Salak Suwaru, Nasibmu Kini…

Salak asli Desa Suwaru, Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Malang (Tika)
Salak asli Desa Suwaru, Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Malang (Tika)

MALANGVOICE – Selama ratusan tahun, nama salak Suwaru dari Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Malang sudah tersohor ke penjuru negeri.

Kepala Desa Suwaru, Tedjo Sampurno menjelaskan, tempat asal dia terkenal karena salaknya. Bahkan, menurut laki-laki dengan gaya bahasa yang lugas ini, buah bersisik ini menjadi ciri khas dari desanya.

“Wah ya sudah terkenal sejak ratusan tahun lalu. Kalau bicara salak asal Malang, ya Suwaru pasti. Budidaya buah ini kan warisan turun temurun dari nenek moyang,” kata dia saat berbincang di kantornya, Senin (27/2).

Tedjo menjelaskan, salak ini terkenal karena buah yang lebih besar, hampir sekepalan tangan dan tebal dagingnya. Selain itu, lebih masir serta segar karena berair.

“Kalau pondoh kan kecil-kecil, renyah tapi tidak begitu berair. Nah kalau salak dari desa kami lebih berair,” imbuh Kades dua periode ini.

Dia menjelaskan, kejayaan salak dari desanya mencapai puncak pada tahun 1980 an dan 1990 an. Kala itu, lanjut petani ini, buah yang sudah disortir alias bukan kualitas unggul, jika dijual ke pembeli pun hasilnya masih bisa digunakan mencukupi kebutuhan sehari-hari.

“Buah yang sudah gogrok, jatuh di tanah saja kalau saya jual masih bisa digunakan untuk belanja kebutuhan sehari-hari. Dulu yang beli banyak, saya sampai kuwalahan. Tahun 1980 setiap 100 biji salak dihargai Rp 30 ribu,” imbuh dia.

Sayangnya, kejayaan salak Suwaru saat ini perlahan pudar. Sudah jarang warga desa ini yang bertani salak. Lahan yang dulu ditanami buah dari keluarga palem-paleman itu ini berubah menjadi ladang tebu.

“Dulu semua rumah punya ladang salak, mungkin sekitar 20 hektar. Sekarang semua jadi tebu, sedikit sekali yang masih menanam salak,” kata dia.

Keputusan warga mengganti tanamannya dari salak ke tebu, karena faktor harga jual.

Harga jual salak Suwaru saat ini anjlok, di bawah pondoh. Setiap satu kilogram dibanderol dengan harga sekitar Rp 3 ribu dari petani.

“Hasil yang diterima petani juga sedikit. Bandingkan dengan tebu, satu hektar bisa menghasilkan antara Rp 20 hingga Rp 40 juta. Coba kalau salak, Rp 5 juta itu sudah bagus,” beber dia.

Tedjo mengaku tidak bisa meminta warga untuk tetap mempertahankan penanaman salak.

“Karena lebih menguntungkan bertanam tebu, kalau salak kan sekarang sudah tidak menjanjikan,” lanjut Tedjo.

Dia hanya berharap, salak yang menjadi ciri khas Suwaru ini masih bisa bertahan di tengah gempuran zaman.