Revitalisasi Drainase Kota Malang: Pola Lama Mengatasi Banjir?

Oleh: Dhien Favian
Mahasiswa S2 Politik dan Pemerintahan UGM dan Relawan MCW

Kota Malang sudah menjadi pusat urban di Jawa Timur. Melalui perkembangan sektor industri dan pendidikan, Kota Malang telah mencatatkan pertumbuhan ekonomi di kisaran 4,7 sampai 5,5 pada tahun 2025. Selain itu, dengan jumlah penduduk yang mencapai 879.000, Kota Malang diprediksi akan semakin “padat” hingga 20 tahun mendatang. Namun demikian, posisi ini membuat Kota Malang rawan terhadap permasalahan urban. Banjir menjadi salah satu masalah yang dihadapi Kota Malang setiap tahun. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Malang mencatatkan, banjir telah menerjang setidaknya 254 rumah per Desember 2024.

Banjir ini akan mengganggu aktivitas masyarakat Kota Malang dalam jangka panjang. Menghadapi kondisi tersebut, penanganan banjir selalu dieksekusi dengan pendekatan infrastruktur, salah satunya ialah revitalisasi drainase. Per tahun 2025, Pemerintah Kota Malang membutuhkan lebih dari Rp 100 miliar untuk pengerjaan drainase baru maupun revitalisasi drainase lama yang tersumbat. Dana tersebut sebagian besar disumbang dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Jawa Timur (APBD Jatim) maupun hibah Bank Dunia dan proses pengerjaannya disesuaikan dengan Masterplan Drainase Kota Malang 2022-2028.

Atasi Banjir, Pemkot Malang Galakan Program GASS

Namun demikian, pembangunan ini menuai kritik luas dari masyarakat. Alih-alih membenahi tata kota, drainase menjadi “resep instan” untuk dibangun di setiap sudut kota. Dampaknya tidak hanya mengorbankan ruang terbuka hijau (RTH) sebagai resapan alami, melainkan juga membuat tata saluran drainase semakin runyam. Alhasil, penampungan genangan air di drainase menjadi tidak optimal dan rentan menghasilkan genangan susulan. Berkaca pada kasus tersebut, ada satu pertanyaan yang perlu dijawab mengenai fenomena ini. Mengapa Pemkot Malang kembali melakukan revitalisasi drainase untuk menangani banjir, kendati solusi ini tidak menyelesaikan masalah seutuhnya?

Pertanyaan ini menjadi panduan untuk menyingkap bagaimana kesamaan pola penanganan banjir di Kota Malang menggunakan pendekatan infrastruktur. Bisa dilihat bagaimana revitalisasi drainase didasarkan pada Masterplan Drainase 2022-2028. Proyek ini membutuhkan waktu yang lama untuk menata seluruh sistam drainase di Kota Malang. Dengan demikian, Pemkot akan fokus mengeksekusi proyek tersebut secara bertahap di berbagai lokasi untuk mencapai 0% banjir pada tahun 2028.

Per tahun 2022 hingga 2024, rehabilitasi drainase mendominasi pembangunan di setiap sudut Kota Malang. Pembangunannya menyedot anggaran yang cukup fantastis, mencapai Rp 46,8 Miliar pada Tahun Anggaran 2022 (peningkatan saluran drainase dari Kecamatan Lowokwaru hingga Kecamatan Kedungkandang) dan anggarannya meningkat drastis mencapai Rp 110 miliar pada Tahun Anggaran 2024, sebagai akibat dari beberapa pekerjaan difokuskan pada pembangunan saluran baru (saluran drainase di Jl. Sigura-gura).

Namun demikian, masifnya pengerjaan drainase tidak “menghalau” arus banjir di berbagai tempat. Temuan Walhi Jatim dan Malang Corruption Watch pada tahun 2023-2024 menunjukkan bahwa terdapat 63 titik banjir yang belum teratasi di Kecamatan Lowokwaru, data ini belum termasuk banjir di kecamatan lainnya. Meluasnya arus banjir ini bukan hanya disebabkan oleh belum optimalnya sistem drainase, melainkan tata ruang kota yang berantakan. Prosentase luas wilayah untuk RTH di Kota Malang hingga tahun 2025 hanya mencapai 17,73% atau sekitar 1.966,06 hektar, jauh dibawah 30% luas wilayah yang diperlukan.

