Meskipun Kalah, Malang Jejeg Teruskan Perjuangan Moral Tepati Janji Kampanye

Heri Cahyono. (istimewa)

MALANGVOICE – Pilkada Kabupaten Malang 2020 telah usai. Namun, pergerakan Malang Jejeg yang menjadi jargon Heri Cahyono-Gunadi Handoko paslon nomor 3 yang tersandung kekalahan di Pilkada tersebut terus berlanjut.

Heri Cahyono berpendapat, jargon itu bertransfomrasi sebagai gerakan moral yang berkesinambungan. Sebagai gerakan moral, Malang Jejeg menawarkan Jejeg Songo.

Sesuatu program kerja yang tak berhenti sebagai janji politik menarik simpati massa di masa pilkada. Heri Cahyono, yang biasa dijuluki Sam HC memaparkan, Jejeg Songo akan dijalankan dengan bebrapa skala prioritas.

Prioritas itu didasarkan pada urgensi, perbaikan infrastruktur dan diseminasi nilai. Beberapa langkah yang ditempuh lewat Jejeg Songo ini meliputi, pembentukan koperasi.

Soko guru perekonomian ini beranggotakan dari relawan maupun tim kerja Malang Jejeg yang ikut berjuang saat pilkada.

“Termasuk membuka diri bagi mereka yang berada di luar lingkaran Malang Jejeg saat pilkada lalu. Bagi kami tak masalah karena ini gerakan moral meningkatkan taraf hidup masyarakat,” papar HC yang maju melalui jalur independen saat Pilkada Kabupaten Malang 2020 lalu.

“Koperasi masih dalam penyelesaian tahap legalitas foermal. Setelag itu ada akan kami umumkan ke publik,” lanjut HC usai menggelar pertemuan dengan relawan dan tim kerja Malang Jejeg di Coban Kethak, Desa Pait, Kasembon, Kabupaten Malang.

Berlanjut pada rencana pada pembentukan LBH yan berfungsi memberi advokasi kepada masyarakat, terutama kaum papa. Rencana lainnya, yakni akan membentuk media, baik online maupun offline. “Tiga program dilaksanakan lebih awal. Enam program lainnya akan dilaksanakan, setelah tiga lainnya berjalan. Karena tiga ini yang prioritas,” ucap dia.

Program-program itu merupakan apresiasi yang menjadi perekat dengan relawan maupun Tim Kerja Malang Jejeg, yang membantu HC-Gunadi Handoko menjaring suara di Pilkada Kabupaten Malang 2020. HC menganalogikan, selama ini kandidat pilkada menganalogikan timses maupun masyarakat seperti mendorong mobil mogok.

Begitu kandidat itu sampai di kursi kekuasaan, timses maupun konstituen ditinggalkan begitu saja. Sama seperti mobil mogok, ketika melaju, mereka yang memberikan tenaganya ditinggalkan tanpa ada apresiasi berlanjut. “Mereka hanya dibutuhkan paslon saat kampanye politik saja. Meski kerja mereka secara temporer, kontribusi mereka patut dihargai,” seru dia.(der)