Rompi Hitam & Gagap Reformasi Birokrasi Kota Malang.

Dito Arief Nurakhmadi
(Alumni FIA UB – Alumni Tugu 1A)

Beberapa waktu belakangan ini cukup menarik wacana yang dilontarkan oleh Walikota Malang, Drs. H Sutiaji terkait pengenaan Rompi Hitam untuk ASN yang kinerjanya buruk, yang secara teknis bahkan akan diatur melalui Peraturan Walikota sebagai payung hukum.
Sebuah gagasan yang menarik tentunya, mengingat tahun 2020 sesuai dengan dokumen RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) memang telah dicanangkan oleh Pemkot Malang pemberlakuan tunjangan kinerja daerah (TKD) bagi para ASN, dimana pemberlakuan reward dan punishment mulai diberlakukan, serta komitmen menghilangkan komponen belanja pegawai dalam alokasi belanja langsung di APBD Kota Malang.
Beberapa gagasan inovatif dalam tata kelola birokrasi Pemkot Malang pun sudah dilakukan melalui mekanisme Lelang Jabatan dan Lelang Kinerja yang konon Kota Malang menjadi satu-satunya daerah yang pertama menerapkan mekanisme (Lelang Kinerja) tersebut. Namun pertanyaannya kemudian, sejauh mana gagasan gagasan tersebut telah secara efektif memberikan dampak dan hasil terhadap peningkatan kinerja dan pelayanan publik Kota Malang setelah hampir 1 tahun berjalan ??
Pertanyaan lain yang mengemuka adalah apa saja kemudian kriteria dan standart dalam lelang kinerja dan penentuan lelang jabatan yang dilakukan, karena semenjak gagasan tersebut disampaikan di November 2018 kemarin, publik belum tahu ukuran-ukuran tersebut. Publik hanya tahu setelah digaung-gaungkan bahwa gagasan Lelang Kinerja Pemkot Malang telah berhasil memperoleh penghargaan Government Award 2019 Sindo Weekly (MNC Group/Swasta) kategori inovasi birokrasi di bulan Mei 2019 kemarin.
Menyoal ukuran lelang kinerja, perangkat daerah dalam lingkup Pemkot Malang, memiliki karakteristik yang berbeda-beda, memiliki tupoksi (tugas pokok dan fungsi) yang berbeda dan memiliki kebijakan pengelolaan anggaran (APBD) yang tentunya berbeda-beda, sesuai dengan prioritas pembangunan dan arah kebijakan Kepala Daerah yang tercantum dalam RPJP, RPJMD maupun RKPD. Sehingga akan menjadi tidak proporsional bilamana ukuran-ukuran kinerja antar OPD tidak sesuai dengan “nyawa’ yang mereka miliki. Ukuran kinerja yang terkait pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan tentu berbeda dengan ukuran kinerja layanan administrasi pemerintahan, kependudukan, pengentasan masalah sosial ataupun masalah penegakan perda. Belum lagi ukuran kinerja bagi perangkat daerah yang berhubungan dengan PAD (Pendapatan Asli Daerah) dan pengelolaan BUMD.
Salah satu problem mendasar perangkat daerah Kota Malang adalah dalam hal perencanaan, sehingga kemampuan serapan anggaran dan inovasi dalam perencanaan program yang efektif, efisien dan berdampak belum banyak dirasakan oleh Publik. Saya kira peningkatan Kompetensi SDM harus menjadi perhatian serius. Penerapan kebijakan Merit Sistem yang sering dilontarkan Walikota harus benar-benar dilaksanakan dengan konsisten. Karena Berdasarkan Peraturan Presiden No.81 Tahun 2010 Tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025, terdapat 10 Prinsip dalam melaksanakan Reformasi Birokrasi, diantaranya adalah Terukur dan Konsisten.
Maka saya pikir, memaknai gagasan Rompi Hitam cukup dimaknai sebagai Lips Service Kepala Daerah ke publik dan ungkapan meden-medeni kepada bawahannya, yang menurut saya tidak perlu gagap dalam merespon fenomena reformasi birokrasi yang lambat di lingkup Pemkot Malang.