Menjaga Kebinekaan Kota Batu dengan Tradisi Anjangsana

MALANGVOICE — Rumah Mianto berubah ramai oleh kedatangan banyak warga. Satu per satu warga menyalami Mianto beserta istri dan anaknya seraya mengucapkan selamat merayakan Natal.

Keluarga Mianto menetap di RW 06 Dusun Ngandat Kidul, Desa Mojorejo, Kecamatan Junrejo, Kota Batu, Jawa Timur.

Obrolan tuan rumah dan para tetamu berlangsung ringan dan gayeng. tuan rumah menyuguhkan camilan keripik tempe, jenang, kacang, dan kerupuk, serta buah pisang, salak, dan apel di meja. Beberapa warga berfoto di dekat replika pohon Natal setinggi 1,5 meter yang berada di pojok ruang tamu.

Tamu datang silih berganti. Mianto terlihat sangat bergembira saat melepas tamu yang pulang dan sekaligus menyambut tamu yang datang. Warga yang datang bukan cuma pemeluk Kristen, tapi juga beragama Islam dan Budha. Tamu-tamunya pun tidak hanya dari Ngandat Kidul, tapi juga kerabat dan teman yang bekerja dan atau menetap di daerah lain.

“Warga Ngandat Kidul hari rayanya tiga kali dalam setahun, Mas, yaitu Idul Fitri, Natal, dan Waisak,” kata Mianto kepada MVoice, Minggu (25/12/2016), malam.

Warga saat mengabadikan foto dengan replika pohon Natal.(Miski)

Menurut Mianto, tradisi anjangsana antarumat agama di Ngandat Kidul sudah berlangsung puluhan tahun. Apabila umat Budha merayakan Hari Raya Waisak, umat Kristen dan muslim mengunjungi warga pemeluk Budha. Saat umat Islam merayakan Idul Fitri, warga beragama Kristen dan Budha pun mendatangi rumah warga muslim.

Kegiatan anjangsana biasanya dimulai pukul 17.00 WIB sampai pukul 22.00 WIB. Warga yang suka jagongan malah suka berkunjung di atas pukul 21.00 WIB dan mereka bisa ngobrol sampai pukul 01.00 dini hari. Suasana percakapan lebih seru karena pertemuan di hari raya agama sangat spesial, cuma terjadi setahun sekali.

Guru Agama Kristen di Sekolah Dasar Negeri 1 Ngaglik itu pertama kali masuk Dusun Ngandat Kidul pada 1981. Istrinya asli warga Ngandat Kidul, sedangkan dia pendatang dari Kecamatan Donomulyo, Kabupaten Malang.

Seingat dan setahu Mianto, tradisi anjangsana belum semeriah seperti sekarang. Tradisi saling kunjung-mengunjungi masih sebatas dilakukan tetangga dan kerabat dalam satu kampung. Suasana anjangsana kian meriah seperti sekarang sejak 2000.

Sebagai pendatang tentu dia harus bisa menyesuaikan diri dengan tradisi anjangsana tersebut. Begitu pula yang dilakukan warga pendatang lainnya. Perbedaan agama tidak menjadi sekat pembatas pergaulan sosial. Kebinekaan justru menjadi sumber kebersamaan dan kekeluargaan.

Hal itu dibuktikan, misalnya, dengan dibentuknya perkumpulan kematian. Pengurusnya berasal dari tiga agama. Apalabila ada warga yang meninggal dunia, maka warga bersama-sama menyiapkan segala keperluan pemakaman. Petugas penggali kubur juga campuran dari tiga agama dan mereka mendoakan jenazah warga yang meninggal menurut agama dan kepercayaan masing-masing.

Kekompakan warga juga terlihat di semua aspek kegiatan sosial lainnya, seperti kegiatan bersih desa dan perayaan Hari Kemerdekaan 17 Agustus.

Anggoro, umat Kristen lainnya menguatkan keterangan Mianto. Sebagai orang asli Ngandat Kidul, ia tahu persis kerukunan antarumat beragama di dusunnya dan sejauh ini tidak pernah ada persoalan serius terkait suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Kerukunan ini dikuatkan oleh kenyataan banyak rumah tangga yang anggota keluarganya berbeda agama. Dalam keluarga besar Anggoro sendiri ada yang memeluk Islam, Kristen, dan Budha.

