Merenungkan Pemikiran Kartini di Tengah Pandemi

Oleh: Ellen M. Yasak

“Bu, pagi ini aku sarapan apa?”, “Bu, bajuku di mana? Aku sudah mau mulai kelas online”, dan banyak lagi urusan Ibu di rumah sejak sebulan terakhir pemberlakuan Work From Home (WFH) dan School From Home (SFH) karena merebaknya wabah Covid-19. Mulai menjadi koki merangkap guru, urusan kebersihan rumah juga menjadi tanggung jawab utama perempuan. Belum lagi jika si Ibu bekerja di sektor publik. Lantas kapan seorang Ibu bisa beristirahat?. Hal ini tidak hanya berlaku untuk ibu atau perempuan yang telah berkeluarga, namun juga perempuan secara umum. Posisi mereka dalam sistem patriarki, berada pada sub-ordinasi laki-laki. Dengan kata lain tidak sejajar dengan laki-laki, baik dalam kelompok sosial terkecil (keluarga), maupun pada kelompok sosial secara umum.

Kondisi demikian, banyak dialami oleh para perempuan di pelosok negeri bahkan dunia. Upaya meningkatkan pemberdayaan terhadap mereka tidak berhenti dilakukan, baik oleh Komnas Perempuan maupun kelompok-kelompok penggerak pemberdayaan perempuan lainnya. Namun demikian perjuangan ini tidaklah mulus, sebab ada pula kelompok perempuan yang justru menolak perempuan berdaya. Hari ini tanggal 21 April, kita peringati bersama sebagai hari Kartini. Terlalu berharga jika kita lewatkan untuk membahas kelompok yang justru mengerdilkan posisi perempuan. Nilai-nilai kesetaraan perempuan, pemberdayaan, nasionalisme, dan perjuangan Kartini perlu kita kobarkan kembali mulai hari ini. Meminjam kacamata Pierre Bourdieu (2001) dalam bukunya Masculine Domination, kondisi patriarki yang kuat seperti yang terjadi di banyak budaya Indonesia dan Asia, sangat dipengaruhi oleh habitus (sistem persepsi, pikiran dan tindakan yang bertahan lama). Habitus ini berjalan secara turun temurun, dalam waktu yang lama sehingga menjadi pembenaran atas apa yang di-‘labelkan’ terhadap perempuan. Misalnya ‘label’ bahwa tempat perempuan itu di dapur, sumur, dan kasur. Pertama siapa yang membuat ‘label’ itu?. Kedua siapa yang diuntungkan dengan ‘label’ itu?. Ketiga apa tujuan adanya pelabelan itu?. Jawaban dari tiga pertanyaan tersebut adalah maskulinitas dan adanya dominasi maskulin. Dominasi maskulin ini terjadi untuk mengukuhkan posisi maskulin pada struktur sosial atas femininitas (keperempuanan).

Sister up sister (perempuan mendukung perempuan) merupakan istilah yang cukup umum digunakan untuk saling dukung antara perempuan. Hingga hari ini Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai lembaga yang memimpin Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease, belum bisa memprediksi kapan puncak dan akhir wabah Covid-19 ini akan terjadi di Indonesia. Oleh karena itu konsep saling mendukung perempuan menjadi penting dilakukan. Persoalan perempuan di negeri ini, tidak hanya ketimpangan posisi namun juga kekerasan terhadap perempuan baik secara verbal maupun non-verbal. Menurut laporan yang dilansir Tempo.co tanggal 15 April lalu, Tuani Sondang Rejeki Marpaung, anggota Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH Apik) mengungkapkan dari tanggal 16 Maret sampai 12 April tercatat ada 75 pengaduan kasus. Angka yang tertinggi adalah penyebaran konten intim, disusul dengan kasus-kasus KDRT selama diberlakukannya social distancing. Menurut laporan tersebut, korban mengalami kekerasan namun tidak bisa melapor karena situasi (pandemi Corona) dan tidak bisa keluar rumah. Rendahnya pemahaman atas hak yang melekat pada diri mereka, dan konstruksi sosial yang menempatkan perempuan pada posisi sub-ordinasi, membuat upaya pertahanan diri mereka menjadi lemah.

