MALANGVOICE – Polemik revitalisasi hutan kota Malabar, membuat beberapa kalangan dari pecinta lingkungan, artis hingga pakar hukum angkat bicara.
Kepala Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi Mahkamah Konstitusi (MK) RI, Ir. Noor Sidharta mengatakan, keberadaan hutan kota dalam satu daerah merupakan komponen penting, dengan prosentase yang sudah ditentukan undang-undang.
“Hutan kota posisinya sangat penting, apalagi di Malang ini kondisinya dingin, bagaimana nanti jika paru-paru kota gak ada karena ada pembangunan hutan,” kata Noor Sidharta kepada MVoice, Sabtu (5/9) malam.
Belajar dari Jakarta, hutan kota sebagai ruang terbuka hijau dan tempat warga bercengkerama, kini mulai digencarkan revitalisasinya oleh pemerintah, sebagai bentuk pelaksanaan aturan perundangan.
Sebab, kata dia, bila sebuah pemerintahan sampai menghilangkan hutan kota, maka akan ada sanksi administratif dari Gubernur hingga Mendagri.
“Sanksi bisa saja pemotongan dana alokasi khusus atau dana alokasi umum, karena melanggar ketentuan perundangan,” tandasnya.
Bahkan, lanjut warga asli Kota Malang itu, beberapa upaya masyarakat melalui mekanisme class action atau mekanisme lain yang guna menyelamatkan hutan kota bisa dilakukan.
“Ini karena masalah lingkungan sangat penting sekali bagi kehidupan kita,” imbuhnya.
Soal akan adanya bangunan berupa taman bermain, amphiteater serta rumah pohon, Noor Sidharta mengimbau kepada pemerintah agar melakukan kajian terlebih dahulu dengan melibatkan pakar lingkungan yang independen.
“Pakar harus independen jangan sampai pakarnya dari pemkot atau dari perusahaan,” kata Noor.
Ditanya perihal penggunaan dana corporate social responsibility PT Amerta Indah Otsuka dalam pembiayaan revitalisasi, ia menjelaskan, jika memang Kota Malang belum memiliki Perda, maka, harusnya merujuk pada ketentuan UU Perseroan Terbatas (PT) sehingga arah CSR tidak keliru.
“Terkait kompensasi pemberi CSR dan sebagainya sudah diatur dalam undang-undang jadi itu harus jadi pegangan,” pungkasnya.-