuk Tulis. Isu yang ditulis pun beragam, dikemas dengan sederhana dan mudah dimengerti, baik berupa opini maupun agenda literasi.
Selain jagongan, Gubuk Tulis juga melayani peminjaman buku bagi yang membutuhkan. Buku-buku yang terkumpul semula merupakan koleksi pribadi beberapa pegiat Gubuk Tulis, sebelum ada hibah dari para donatur. Koleksi buku saat ini tidak sekadar soal sosial, politik dan agama, tetapi juga ada buku bacaan buat anak sekolah.
Nama Gubuk Tulis sendiri dipilih karena lebih cocok sebagai wadah bagi penulis pemula dan tempat kumpul. Muiz mengakui apabila tidak ada kata terlambat dalam menulis. Menuangkan ide dan gagasan menjadi sebuah tulisan merupakan kegemaran sederhana yang bisa dilakukan siapapun. Orang merasa sulit dan takut menulis karena tidak terbiasa dan belum melakukan.
“Tidak ada kata menakutkan dalam belajar menulis. Buku kan identik dengan sederhana,” ungkapnya.
Gubuk Tulis aktif melakukan tebar baca atau buka lapak baca buku gratis di ruang publik, seperti di Taman Singha Merjosari. Kegiatan ini berlangsung massif hingga sekarang. Tebar baca dilakukan mulai pukul 15.00 WIB hingga pukul 17.00 WIB, satu minggu sekali. Khusus Bulan Ramadhan, tebar baca berlangsung hampir setiap hari.
Lambat laun antusiasme masyarakat meningkat drastis. Anak-anak sekolah yang biasanya sekadar bermain di taman pun mulai melirik buku-buku yang disediakan Gubuk Tulis.”Dulu buku-bukunya cocok ke mahasiswa, belum ada buku bacaan buat anak-anak. Sekarang, paling banyak anak-anak sekolah,” katanya.
Ia bersama pegiat Gubuk Tulis memiliki misi membumikan budaya membaca dan menulis di Indonesia. Berat memang, tapi, kata Muiz, harus dicoba dan dilakukan secara bersama-sama. Rendahnya minat membaca dan menulis menjadi masalah akut saat ini.
Sebagai mahasiswa akhir, Muiz dan Viki serta pegiat Gubuk Tulis lain merasa daya baca dan menulis mahasiswa masih rendah. Lantas bagaimana dengan masyarakat pada umumnya, jika mahasiswa saja enggan membaca, menulis dan melakukan riset!
Ditambah, kemajuan teknologi yang mendorong masyarakat, terutama kalangan pemuda lebih enjoy memainkan gadget, baik itu ngegame, maupun sekadar update status di media sosial. Pemandangan lazim ini bisa ditemui hampir di warung kopi. Hampir disetiap sudut warung kopi dipadati kalangan mahasiswa.
Ia mengistilahkan bahwa jagongan yang dikemas diskusi sebagai vitamin dan menulis adalah gizinya. Jagongan dengan safari dari warung kopi ke warung sengaja dilakukan untuk menebar virus literasi.
“Mimpi kami, setiap warung kopi di Malang nantinya diisi dengan hal positif, salah satunya disediakan buku bacaan. Seperti yang kami lakukan di Warung Oase. Selain tempat nongkrong, juga diisi dengan kegiatan keilmuan,”
Sambil berjalan, Gubuk Tulis terus berbenah dan merangkai kegiatan yang diharapkan bisa memikat hati mahasiswa dan masyarakat umum. Lahirlah kelas filsafat- filsafat jawa, gubuk justice dan ke depan akan ada kelas menulis.
Kegiatan yang dibuat Gubuk Tulis lebih pada penajaman wacana dan keilmuan, berbeda dengan yang diterima mahasiswa di kampus. Dengan harapan, mahasiswa kembali pada jati dirinya sebagai agen of change, agen of control dan perubahan.
“Untuk merangsang wacana mahasiswa, jangan hanya tahu berkoar-koar, tapi jarang baca dan menulis,” bebernya.
Senada dengan Muiz, Viki Maulana, mengutarakan bahwa lahirnya Gubuk Tulis tidak lepas dari kegelisahan pribadi. Pasang surut perjalanan Gubuk Tulis terekam jelas dibenaknya. Namun, berkat komitmen dan kerja keras semua pihak, Gubuk Tulis tetap eksis sampai sekarang.
Tidak sedikit yang mencibir keberadaan Gubuk Tulis. Mulai dari tudingan sekadar untuk sensasi semata, menilai keberadaan Gubuk Tulis tak akan bertahan lama sampai dipandang sebelah mata.
Awal kelahiran Gubuk Tulis, tambah Viki, butuh semangat berlipat dalam mengajak berbagai kalangan agar menyumbangkan tulisannya-tanpa sedikitpun iming-iming pamrih bagi penulis.
“Semula iseng aja. Tapi, peminatnya semakin banyak. Makanya kami niatkan untuk terus menebar virus literasi media di masyarakat melalui berbagai kegiatan yang kami sajikan,” pungkasnya.