MALANGVOICE – Legislatif bersama eksekutif saat ini tengah menggodok Ranperda Perubahan Perda No 8/2010 tentang Penyelenggaraan Usaha Perindustrian dan Perdagangan. Panitia Khusus (Pansus) Ranperda itu pun telah terbentuk. Saat ini, pembahasan rancangan regulasi itu mulai masuk tahap awal.
Wakil Ketua Komisi B DPRD Kota Malang, Sulik Lestyowati, mengatakan, pihaknya akan berhati-hati dalam merumuskan aturan tersebut. “Saat ini baru dibentuk Pansus, pembahasan di awal meliputi latar belakang perlunya Ranperda ini,” ungkap Sulik kepada MVoice, belum lama ini.
Dia menjelaskan, Ranperda itu lebih banyak mengatur penataan toko waralaba. Dalam Perda No 8/2010, aspek yang diatur hanya sebatas jarak antar toko satu ke toko lain. Pada aturan baru ini, ada sejumlah perubahan. Hanya saja, dia tidak merinci detil perubahan itu. “Tergantung masyarakat, karena kami juga ingin melibatkan masyarakat. Tokoh-tokoh masyarakat akan kami undang untuk duduk bersama, termasuk dengan pelaku usaha toko modern,” imbuh perempuan berjilbab itu.
Politisi Partai Demokrat ini menegaskan, legislatif tidak ingin ada pihak yang merasa dirugikan setelah muncul regulasi baru nantinya. Sebab, banyaknya toko modern yang dinilai ilegal di Kota Malang sempat menjadi polemik berkepanjangan. “Masalah awal memang karena banyak masyarakat mengeluh karena toko modern. Pedagang toko kelontong atau tradisional terutama yang mengeluh. Ke depan jangan sampai pedagang toko tradisional ini merasa dirugikan,” tambahnya.
Di sisi lain, pihaknya juga akan mengkaji kesiapan eksekutif dalam melaksanakan amanat Ranperda ini. Dengan begitu, setelah disahkan menjadi Perda, semua pihak bisa menaati. “Kan peraturan tidak berlaku surut. Ketika Perda berlaku maka semua harus menaati sejak saat itu. Mudah – mudahan infrastruktur eksekutif juga siap. Yang jelas agar masyarakat tidak bergejolak,” pungkasnya.
Sementara itu, Ketua DPRD Kota Malang, Drs Abdul Hakim, menambahkan, ada sejumlah usulan penting yang diajukan. Salah satunya, yakni perlunya tambahan pasal tentang pembatasan toko modern. “Kami ingin ada tambahan pasal tentang pembatasan jumlah toko modern di masing-masing kelurahan dan kecamatan,” paparnya.
Selain adanya pembatasan, legislatif juga ingin pemberdayaan masyarakat setempat. Dalam hal ini, dia mengusulkan agar Pemkot Malang mengalokasikan dana hibah untuk pembentukan usaha masyarakat. “Pengelola usaha dipilih dari warga setempat yang pantas, layak, dan bisa dipercaya,” lanjut pria yang juga terlibat sebagai anggota Pansus ini.
Hakim menambahkan, legislatif juga telah berkonsultasi dengan Kementerian Perdagangan (Kemendag), belum lama ini. Gayung bersambut, Kemendag mendukung usulan tambahan pasal tersebut. “Kami diskusi soal ini. Responnya bagus, Kementerian mendukung karena aturannya memang bisa didirikan tempat usaha menggunakan APBD. Sekarang tinggal kembali kepada Kepala Daerah,” tandasnya.
Sekretaris DPC PDIP Kota Malang ini menegaskan, legislatif tidak bermaksud melarang masuknya investasi. Melainkan, pihaknya ingin mengatur agar keberadaan toko modern tertata. Di sisi lain, masyarakat juga mampu berdiri di kaki sendiri (berdikari) sebagaimana konsep Tri Sakti yang dicetuskan Bung Karno. Hanya saja, sampai saat ini usulan tersebut belum masuk dalam Ranperda.
