Para Lelaki yang Menawarkan Sangsi

Oleh: Mutia Husna Avezahra

Mataku menerima seberkas cahaya yang tersorot dari sebuah sudut, sambil perlahan menegakkan badan, kucoba buka satu sisi mataku, kemudian yang satunya lagi. Rupanya matahari sudah tinggi.

Petualangan yang menyenangkan. Mendadak aku sadar bahwa aku sedang sendirian. Tunggu, aku mencari seseorang yang membuatku terbenam pada petualangan tadi malam. Oh, Dia rupanya yang sedang membikin sedikit kegaduhan di dapur sana. Denting-denting cangkir yang bergema segera mendekat bersama isyarat langkah kaki bersepatu, dan ternyata juga telah berpakaian lengkap. Seorang pria berkuncir kecil membawakanku secangkir minuman dengan menopang tas ransel di pundak. Aku tersenyum heran.

Dua cangkir itu diletakkannya di atas meja lingkar, tasnya ia sematkan bersandar di balik sofa, dan duduklah kami di sofa beludru yang begitu lembut. Bersama mata sayu dan penampilan yang masih berantakan, aku menyeruput secangkir teh aroma melati itu dengan sedikit kepanasan. Dia hanya melirik dan mengangkat cangkirnya sembari menghirup aromanya dalam-dalam. Kemudian sebatang rokok ia keluarkan tapi tak lekas dibakar, hanya diketuk-ketukkan di atas meja sebagai alat untuk memecah keheningan sementara.

Aku tak hendak mengucapkan apa pun. Dia, sebut saja Mur, juga tak segera mengatakan sesuatu. Mur hanya menunjukkan gelagat resah dengan memandangi jam tangan yang melingkar di pergelangan kirinya.

Aku menghirup aroma perpisahan, ini begitu berbeda dengan apa yang terjadi tadi malam, dan dengan demikian aku merasa begitu kikuk, dengan sikapnya yang terlalu tiba-tiba berbeda.

“Beberapa pria pernah melakukan hal serupa, Mur.” Akhirnya aku mulai bersuara, “Pertama bernama Pythagoras. Dia menawarkan petualangan yang begitu menggairahkan, seolah kita akan hidup sampai usia hendak membawa pada peradaban seribu tahun lagi. Dia adalah anak muda yang berani menantang dunia sendirian, dia luruhkan segala angan dan semua resah hanya pada satu gandengan rembulan”

“Pythagoraslah yang mengantarkanku pada sisi kehidupan yang lain, yang tak hanya seputar norma dan etika, tetapi ada juga yang disebut pesta dan perayaan. Itulah hasrat,” Mur melirik sebentar, “… tetapi esok paginya adalah sebuah bencana. Saat aku sedang hidup pada sebuah hasrat yang sedang menggeliat, tetiba ia pergi meninggalkan segala kerumitan di atas meja makan kita; di samping roti tawar dan secangkir teh sebagai sarapan pertamaku bersama rasa kehilangan,” Aku menyeringai lalu meneguk sedikit teh buatannya.

Mur tetap tak bersuara dan masih memainkan batang rokoknya. “Yang kedua bernama Borneo. Perjumpaanku dengan Borneo adalah ketidaksengajaan, saat Ia sedang berada pada sebuah pengembaraan panjang yang jauh dari rumah. Borneo adalah pria yang sangat berapi-api, dia ceritakan kisah dan petualangannya dari satu pulau ke pulau yang lain. Betapa mudah baginya untuk berbagi memori tentang pengembaraan di pesisir pantai, bercanda dengan ikan-ikan kecil sambil mendengarkan keluh kesah soal kehidupan nelayan yang kian menyengsarakan. Hingga akhirnya, ia menjanjikan sebuah perjalanan ke kota Aceh nun jauh di sana.” Mur mengerlingkan pandangannya pada hujan yang mulai turun di luar jendela.

“Diam-diam aku semakin berharap menanti datangnya petualangan ke Aceh yang ia janjikan. Tetapi semakin lama waktu meranggas, semakin pudar pula keberadaannya yang hanya menyisakan angan dan kenangan yang tak seberapa. Kamu tahu itu, Mur? Aku kembali harus menyelami samudera kesendirian yang menyesakkan.”

