Oleh: Drs Bambang GW *
Tidak dalam waktu lama lagi rakyat kabupaten Malang akan punya hajatan demokrasi di panggung politik suksesi pimpinan kepala daerah. Dengan banyak sekali pengalaman politik yang ada sebenarnya bisa menjadi modal untuk membuat proses demokrasi akan bisa lebih berkualitas.
Hal inilah yang seharusnya akan dapat menjadi acuan politik rakyat untuk bisa memoles proses demokrasi menjadi areal terindah dalam melahirkan kepemimpinan sehingga regenerasi kepemimpinan akan terjaga kualitas kebangsaan dan kenegaraannya.
Dengan demikian Pilkada 2015 menjadi momen politik strategis bagi peningkatan kualitas demokrasi pada setiap etape-etape yang harus dilewati untuk menuju terminal terakhir demokrasi yaitu terciptanya tatanan masyarakat yang adil dan sejahtera dalam sistem pemerintahan kabupaten Malang yang mapan.
Pentas telah digelar dengan berbagai peran ditampilkan oleh aktor-aktor kandidat baik calon bupato maupun calon wakil bupati serta para petinggi partai untuk memainkan karakternya sebaik mungkin di hadapan rakyat yang hanya dianggap sekedar sebagai penonton akting mereka.
Dengan harapan para aktor dapat menjadi tokoh yang masuk kategori favorit bagi penontonnya, sehingga mereka akan berusaha semaksimal mungkin dengan sejuta aksinya tampil menjadi tokoh protagonis bagi rakyat, mulai dari menyulap dirinya untuk bisa dengan tiba-tiba menjadi sinterklas di hadapan rakyat dengan membagi-bagi sesuatu secara material, mengubah kostum keseharian karakternya menjadi seolah-olah penyelamat persoalan rakyat, mengganti performancenya agak perlente agar bisa dianggap punya nilai sedikit di atas rakyat, dan sebagainya. Hal itu mereka perankan untuk menyesuaikan selera rakyat yang lagi terkena virus pragmatisme dan konsumenisme.
Selama gambaran di atas masih laten ada pada perilaku politik rakyat, maka selama ini benar adanya kalau rakyat hanya jadi objek politik dan komoditas politik bagi mereka yang membawa beban kepentingan ambisi berkuasa atas rakyat.
Bahkan lebih ironis lagi rakyat hanya dijadikan kuda tunggangan yang bisa sewaktu-waktu dimobilisasi kemana pun untuk bisa dipamerkan pada lawan politik dan diklaim menjadi kekuatan dukungan politik serta dijadikan bahan klaim diri siapa yg lebih pantas bisa dianggap wakil atas rakyat yang telah dimobilisasinya. Hanya dengan materi yang mereka punya dan dibagikan pada rakyat dengan berbagai bungkus itulah mereka seolah-olah telah mampu merasakan problematika rakyat.
Hal-hal di ataslah yang semestinya bisa menjadi bahan revisi perilaku politik rakyat apabila kita punya kehendak agar demokrasi yang lagi berproses di negeri ini semakin berkualitas karena setiap etape proses demokrasi pasti bermuara pada rakyat. Apalagi apapun yang akan dilakukan oleh pemeran-pemeran politik pasti dalam rangka membujuk, merayu bahkan menipu rakyat agar bisa menjadi objek yang dapat memilih dirinya.
Rakyatlah yang menjadi input paling hakiki bagi proses demokrasi karena apapun realitas politik ujung-ujungnya rakyatlah yang akan menjadi penentu lahirnya pemimpin di negeri ini. Ketika rakyat hanya mempunyai ukuran materi pada setiap penampilan mereka maka jangan pernah disalahkan siapapun kalau lahir kepemimpinan yang hanya berorientasi materi tanpa pernah serius berbicara tentang problematika kerakyatan yang sedang melanda negeri ini.
Kedaulatan rakyat yang menjadi pijakan kokoh demokrasi akan semakin rapuh diinjak-injak oleh siapapun yang memiliki keyakinan bahwa kedaulatan rakyat dapat diganti dengan tarif harga. Perilaku semacam itulah yang telah melahirkan gaya politik transaksional di negeri ini. Kalau ini yang terjadi masihkah pantas disebut demokrasi?
Rakyat harus memiliki kemauan dan kemampuan melakukan revisi terhadap perilaku politiknya selama ini, ketika mimpi demokrasi yang lebih berkualitas dalam setiap etapenya harus terjadi di negeri ini. Terminal terakhir demokrasi yang berujud keadilan dan kesejahteraan rakyat sebenarnya bukan hanya mimpi kosong di siang bolong, apabila rakyat tidak lagi terjebak dalam ruang-ruang permainan semu yang bersifat materialistis dan emosional.
Jangan Salah Pilih dan Jangan Pilih yang Salah!
Slogan tersebut seolah sederhana tetapi memuat pesan yang cukup serius untuk kita cermati secara arif dan cerdas. Banyak teori mengatakan bahwa salah satu syarat demokrasi yang harus ada adalah kesetaraan pengetahuan rakyat. Dalam konteks ini kenyataan sosial yang ada masih jauh dari tingkat proposional, jenjang pendidikan rakyat masih jauh timpang dari kesetaraan yang dimaksud. Tetapi bukan berarti rakyat tidak memiliki kemampuan untuk berdemokrasi walau kenyataan sosialnya semacam itu.
Dengan berbekal pengetahuan yang dimiliki rakyat sepanjang tidak terjebak pada ruang emosional maka akan terbuka ruang rasional dalam menentukan pilihan. Memunculkan kesadaran diri akan sebuah pilihan politik sudah tidak jamannya lagi hanya berdasarkan warna bendera, tanda gambar, dan kharisma tokoh, tetapi lebih melihat pada kualitas kejuangan personal yang memiliki garis lurus terhadap komitmen kerakyatan dan catatan kejuangan personal selama melakukan komunikasi dan interaksi sosial.
Apalagi hanya sekedar janji-janji politik di atas mimbar sudah harus dicermati secara kritis agar tidak terperangkap dalam kekecewaan politis. Dan rakyat juga harus mulai berani membangun kesimpulan dalam akal sehatnya bahwa ketika politisi melakukan pendekatan dengan menggunakan kekuatan uang maka bisa dipastikan tak akan pernah ada dalam benaknya kepedulian terhadap problematika rakyat, bahkan lebih jauh dari itu harga diri dan martabat kedaulatan rakyat dianggap bisa diperjualbelikan.
Ayolah kita awali perubahan di negeri ini dengan memulai melakukan revisi atas perilaku politik kita. Idealisme tentang demokrasi hanya bisa terwujud dengan membangun pikiran dan perilaku idealis dalam diri rakyat, karena rakyatlah yang akan menentukan kepemimpinan bangsa dan negeri ini. Baik dan tidaknya kualitas demokrasi dalam Pilkada 2015 di kabupaten Malang akan menjadi potret kualitas masyarakat kita. Sudah waktunya rakyat untuk cerdas dalam menentukan kepemimpinan di negeri ini. Semoga!
*Drs Bambang GW, Praktisi dan pengamat politik, tinggal di Malang.