“Kami masih akan bicarakan dengan eksekutif. Atau jika tidak bisa masuk Perda ini, bisa dibikinkan Perda sendiri untuk selanjutnya ditopang Perwal. Yang jelas harus ada pembatasan. Tapi tetap tidak melarang investasi, hanya perlu ditata,” pungkasnya
Keberadaan regulasi itu tidak lepas dari amanat Undang-undang (UU) nomer 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Hal ini menjadi perhatian Dinas Perdagangan (Disdag) Kota Malang, terutama untuk para pelaku Usaha Kecil Menengah (UKM) berkaitan dengan aspek perizinan. Disdag menyerukan agar setiap UKM segera mengurus perizinan usaha UKM yang mereka geluti.
Sekretaris Disdag Kota Malang Prihatin Wiludjeng mengungkapkan dalam UU perlindungan konsumen sudah terakomodir jelas tentang hak dan kewajiban para pelaku usaha. Tidak luput pula, hal-hal yang dilarang untuk dilakukan para pelaku UKM. Undang-undang itu juga menjelaskan secara gamblang sanksi yang didapat jika terjadi pelanggaran.
“Maka dari itu, bagi UKM makanan atau minuman kami minta segera mengurus perizinan Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT). Perizinan ini menyertakan label, komposisi bahan, alamat produsen dan juga tanggal kadaluarsa. Untuk mereka yang bergerak di bidang aksesoris kami mohon mengurus Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP),” serunya.
Di sisi lain, digodoknya Ranperda Perubahan Perda Kota Malang No 8/2010 tentang Penyelenggaraan Usaha Perindustrian dan Perdagangan disorot warga. Langkah yang diambil eksekutif bersama legislatif dinilai bukan solusi menyelesaikan carut-marut toko modern di Kota Malang.
Koordinator Aliansi Anti Toko Modern Ilegal (AATMI) Kota Malang, Soetopo Dewangga, menilai, eksekutif dan legislatif hanya mampu ‘berternak’ Perda. Sebab, Kota Malang telah memiliki Perda No 1/2014 tentang Pengelolaan Pusat Perbelanjaan, Toko Modern dan Pemberdayaan Pasar Tradisional.
“Bagaimana dengan Perda itu? Eksekutif dan legislatif hanya bisa ternak Perda, tapi mandul dalam pelaksanaannya,” tegasnya. Dia pun mendesak ada pertanggungjawaban dan evaluasi atas pelaksanaan regulasi yang telah ada. Perda No 1/2014 sendiri memiliki cacat, karena terjadi kesalahan tanggal penandatanganan oleh Wali Kota Malang.
Sebagaimana sempat ramai diberitakan beberapa waktu lalu, Perda No 1/2014 disebut-sebut sebagai simbol amburadulnya sistem penegakkan Perda Kota Malang terkait tata kelola toko modern lantaran regulasi itu ditandatangani pada 30 Februari 2014. Tanggal tersebut tidak pernah ada dalam kalender masehi.
“Perda salah itu harus dipertanggungjawabkan. Selain itu bagaimana evaluasi pelaksanaannya? Uang rakyat dipakai ratusan juta untuk menghasilkan Perda itu, dan cacat tidak jelas nasibnya, harus dipertanggungjawabkan,” tegasnya.
Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Kota Malang, Ya’qud Ananda Gudban, merespon positif kritik itu. Dia bahkan mengapresiasi kepedulian AATMI.
“Artinya kami diberi masukan masyarakat. Ini bentuk partisipasi yang baik dari masyarakat. Saya juga tidak setuju ada Perda tapi pelaksanaannya amburadul,” imbuh Nanda, sapaan akrabnya.
Dia menegaskan, legislatif membuat Perda dimaksudkan untuk mengatasi persoalan yang ada di masyarakat atau publik. Selanjutnya, masih kata Nanda, perlu sinergi bersama antara eksekutif dan legislatif.
“Sebagai eksekutor, pemerintah kota harus mampu melaksanakan Perda tersebut. Saya pikir Perda yang dirancang dengan baik yang melibatkan banyak pihak, para ahli, sehingga dianggap baik dan digedok bersama. Kalau ada perubahan maka tentu ada hal yang perlu penyesuaian. Terkait kesalahan tanggal itu teknis, tapi fatal. Ini menjadi catatan,” pungkasnya.(Coi/Aka)