Potret Kehidupan Masyarakat yang Terhimpit dalam Film Pengabdi Setan

Catatan Nawak

Oleh: Shela Kusumaningtyas*

Seperti yang diungkap akun instagram @pengabdisetanofficial, film Pengabdi Setan besutan Joko Anwar berhasil menorehkan prestasi dalam 20 hari pertama penayangannya. Film yang merupakan daur ulang film lawas era 80-an dengan judul sama ini berhasil menggiring lebih dari tiga juta penonton datang ke bioskop.

Jumlah tersebut akan terus bertambah melihat antusiasme netizen yang masih penasaran untuk menyaksikan film yang mengambil lokasi syuting di rumah tua kawasan Pengalengan. Studio-studio bioskop belum mengurangi jadwal pemutaran film yang membutuhkan waktu 18 hari pengambilan gambar ini. Sebuah torehan yang membanggakan dan pantas disebut sebagai film horor terlaris sepanjang masa.

Butuh waktu 10 tahun bagi Joko Anwar meyakinkan rumah produksi Rapi Films untuk menunjuknya sebagai sutradara yang menggarap film remake ini. Usaha yang tidak sia-sia. Film yang dibintangi Tara Basro ini berhasil menggondol sederet nominasi di ajang Festival Film Indonesia (FFI) 2017. Di antaranya adalah Film Terbaik, Penata Sinematografi, Aktor Anak, Penata Busana, Penata Rias, Penata Artistik, Penata Efek Visual, Penata Musik, Musik Tema, Penata Suara, Penyunting Gambar, dan Penulis Skenario Terbaik.

Joko Anwar sukses menghipnotis masyarakat dengan memproduksi film horor yang tidak cuma mengandalkan adegan seksual, seperti film setan-setan kebanyakan. Penonton dibuat takut dan bergidik lewat riasan para pemainnya, bukan dengan teknologi CGI. Teknologi CGI memang mutakhir, namun kadangkala menghasilkan visual yang kaya unsur pemaksaan.

Tokoh-tokoh yang memainkan film ini yakni Tara Basro sebagai Rini, anak perempuan pertama di keluarga. Sosok bapak diperankan oleh actor Malaysia, Bront Palarae. Keluarga tersebut memiliki empat orang anak, anak kedua hingga keempat merupakan laki-laki. Mereka adalah Tony (Endy Arfian), Bondi (Nasar Annuz), dan Ian (M. Adhiyat).

Ibu, yang menjadi tokoh sentral dalam film ini diperankan seniman Bali, Ayu Laksmi. Elly D. Luthan didapuk memerankan tokoh nenek. Pak ustad (Arswendi Nasution), Hendra (Dimas Aditya), Budiman Syailendra (Egy Fedly), Batara (Fachry Albar), dan Darminah (Asmara Abigail) turut mendukung keberhasilan film ini.

Akting para pemain yang terlibat di film ini patut diacungi jempol karena mereka berhasil membawa penonton terhanyut dalam latar waktu 80-an. Meski cerita film Pengabdi Setan 2017 berbeda dengan Pengabdi Setan era 80an, keduanya tetap mengusung topik pemujaan setan dalam pengisahannya.

Gambaran Masyarakat Indonesia

Beranjak dari keseraman film ini, gambaran masyarakat Indonesia tampil dalam film yang berdurasi lebih dari 100 menit ini. Himpitan ekonomi selalu menjadi alasan seseorang tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai. Ini terpotret dalam film ini. Saat Rini, anak sulung di keluarga tersebut pergi ke kota menemui bos tempat kerja ibunya. Rini hendak menagih royalti dari lagu-lagu yang dinyanyikan ibunya semasa sehat. Ia berniat mempergunakan uang tersebut untuk kesembuhan ibunya yang sudah lebih dari dua tahun terbaring sakit di tempat tidur. Sayangnya hal tersebut ditolak sang bos.

Cerita seperti itu tentu tidak mengada-ada, pasti hadir di kehidupan nyata. Bagaimana masyarakat terpaksa membiarkan anggota keluarganya yang sakit lantaran biaya pengobatan dianggap terlalu mahal. Kejadian demi kejadian yang berlangsung berikutnya dalam film juga cerminan peliknya persoalan ekonomi masyarakat. Rumah yang ditempati keluarga Rini di kota terpaksa digadaikan demi mencari penyembuhan bagi sang ibu. Motor kesayangan Tony juga ikut terjual untuk mencukupi biaya hidup keluarga tersebut. Didera sakit yang menahun, ibu akhirnya mati dengan kondisi tanpa mendapatkan perawatan dari lembaga medis.