Selain itu, alih fungsi lahan di Kota Malang semakin tidak terbendung. Kita saksikan bagaimana di Sigura-gura dan Veteran sebagai contoh, trafik pembangunan hotel, ruko, dan pusat bisnis lainnya mencapai lebih dari 10 bangunan setiap tahunnya. Ekspansi ini membuat cakupan daerah resapan air semakin minim dan genangan banjir masih menerjang setiap ruas jalan kota menjelang musim hujan. Meskipun demikian, Pemkot Malang tetap melanjutkan revitalisasi drainase.

Kali ini, revitalisasi difokuskan di kawasan Suhat dan pengerjaannya tertuju pada tiga aspek, antara lain peremajaan pohon, peningkatan drainase, hingga pembangunan sudetan baru. Besaran anggaran yang digunakan tidak main-main – mencapai Rp 177 miliar – dan dana sebesar itu disokong APBD Provinsi Jawa Timur (Rp 32 miliar per Maret) serta hibah Bank Dunia (Rp 145 miliar per Juli) bertajuk National Urban Flood Resilience Project (NUFRep). Proyek ini kembali menuai kritik dari warga Malang sehubungan dengan merebkanya isu 147 pohon yang akan dipotong demi pembangunan tersebut per Maret 2025.

Derasnya kritik di ruang publik lantas mengubah rencana pemerintah untuk hanya memotong sekitar 20 persen dari 147 pohon yang diwacanakan dan pohon-pohon lainnya akan diremajakan. Pertarungan narasi antara pro dan kontra sempat menganulir pemotongan pohon secara masif, namun hal ini tidak mengubah arah pembangunan secara keseluruhan. Per bulan Agustus 2025, revitalisasi drainase tetap berjalan di Suhat dan semua proyek ini dicanangkan untuk selesai sebelum akhir tahun. Bahkan, beberapa pohon berdiameter besar dipotong hanya karena dipandang tak mampu mengakomodir penempatan U-ditch atau box cluvert yang jamak digunakan dalam proyek tersebut.

Terdapat beberapa alasan utama dibalik keputusan Pemkot untuk mempertahankan revitalisasi ini. Pertama, resiko penghentian revitalisasi Suhat akan terlalu besar sehubungan dengan mengucurnya dana dari provinsi dan agensi internasional. Daripada menanggung pembengkakan anggaran dan penghentian di tengah jalanan, Pemkot memilih untuk meneruskan proyek di Suhat sesuai dengan Masterplan. Kedua, solusi “tambal-sulam” lebih aplikatif dalam menangani banjir. Apabila drainase rusak, Pemkot dapat mengajukan kegiatan perbaikan di tahun depan tanpa merevisi semua program yang direncanakan.

Pada gilirannya, pemerintah lebih memilih stabilisasi daripada solusi alternatif untuk menuntaskan banjir. Ini tentu menimbulkan masalah berkepanjangan. Selain hanya “memindahkan aliran air” ke wilayah rentan, dana jumbo dibalik proyek tersebut berpotensi menjadi bancakan elite politik. Pengamatan Malang Corruption Watch (MCW) atas proyek drainase di tiga tahun terakhir (2022-2024) menunjukkan potensi korupsi yang besar di dalamnya. Menggunakan pendekatan Potential Fraud Analysis (PFA), metode ini berhasil mengukur untuk melihat sejauh mana potensi resiko kecurangan dari tiap pengadaan pemerintah. Hasil yang didapatkan dari PFA menunjukkan bahwa terdapat beberapa permasalahan dari 19 pengadaan drainase. Masalah seperti kekurangan volume, tingginya nilai kontrak, hingga pemenang berulang menjadi indikasi dari pengerjaan proyek yang bermasalah.

Kondisi ini menjadi preseden baru dari korupsi pengadaan barang dan jasa di Kota Malang, ketika masalah ini tidak ditangani secara serius. Dengan demikian, perlu mendorong pembuktian lebih lanjut dari KPK dan Kejaksaan untuk mencegah pengulangan pola ini. Selain itu, perlu dievaluasi total proyek drainase di Kota Malang untuk memastikan pembangunannya tepat sasaran dan mencegah korupsi dari proyek seperti ini.

Berita Terkini

Arikel Terkait