Oleh: Beni Setia
Bagi Tengsoe Tjahjono–alumni IKIP Malang (sekarang Universitas Negeri Malang atau UM, red), dosen di IKIP Surabaya (Unesa), dosen tamu Hankok Universitas, Korea Selatan, serta penyair–, terutamanya di dalam kumpulan puisi Felix Mencuci Piring (Malang: Pelangi Sastra, Kafe Pustaka, dan UM, 2016), pendidikan dan pembentukan karakter itu hal terutama. Bahkan jadi obsesi. Semua idealisasi itu, dan bagaimana imanensi riilnya pada realitas aktual yang cuma bermutu KW dioplos dalam puisi-puisi di kumpulan itu. Meski ujud Felix ditiru (mimesis) dari sosok riil Felix K. Nesi (penyair alumnus Universitas Merdeka Malang, red), seperti diakuinya pada Ucapan Terima Kasih–dilampirkan di awal buku.
Manusia riil, yang memukaunya, sehingga mengilhami untuk menelurkan penulisan puisi yang tak diacu serta diarahkan teori–lihat puisi ‘Puisi untuk Felix’ (hlm. 1), yang diletakkannya di awal, sekaligus menjadi penanda dari gaya dan pola kreasi. Kembali lugu, semata bermodalkan jujur dengan diri sendiri, meski kejujuran itu lebih merujuk ke apa-apa yang diketahui dan ada bawah sadar, dalam acuan Fenomenologi, dengan tidak disengaja muncul serta membentuk referensi. Teks murni itu–selain hanya Felix sejati yang diapresiasi–perlahan menjadi lapisan subyektivitas dan membentuk sosok lain dari Felix, sisi rekaan tidak riil pada fakta seorang Felix (K. Nesi).
Acuan itu diakuinya dalam Kata Pengantar yang ditulisnya, ‘Senyawa Tragedi, Komedi, dan Agama’ (hlm. vii-xi), dan pengakuan itu justru mengingatkan pada realita Felix yang lain. Ujud Felix the Cat, kartun yang dikembangkan oleh Pat Sullivan serta Otto Messner, sosok si kucing hitam yang pernah jadi cerita popular dan menghibur di TV. Yang mengingatkan pada beraneka cerita naïf, unik, tidak terbayang sebelumnya, dan sekaligus jenaka. Menghibur–lucu, konyol, dan menyodorkan makna sublim dari hal bersipat hiburan. Transedensi dari balutan sampiran lucu dan konyol.
***
Felix pada puisi-puisi Tengsoe–tiap puisi merupakan episode otonom, mandiri meski terkadang memiliki kaitan interteks–jadi tokoh paradoks di dalam kotak cerita. Jadi tidak terlalu mengherankan ketika ditemukan hiperbola Felix (sebagai) si kepala sekolah yang tak pernah korupsi–nyatanya: penguasaan mutlak akun BOS dari Negara, serta legitimasi mencairkannya lewat Anggaran Pedapatan dan Belanja Sekolah, jadi potensi untuk korupsi. Bahkan otoritas dan legitimasi akan akun itu telah jadi impian (finansial) setiap guru, sehingga pada berambisi ingin menjadi kepala sekolah, meski akan menjadikannya phobia pada pers dan LSM. Tapi itu jenakanya.
Atau penandaan kuat akan dan tentang perilaku otokrasi mutlak–seperti terlihat dalam puisi ‘Felix dan Dua Temannya’–, yang menekankan laku semau gue seorang pemimpin yang bisa improvisasi memerah-hitamkan anak buah dan masyarakat. Atau kuatnya aspek polisional, lewat tindakan pengawasan intel, sehingga kontrol bisa ada di mana-mana dan di setiap saat–dalam puisi ‘Felix dan Cincin Batu Akik’. Tindakan diktatorial yang disilembutkan dengan epheumisme, berbalut retorika, sehingga fakta penguasaan atas guru dan murid diungkap sebagai sekadar menekankan pengendalian atas mimpi murid–lihat ‘Puisi untuk Felix’.
Itu merujuk gaya khas the smiling general, dari masa yang serba terkendali dan dikontrol era Orba–mungkin keberanian ini terkait erat dengan fakta Tengsoe menulis puisi-puisi Felix Mencuci Piring di Korea Selatan, dan bukan di Surabaya atau Malang. Meski masih kritis pada situasi Indonesia terkini pada puisi ‘Salju Pertama’, Meditasi Kimchi, (Malang: Pelangi Sastra, Kafe Pustaka, UNM, 2016, hlm. 48). Penandaan akan situasi tertekan, kondisi sosial-politik canggung dan serba salah karena terlalu banyak interes pribadi partai politik seperti mendapatkan jalan ke luar: lari memasuki dunia si angan-angan konyol, jenaka, dan menghibur–tapi penuh bayangan murung.
Karena itu, setelah merujuk fakta riil Felix (K. Nesi), pelan (ia) mengembangkan imajinasi penuh cemooh dan penjenakaan ala Pat Sullivan dan Otto Messner–terbang dengan Felix the Cat, sambil membayangkan Yesus itu sahabat (Felix) seperti puisi ‘Felix Ingin Jadi Kepala Sekolah’, atau malahan punya gereja dan liturgi sendiri dalam puisi ‘Felix Mendefinisikan Puisi’. Sehingga diksi ‘(jadi) kepala sekola’ itu diekstrimkan, dijenakakan secara terbalik sehingga terlihat konyol. Kenapa? Karena keinginan jadi kepala sekolah mengacu alasan posesif penguasaan atas dana BOS dalam fatamorgana finansial, sebab–meski berasal dari pinjaman–percaya itu uang setiap orang.
***
Itu titik keprihatinan Tengsoe–degradasi mutu guru. Itu mungkin karena, pada dasarnya, ia bukan akademisi sastra murni ataupun penyair, tapi guru. Lebih tepatnya, pengajar (dosen) dari mahasiswa calon guru. Jadi tak heran kalau ia agak kagok ketika IKIP jadi Universitas, tak lagi Institut yang menekankan pembentukan aspek karakter pendidik, dengan menekankan pedaegogi, bukan sastra murni. Meski (aspek) penyair membuatnya terobsesi kesusastraan, si yang menolak penguasaan sastra secara ilmiah, lebih memilih praktek langsung bersastra. Sehingga sastra itu lebih si keahlian bukan pengetahuan–lihat puisi ‘Puisi untuk Felix’ dan ‘Felix mendefinisikan Puisi’.
Aspek itu membuatnya tiba dalam kesimpulan: puisi tak bisa membuatmu kaya /
puisi hanya membuatmu banyak teman / perkara koran membayar mahal / temanmu nraktir nasi padang / atau nasib buruk ia mencintamu / itu dampak. syukuri tapi jangan diharapkan (puisi ‘Felix Mendefinisikan Puisi’). Karena itu, Tengsoe menyindir kepenyairan satu corak pengabdian, sebab roti (ekaristi) itu tidak cocok dengan perut Indonesia yang kecanduan nasi. Ditulisnya: mata Maria meletikkan api / membakat dapur / mengabukan hati / aku tak butuh puisi / aku butuh nasi / dan puisi pun diremas / mengabu oleh api” (puisi ‘Felix, Maria Magdalena, dan Puisi’).
Tidak mengherankan kalau aspek kepenyairan mendorong sosok Felix menjadi yang terkadang suka mengirim SMS: minta ditraktir makan–lihat puisi ‘Felix Selalu Lupa Sarapan’. Tragis sekali.
***
*Beni Setia, pengarang yang karyanya sudah tersebar di berbagai media massa.