Mungkin zaman itu, BPJS belum lahir untuk mengakomodasi biaya kesehatan masyarakat. Meski sekarang BPJS sudah hadir, masih kerap terdengar masyarakat yang sulit memeroleh pelayanan kesehatan hanya karena tidak punya uang dan belum terdaftar. Pemerintah harus tanggap melihat fenomena yang diangkat di dalam film bukan sepenuhnya khayalan, melainkan realitas yang disalin dari kehidupan sesungguhnya.

Selepas Ibu tiada, ayah diharuskan pergi ke kota. Anak-anak tinggal bersama sang nenek. Ini menjadi hal jamak di masyarakat kita. Bagaimana anak selalu dikorbankan dengan dalih pemenuhan biaya hidup. Anak yang semestinya mendapat asuhan dari orang tua rela hidup mandiri karena orang tua harus bekerja jauh di lain kota. Pertemuan pun hanya sesekali. Pelajaran yang bisa dipetik dari babak tersebut adalah pemerataan pekerjaan bukan hanya terpusat di kota saja. Tunjangan gaji pun harus disebar penuh keadilan, jangan cuma besar di kota saja.

Sosok ibu yang selama ini dicitrakan sebagai seorang pengasih dan penyayang dipatahkan dalam film ini. Ibu meneror dan menghantui keluarganya seusai kematiannya. Ia mewujud sebagai hantu mengerikan yang siap memangsa anak-anaknya. Hal inilah yang mengkhawatirkan bila masyarakat menelan mentah-mentah pergeseran makna ibu. Ibu yang tiba-tiba muncul setelah kematiannya merupakan setan yang merasuk dalam tubuh ibu. Jadi, penonton tidak boleh menafsirkan ibu sebagai tokoh yang jahat. Bukan ibu yang salah, melainkan iblis yang menguasai tubuh ibu.

Opresi Perempuan

Bahasan gender juga mengemuka dalam film ini. Nenek rupanya tidak menyukai ibu sebagai menantunya. Ibu dianggap bukan menantu idaman lantaran berprofesi sebagai seniman, penyanyi. Selain itu, ibu tak juga dikaruniai keturunan setelah sepuluh tahun berumah tangga dengan bapak. Akibat terhimpit tekanan tersebut, ibu akhirnya mengabdi pada sekte agar bisa memeroleh keturunan. Padahal, bisa jadi kesalahan ada di bapak.

Perempuan diasingkan karena ia gagal memberikan masyarakat sebuah kesenangan tentang motherhood dan seksualitas. Tugas reporoduksi yang dijalankan perempuan diatur oleh masyarakat, misalnya, kapan ia harus hamil, berapa banyak anak yang akan dikandung dan dilahirkan. Ini lantaran masyarakat telah mengkonstruksi perempuan sebagai mesin pencetak. Perempuan harus tangguh menghadapi penindasan.

Opresi terhadap perempuan menyaru dalam bentuk alienasi perempuan. Perempuan dipaksa menyingkir dari semua hal, semua orang, bahkan ia tidak lagi mengenali dirinya. Inilah yang terjadi pada sturuktur patriakal kapitalis abad 20.

Dari situ tergambar bahwa masyarakat masih terkungkung pemahaman tentang pemisahan peran antara perempuan dan laki-laki. Perempuan diwajibkan tinggal di dalam rumah, sementara laki-laki harus bekerja di luar untuk mencari nafkah.
Dalam feminisme radikal lebih banyak membahas tentang sistem seks dan gender. Karena menurut pemahaman ini banyak kasus ketertindasan bisa terjadi karena pemahaman terhadap sistem gender tidak adil. Historis perempuan yang tertindas seperti memandang wanita sebelah mata sebelum terjadi emansipasi bahkan budaya tersebut masih tersisa sampai sekarang.

Alison Jaggar seorang pemerhati gender juga memaparkan bahwa ketertindasan perempuan sangat meluas dihampir seluruh masyarakat manapun, hal ini dapat dilihat dari pemahaman masyarakat atas wanita yang memiliki tanggung jawab lebih untuk mengurus keluarga dibandingkan bekerja di luar rumah.

Karena gender itu bukan sesuatu yang terbawa dari lahir, tetapi terbentuk secara sosial. Sehingga diharapkan dari usaha ini perempuan tidak lagi berada dalam posisi pasif. Tetapi sayangnya seperti yang sudah dipaparkan sistem yang telah berlaku di masyarakat sulit dihapuskan layaknya gap diantara kelas sosial tertentu.

*Shela Kusumaningtyas, Alumnus Komunikasi Undip yang menggemari baca, tulis, dan jalan-jalan.