Di antara semua persoalan perempuan ini, memperjuangkan cita-cita Kartini menjadi harapan. Meski banyak yang menganggap harapan ini utopis, tapi tetap harus bergerak dengan optimis. Tentu kita tahu bahwa cara Kartini berjuang tidaklah mengangkat senjata, tapi harapan dan cita-citanya diungkapkan melalui korespondensi dengan teman-temannya di Belanda. Kartini banyak menuliskan kritik terhadap sistem feodal yang membelenggu masyarakat. Dia percaya bahwa Pendidikan merupakan kunci emansipasi untuk manusia secara umum, dan perempuan secara khusus. Aktualisasi Kartini dari surat-suratnya ini akhirnya dibukukan oleh sahabat penanya yang bernama J.H Abendanon. Sejak dibukukan, surat-surat Kartini menjadi bacaan yang memacu semangat untuk kaum perempuan. Pemikirannya yang modernis dan visioner menginspirasi gerakan perempuan ke depannya.

Kini cara aktualisasi diri perempuan semakin beragam. Tentu akses informasi yang terbuka memberi peluang besar pada kemampuan literasi perempuan. Jika budaya patriarki mendikotomi peran perempuan dan laki-laki, inilah yang menjadi kritik utama R.A Kartini. Dia memimpikan kesetaraan, kesempatan menuntut ilmu dan meraih cita-cita pada porsi yang sama seperti yang didapatkan laki-laki. Dalam penggalan suratnya kepada Ny. Van Kool, Kartini menuliskan, “Alangkah besar bedanya bagi masyarakat Indonesia bila kaum perempuan dididik baik-baik. Dan untuk keperluan perempuan itu sendiri, berharaplah kami dengan harapan yang sangat supaya disediakan pelajaran dan pendidikan, karena inilah yang akan membawa bahagia baginya”. Penggalan surat tersebut berisi keinginan besar Kartini untuk memberi kesempatan pendidikan terhadap semua perempuan Indonesia.

Kesempatan yang luas telah diberikan terhadap perempuan, baik untuk menempuh pendidikan maupun meraih cita-cita. Meski demikian, ternyata masih menyisakan sejumlah persoalan. Standar ganda identitas keperempuanan masih kokoh. Kita tahu betapa masih banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga, pernikahan dini di beberapa daerah, ketimpangan dalam upah, hingga ketidak setaraan di bidang politik. Dalam pemikiran Kartini, perempuan merupakan subjek yang mampu berdaya atas dirinya sendiri. Namun habitus pada budaya patriarki, masih menempatkan perempuan sebagai objek. Cara pandang laki-laki terhadap perempuan menunjukkan masih adanya relasi kuasa pada struktur patriarki yang menguntungkan posisi laki-laki.

Banyak perempuan yang memiliki kemampuan akademik cemerlang, namun terhambat ketika sudah menikah atau memiliki anak. Tidak sedikit perempuan yang akhirnya memutuskan keluar dari pekerjaan dan tinggal di rumah untuk mengurus anak. Tentu bukan kritik terhadap mereka yang memutuskan menjadi ibu rumah tangga, namun banyak yang akhirnya memutuskan berhenti bekerja dengan keadaan terpaksa atau dipaksa. Hasilnya kondisi psikis atau kejiwaan yang menjadi taruhannya.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana cara memotong rantai patriarki ini?. Tentu untuk menjawabnya butuh komitmen dan kesungguhan dari berbagai pihak. Upaya meruntuhkan sistem patriarki sudah dimulai Kartini, hingga sekarang masih menjadi perjuangan panjang yang harus terus dilakukan.

Ditengah wabah Covid-19 di Indonesia bahkan dunia memaksa masyarakat membuat jarak sosial (social distancing), tidak lantas menghentikan perjuangan perempuan. Justru peran perempuan menjadi sangat besar dalam keberlangsungan keluarga. Pada posisi ini, tingkat literasi perempuan menjadi penting. Misalnya sejak SFH peran pengajaran yang semula dipegang oleh guru di sekolah digantikan oleh ibu atau orang tua lain di rumah. Kemampuan berdaya, mandiri, serta mampu menyuarakan pendapat merupakan hak perempuan yang harus diperjuangkan, dimiliki, dan dikukuhkan. Meminjam istilah Anne Leclerc, “Perempuan harus memiliki wacananya sendiri, dan bukan meminjam dari kacamata lelaki”. Selamat hari Kartini.(Der/Aka)

*) Ellen M. Yasak, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Tribhuwana Tunggadewi
dan sedang menempuh S3 Ilmu Komunikasi di Universitas Indonesia