Ada sebuah kisah yang dicontohkan Anggoro. Dulu ada warga muslim pendatang dari Surabaya yang enggan mengikuti tradisi beranjangsana di hari raya Kristen dan Budha. Namun, saat warga itu merayakan Idul Fitri, umat Kristen dan Budha tetap saja bertamu ke rumahnya.

“Bukan berarti warga yang menolak dan tidak mau (beranjangsana), kami musuhi dan jauhi. Justru kami dekati dan ajak dia hingga akhirnya dia ikut serta,” kata Anggoro.

Gesekan antarwarga di beberapa daerah tidak merusak kerukunan di Dusun Ngandat Kidul. Warga menganggap gesekan tersebut tidak berhubungan dengan agama, melainkan upaya adu domba pihak-pihak yang tak menginginkan kedamaian di Indonesia.

“Sekarang bukan zamannya intoleransi. Sudah saatnya ‘Om Toleran Om’,” ujar Anggoro, sambil bercanda, yang disambut gelak tawa para tamu lainnya.

Malu Tidak Rukun Sesama Warga

Warga pemeluk Budha, Suwono, merasakan tradisi anjangsana menjadikan sesama warga saling menguatkan dan melindungi. Hadirnya warga lain ke rumah warga yang sedang merayakan hari raya menciptakan keguyuban dalam pergaulan sehari-hari.

Menurut Suwono, dalam ajaran Budha, tradisi anjangsana pada hari raya agama disebut mudita citta, perasaan gembira tatkala melihat orang lain berbuat baik, yang merupakan empat sifat mulia atau Catur Brahmavihara.

“Mengucapkan selamat hari raya jadinya secara langsung. Kalau cuma lewat media spanduk dan lainnya kurang mengena. Bagi warga sini, malu kalau tidak rukun,” kata Suwono.

Suwono melanjutkan, di Ngandat Kidul terdapat sekitar 60 keluarga umat Budha. Tradisi anjangsana dulunya diawali oleh mahasiswa Budha yang menempuh pendidikan di Padepokan Dhammadipa Arama, yang lokasi dekat dengan Ngandat Kidul. Di Padepokan yang beralamat di Jalan Ir Soekarno, Desa Mojorejo, Kecamatan Junrejo, Kota Batu, ini terdapat Vihara Dhammadipa Arama—didirikan pada 1971—dan Sekolah Tinggi Agama Budha (STAB) Kertarajasa.

Pengurus Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Batu itu menekankan bahwa perbedaan religiusitas dan ajaran agama dalam hidup bermasyarakat merupakan keniscayaan, tapi perbedaan itu tidak boleh menjadi penghalang bagi masyarakat untuk saling mengasihi.

“Perbedaan itu,” Suwono menegaskan, “sejatinya harus bisa menjadi perekat persaudaraan dalam kemanusiaan karena tiap agama pasti mengajarkan kemanusiaan dan kemanusiaan itu bersifat universal.”

Ketua RW 06, Maskud (kiri) saat menerima warga yang berkunjung ke rumahnya sembari mengucapkan selamat Natal.(Miski)

Kuatnya kerukunan umat beragama di Ngandat Kidul juga dapat dilihat dari proses pemilihan calon ketua rukun warga (RW). Meski calon yang maju berbeda agama, tapi tidak sampai menimbulkan masalah serius sampai pada gesekan sosial. Ada saja pihak-pihak yang mencoba menghasut, semisal jangan mau di pimpin yang agamanya berbeda dan semacamnya. Tapi beruntung warga tidak terpengaruh. Para tokoh agama dan tokoh masyarakat bersepakat setiap ada masalah semacam itu diselesaikan lewat forum musyawarah dan mufakat.

Hasilnya, Maskud terpilih menjadi ketua RW kendati dia beragama Kristen. Warga tidak melihat agamanya, melainkan komitmen dan kemampuannya memimpin.

