Penyakit Hukum Peraturan Presiden No 64 Tahun 2020 dan Masyarakat Sebagai Tumbalnya

Oleh: Ferry Anggriawan SH., MH

Diundangkannya Peraturan Presiden No 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden No 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan oleh Presiden Joko Widodo beserta Kementerian Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly tertanggal 6 Mei 2020, ibarat hujan yang diharapkan pada musim kemarau panjang, tetapi ia datang dengan banjir bandang yang menyirami, sekaligus menyapu dan menghancurkan harapan tersebut.

Sebagian harapan juga dialami penulis ketika sebulan yang lalu datang ke Kantor BPJS Kota Malang untuk mengurus administrasi terkait perubahan data, sekaligus menanyakan reaksi BPJS pasca Putusan Mahkamah Agung No 7P/HUM/2020 yang mengabulkan keberatan uji materiil dari pemohon Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) terkait pembatalan kenaikan tarif iuran BPJS baik kelas 1,2 dan 3 sontak saya menanyakan hal tersebut “mas kapan iuran mulai diturunkan?, kan sudah diputus sama MA kemarin! Dengan tenang customer service menjawab “nunggu Perpresnya keluar mas ya”.

Ditengah krisis kesehatan karena adanya pandemi covid 19 yang berdampak pada melemahnya perekonomian di Indonesia, Peraturan Presiden yang diharapkan itu datang dengan tujuan berbeda yang justru mencederai hukum dan keadilan. Seolah tidak ada respect terhadap Putusan Mahkamah Agung No 7P/HUM/2020. Peraturan Presiden yang diharapakan dapat menyesuaikan dengan Putusan MA tersebut, justru bertentangan dengan tetap menaikkan iuran tersebut melalui Pasal 34 ayat 7 Peraturan Presiden No 64 Tahun 2020. Presiden memang mempunyai kewenangan dalam hal ini, tetapi secara etika hukum, ini adalah abuse of power yang mengakibatkan penyakit hukum di Indonesia.

Penyakit hukum adalah penyakit yang diderita oleh hukum itu sendiri, yang menyebabkan hukum tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan fungsinya secara optimal. Penyakit hukum itu dapat menimpa “substansinya”, “strukturnya” dan “kultur hukum”-nya. Setelah melihat pertimbangan hakim MA dalam Putusan MA tersebut, kenaikan tarif yang diakibatkan karena defisit Dana Bantuan Sosial, disebabkan karena adanya kesalahan dan kecurangan dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS, tetapi yang menanggung beban kesalahan dan kerugian tersebut adalah rakyat dengan dijadikan tumbal untuk membayar iuran dua kali lipat dari sebelumnya, untuk menutupi defisit keuangan tersebut. Ini adalah penyakit hukum “struktural” dalam BPJS.

Penyakit hukum “substansi”-nya, terletak pada tetap dinaikkannya iuran BPJS melalui Pasal 34 ayat 7 Peraturan Presiden No 64 Tahun 2020 yang secara otomatis memberikan kekuatan hukum dalam penerapannya. Jika kita cermati, fungsi Pepres itu sendiri adalah melaksanakan perintah perundang-undangan yang lebih tinggi. Ratio decidendi (alasan putusan) Hakim MA melalui Putusan No 7P/HUM/2020 menyatakan bahwa kenaikan tarif tersebut bertentangan dengan Pasal 2 Undang-Undang No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Kesehatan Nasional dan Pasal 2 Undang-Undang No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial. Dalam teori jenjang norma Peraturan dibawahnya tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang berada di atasnya, berarti Peraturan Presiden tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang, karena Perpres berada dibawah Undang-Undang. Fakta hukum yang terjadi Pasal 34 ayat 7 Peraturan Presiden No 64 Tahun 2020 tetap diundangkan oleh Presiden Jokowi, meskipun secara konsep hukum bertentangan dengan norma hukum yang ada di atasnya.

Res Judicata Pro Veritate Habetur”artinya apa yang diputus hakim harus dianggap benar. Putusan Hakim MA melalui Putusan Mahkamah Agung No 7P/HUM/2020 seharusnya dianggap benar dan diterapkan dalam produk hukum pemerintah melalui Perpres terkait masalah iuran BPJS, tetapi budaya hukum Pemerintah berkata lain, nilai-nilai kebenaran yang sudah diuji di pengadilan, tidak dianggap benar oleh pemerintah, bahkan dihilangkan dari aturan pelaksananya. Ini adalah penyakit hukum pemerintah dari segi “kultur”-nya.

BPJS adalah instrumen Pemerintah untuk mencapai tujuan bernegara melalui jaminan kesehatan yang berkualitas tanpa diskriminasi dengan bersama menjaga kesinambungan financial yang diharapkan menjadi solusi, menjamin penyembuhan penyakit-penyakit yang diderita oleh warga negara Indonesia. Tetapi Presiden harus melihat lebih jauh daripada itu, karena masih ada penyakit-penyakit hukum yang diidap oleh BPJS itu sendiri dan itu termasuk tugas anda untuk menyembuhkannya.

*)Ferry Anggriawan SH., MH, dosen di Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang