MALANGVOICE– Pemerintah Kota (Pemkot) Batu mengakui sejumlah tantangan berat dalam menyediakan hunian yang terjangkau bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Kendala utama berupa keterbatasan lahan, tingginya harga tanah, dan tekanan lingkungan akibat dinamika pariwisata menjadi penghambat serius.
Hal ini mengemuka dalam Rapat Koordinasi Program 1 Juta Rumah Perkotaan dan Monitoring BSPS Tahun 2025 untuk Jawa Timur. Wakil Wali Kota Batu, Heli Suyanto, menyatakan bahwa di balik komitmen pemerintah pusat untuk mempercepat program 3 juta rumah, realitas di lapangan bagi Kota Batu cukup kompleks.
Minat Bekerja ke Luar Negeri Meningkat untuk Perbaiki Taraf Ekonomi Keluarga
“Tantangan kami tidak hanya pada persoalan klasik keterbatasan lahan dan mahalnya harga tanah, tetapi juga tekanan lingkungan yang muncul sebagai dampak dari aktivitas pariwisata,” papar Heli Suyanto, Rabu (25/6).
Data Pemkot Batu mengungkap masih adanya 658 unit Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) yang memerlukan intervensi segera. Angka ini menunjukkan betapa mendesaknya kebutuhan perbaikan dan pembangunan hunian layak bagi warga tidak mampu.
Di sisi lain, Heli juga menyoroti masalah serapan pembiayaan. Sejumlah skema pembiayaan perumahan nasional disebutnya belum terserap secara optimal di daerahnya, yang menjadi pekerjaan rumah tambahan.
Sebagai langkah konkret, Pemkot Batu berkomitmen memperkuat perencanaan dan regulasi. Salah satu terobosan yang telah dilakukan adalah pemberian insentif fiskal melalui pembebasan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) serta retribusi Perizinan Bangunan Gedung (PBG) bagi MBR.
Kebijakan ini telah diatur dalam Peraturan Wali Kota (Perwali) Nomor 12 Tahun 2025. Langkah ini diharapkan dapat meringankan beban ekonomi MBR dalam mengakses rumah sederhana yang layak huni.
“Kebijakan perumahan bagi kami bukan sekadar membangun fisik rumah, tetapi memastikan pembangunannya selaras dengan daya dukung lingkungan dan tata ruang kota yang berkelanjutan,” tegas Heli.(der)