MALANGVOICE – Larangan demokrasi bagi mahasiswa di berbagai daerah Indonesia yang menolak revisi UU KPK dan KUHP, telah dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo melalui Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Mohammad Nasir.
Seperti yang diketahui, Nasir bakal memanggil rektor hingga dosen yang mengizinkan mahasiswanya mengikuti unjuk rasa. Bahkan, ia pun memastikan bakal ada sanksi bagi rektor yang tak bisa meredam gerakan mahasiswanya
Menanggapi hal ini, Pengamat Politik dari Universitas Brawijaya (UB) Malang, Wawan Sobari mengatakan jika larangan ini lebih mengacu agar mahasiswa tidak anarkis saat mengutarakan aspirasi masyarakat.
“Sebenarnya kalau saya pahami, agar menghindari tindakan anarkis,” ungkapnya kepada awak media saat ditemui di kantornya, Jumat (27/9).
Kendati demikian, menurutnya, di era saat ini, kebebasan berpendapat tidak lagi dibatasi dibandingkan dengan era Presiden Soeharto. Apalagi mahasiswa saat ini jauh lebih kritis. Bahkan apabila mahasiswa lebih memilih turun aksi ketimbang masuk kelas, konsekuensinya hanya absensi tidak bisa disanksi negara. Jadi, sangat tidak tepat jika mahasiswa dapat sanksi ketika berdemo.
“Saya sebagai dosen, kalau mahasiswa ikut demo ya dia nggak ada absennya. Mahasiswa itu bisa menjamin bahwa demonstrasi mereka itu tidak ditunggangi kalau menurut saya sih itu tidak ada masalah. Tapi kalau mengancam rektor hingga mahasiswa, nggak tepat untuk saat ini,” paparnya.
Selain itu, ia menilai jika para pejabat ingin mahasiswa berdialog di kampus ketimbang turun aksi di jalan. Hanya saja, menurutnya mahasiswa sudah sangat kecewa dengan tindakan pejabat yang merevisi UU KPK dan KUHP.
“Pernyataan saya sederhana sebenarnya, niat Menteri sebenarnya adalah selesailah turun ke jalan. Kedepankan dialog di kampus. Tetapi sepertinya mahasiswa susah kalau dialog di kampus. Mungkin mereka menganggap ini undang-undangnya sudah jadi kok. Kalau hanya sekadar dialog ya bagaimana,” katanya.
Belajar dari aksi demonstran ini, lebih lanjut ia mengatakan jika pejabat atau rektor lebih baik untuk memperbaiki manajemen demo. “Karena politik nggak bisa dilarang. Manajemen aksinya yang diperbaiki,” tegasnya.
Sedangkan untuk menghindari penyusup pada aksi demo, ia menyarankan agar para mahasiswa memakai identitas sama. Seperti misalnya, jaket sama atau memakai almamater kampus.
“Pakai identitas, itu menunjukkan dari massa mana. Kalau yang melakukan kerusuhan di luar massa mahasiswa ya berarti Jangan disalahkan mahasiswa atau kampus. Jadi, menurut saya daripada melarang mahasiswa berdemo lebih baik meminta rektor ataupun dosen bekerjasama dengan aparat keamanan, untuk memastikan manajemen aksinya baik,” tandasnya. (Der/Ulm)