Dua cangkir teh kami masih sama-sama berisi tiga perempat. Mur masih tak hendak mengucapkan sesuatu tatkala aku sudah habis energi untuk menahan serpihan tangis yang mengambang di sudut mata. “Beberapa kali aku harus menyelesaikan petualangan demi petualangan sendirian. Bermacam, ada yang sanggup kuselesaikan, ada pula yang tak sanggup kuselesaikan hingga aku harus berurusan dengan bayangan”.

“Kemudian Kau datang, Mur. Kau ajak aku menyelami duniamu di balik sebuah benda perekam suasana. Kau ajak aku pada sebuah ruang untuk berbagi ide tentang masa depan. Hingga mungkin hari demi hari aku membingkai sebuah harapan, yang tak tahu akhirnya akan bermuara ke mana”.

“Hanya saja, kini aku sudah terlanjur tenggelam…”

Sembari bisu, dikeluarkannya sebuah foto dari balik saku kemeja flanelnya. Foto seorang gadis berkacamata itu mengantarkanku pada pada derai kehancuran yang kesekian kalinya.

“Ya, Kau hanya tak pernah bilang” kataku tenang sambil bernapas panjang.

Sedetik kemudian aku tumpah seperti sudah lama tak menangis “Tapi itu masalahnya. Kenapa? Kau biarkan aku hidup dalam khayalan tentang kisah perjumpaan kita yang begitu manis seorang diri. Kenapa Kau tak pernah bilang kalau ruang yang kita bangun hanya sebatas ilusi belaka? Kenapa Kau tak pernah bilang, Mur? Betapa kuceritakan istana cita dan masa depan kita pada banyak orang dan kini Kau begitu mudah membiarkanku menjadi seorang pecundang? Baiklah..,” kuserang Mur begitu banyak pertanyaan.

Aku terengah masih lunglai tak berdaya, “Tentu itu bukan salahmu, mungkin persepsikulah yang keliru,” kataku sambil merasa padam. Bersama habisnya tenaga yang sedang menuju pusara, Mur bangkit dan menyahut tas ranselnya di balik sofa. Mur melangkahkan kaki menuju pintu, ia menoleh sebentar sebelum memutar gagang pintu meninggalkan seorang perempuan di sudut kegetiran.

Mungkin aku yang terlalu serius tentang piknik kita tempo hari. Kubiarkan rimbun kelabu naik ke atap ruang membawa aroma teh yang tersisa begitu pekat. Hujan telah mereda, kemudian hari menjadi tak begitu jelas; antara pagi, siang, sore yang saling bertukar bentuk cahaya. Hingga hilang cahaya di luar, aku masih terpendam pada liang kesepian dan terpenjara pada perjalanan kesendirian yang tak kunjung terselesaikan.

***

Musim hujan kembali menyadur harapan saat aku mengaduk teh panas di sebuah cangkir bening. Lelaki berjaket parka itu baru saja tiba, Ia melemparkan lengkungan senyum yang tersemai diantara rerimbunan kumisnya, segera tulang pipinya menonjol menampakkan betapa kerasnya rahang dan sorot tajam matanya. Aku membalas senyumnya dari kejauhan hingga punggungnya hilang di balik kaca ruangan.

Sesaat kemudian Dia melangkah ke arah mejaku sembari mengemasi beberapa cangkir kopi yang telah ditinggalkan peneguknya. “Sendirian?” Dia menyapa sambil berlalu. Aku hanya melirik sambil senyum tersipu.

Kubuka sebuah buku catatan, kemudian kutuliskan beberapa bait tentang kenapa bumi berotasi. Sebagaimana pertanyaan tentang kenapa manusia selalu mudah terbelenggu oleh patah hati tetapi sesaat ketika menemukan cinta, seolah merasa begitu abadi. Pertanyaan terakhir kemudian adalah kemana lagi hati ini akan berkenala menuju muaranya?

***


*Mutia Husna Avezahra, bergiat di Teater Komunitas (Malang) dan gemar menulis di halaman pribadi avezahra.blogspot.com.