MALANGVOICE – Seiring perkembangan zaman, khususnya di era digital, ternyata secara tidak langsung membawa dampak buruk bagi kesehatan dan gizi, terutama di kota-kota besar.
Seperti halnya di Kota Malang, dikenal sebagai Kota Pendidikan dan pariwisata tentunya tak sedikit pendatang yang memadati Kota Malang. Tentunya hal ini juga mempengaruhi segi konsumsi pangan di Kota Malang.
“Kemudian yang mulai kita pikirkan, yaitu pola makan di Kota Malang juga berubah dengan adanya pendatang dari luar kota. Sekarang ini yang berkembang cafe-cafe, makanan-makanan tradisional sudah mulai hilang, seperti konsumsi protein hewani,” ujar Ketua Ikatan Sarjana Ilmu Peternakan Indonesia (ISPI), Didik Purwanto usai kampanyekan aksi gizi di Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya (Fapet UB), Sabtu (8/12).
Dengan perubahan ini, terbukti jika masyarakat Kota Malang cenderung lebih memilih memenuhi kebutuhan konsumtif ketimbang kebutuhan gizi.
“Sebenarnya, Malang ini untuk produksi susu dan telor sudah cukup dan dinilai sudah bagus meski masih sedikit yang mengonsumsi. Untuk memakan itu, anak anak memang harus dibiasakan,” tambahnya.
Terkadang, masyarakat pun tidak memperhatikan bahwa gizi ini penting, terutama anak-anak di bawah 5 tahun. Anak-anak di usia itu membutuhkan gizi untuk membangun jaringan otak.
“Karena kan kalau dia kekurangan protein, dia tidak akan bisa menjadi orang yang mempu bersaing di era seperti saat ini,” paparnya.
Selain itu, permasalahan yang kerap dijumpai ialah masyarakat dinilai kurang mampu untuk membelanjakan dananya untuk protein hewani seperti daging, susu, telor dan lain sebagainya.
“Banyak dari keluarga kurang mampu, jadi nggak terbiasa makan protein hewani. Padahal telor itu kan protein yang paling murah, nah ini yang harus dikampanyekan. Dari pada mereka beli makanan-makanan yang sebetulnya tidak bagus,” tegasnya.
“Nah, tantangan bagi sarjana-sarjana peternakan adalah bagimana memproduksi protein-protein hewani dengan harga yang murah supaya mampu dibeli masyarakat,” pungkasnya. (Der/Ulm)