Pemberian Fee 10 Persen Jadi Budaya Buruk Pemenangan Tender

Wali Kota Batu Eddy Rumpoko saat menjadi inspektur apel peringatan HANI 2017 di Balai Kota Among Tani, Kamis (13/7). (Aziz Ramadani)

MALANGVOICE – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum menemukan fenomena baru dalam praktik suap yang ditanganinya dalam beberapa bulan terakhir. Itu terindikasi dari serentetan Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan lembaga antirasuah ini.

Pada Sabtu (16/9) kemarin, KPK menangkap Wali Kota Batu, Eddy Rumpoko terkait suap pengadaan di Pemkot Batu.
Sehari sebelumnya, Ketua DPRD Banjarmasin, Iwan Rusmali, Wakil Ketua DPRD, Andi Effendi, Dirut PDAM Bandarmasih, Muslih, Manajer Keuangan PDAM Bandarmasih, Trensis.

Pada Kamis (14/9), KPK melakukan OTT di Kabupaten Batubara. Bupati OK Arya Zulkarnai lantas ditetapkan sebagai tersangka. Selain itu, Kepala Dinas PUPR Pemkab Batubara, Helman Herdady dan Sujendi yang merupakan pemilik dealer mobil.

Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif, mengatakan, kebanyakan memotong uang dari proyek berkisar 10 persen. “Fee 10 persen menjadi norma umum di anggaran pemerintah,” katanya, dalam konferensi pers, di Kantor KPK di Jakarta, Minggu (17/9).

Dalam kasus dugaan suap proyek di Kota Batu. Dari total anggaran Rp 5,26 miliar. Disepakati fee 10 persen . Pemberian fee 10 persen akan memengaruhi kualitas pengadaan barang dan jasa.

“Jangan dilihat jumlah uang dan transaksinya. Namun, bagaimana menyelamatkan proyek yang besar itu dilaksanakan sebagai mestinya. Tanpa adanya praktik melawan hukum,” jelasnya.

Dalam OTT di Kota Batu, KPK menetapkan tiga orang tersangka dari lima orang yang diamankan. Yakni Wali Kota Batu, Eddy Rumpoko, Kepala Bagian ULP, Edy Setiawan dan pengusaha sebagai pemberi suap, FHL.

ER diduga menerima suap sebesar Rp 500 juta yang diberikan bertahap. sedangkan Rp 100 juta diberikan FHL ke EdS selaku panitia lelang.(Der/Aka)