Contoh lain. Pemerintah Desa Mojorejo berencana menyekat tempat pemakaman umum sehingga nanti ada blok kuburan Islam, Kristen, dan Budha. Namun rencana ini ditolak warga.

“Alasan warga, hidup saja sudah rukun, kenapa meninggal kok masih dipisah segala dan jadi masalah. Dari dulu kuburannya sudah jadi satu, akhirnya desa urung memblok kuburan tersebut,” kata Suwono.

Menurut Suwono, tradisi anjangsana di hari raya bahkan sudah menular ke RW 05 dan RW 08 Desa Mojorejo, misalnya. Ia berharap tradisi semacam itu dapat tercipta di semua wilayah Kota Batu, serta menular hingga ke daerah-daerah lain di Indonesia yang tingkat toleransinya masih rendah.

Begitupun, penyuluh Agama Budha di Kementerian Agama Kota Batu itu merasa pendidikan kebinekaan masih kurang. Pengetahuan Pancasila harusnya diajarkan bukan sebagai hafalan, tapi lebih ditekankan pada penghayatan dan pelaksanaannya sehingga kerukunan dan toleransi tetap terawat dan lestari.

Ketua RW 06 Maskud sepaham dengan penjelasan Mianto, Anggoro, dan Suwono.

Maskud menyebutkan, di Ngandat Kidul dihuni sekitar 800 jiwa atau ada 170 keluarga dengan agama berbeda. Mayoritas warga bekerja sebagai sopir angkot dan taksi, wiraswasta, pegawai negeri, karyawan perusahaan, petani dan guru.

Mayoritas warga beragama Islam, lalu Budha, dan Kristen. Bagi umat Islam tersedia satu masjid dan satu musala. Umat Budha beribadah di Vihara Dhammadipa Arama. Sedangkan umat Kristen ikut beribadah di daerah lain.

Dengan demografi seperti itu, kata Maskud, toleransi dan kerukunan umat beragama di Ngandat Kidul sangat kental.

“Sekarang tinggal mempertahankannya ke depan, apakah bisa atau tidak. Tapi kami yakin mampu menjaganya,” ujar Maskud.

Maskud mengakui masih terdapat kekurangan dalam merajut kerukunan umat beragama di Ngandat Kidul, yakni masih adanya beberapa warga yang belum berkenan turut melestarikan tradisi tersebut. Namun Maskud bersama tokoh agama dan tokoh masyarakat terus berupaya meyakinkan warga itu.

“Memang masih ada sedikit kekurangan, tapi mungkin kerukunan tiga agama seperti di RW 06 hanya satu-satunya di Batu dan bahkan di Indonesia. Selain saling menghargai, warga juga sudah pintar memilah dan memilih, sehingga tidak gampang terpengaruh isu-isu negatif dari luar,” kata Maskud.

Mengajarkan Kerukunan Sejak Kecil

Berlangsungnya kerukunan antarumat beragama di Ngandat Kidul tidak lepas dari peran orang tua. Sejak usia sekolah dasar anak-anak Ngandat Kidul sudah diajari dan dikenalkan dengan rasa saling menghormati dan kekeluargaan. Para orang tua pun memberi contoh konkret dengan mentradisikan anjangsana ke rumah warga yang sedang merayakan hari raya.

“Satu minggu sebelum hari raya Kristen dan Budha, anak saya sudah berangan-angan akan datang ke rumah temannya yang beda agama,” kata Suntono, seorang warga beragama Islam.

Karena dibiasakan, anak-anak pun menyadari pentingnya kerukunan tanpa harus banyak diceramahi dan diingatkan berkali-kali. Tradisi itu terus berlanjut juga karena kerelaan warga pendatang untuk menyesuaikan diri dalam lingkungan pergaulan masyarakat.

Atas nama toleransi dan kerukunan pula Suntono tidak menolak mahasiswa Budha ngekos di tempat kos miliknya. Ia menganggap anak kosnya sebagai anak sendiri meski berbeda agama.

“Dulu saya masuk kampung sini yang memeluk Islam masih dua orang. Seiring berjalannya waktu pemeluk Islam terus bertambah, tapi tidak sampai ada gesekan. Di sini orang-orangnya nasionalis semua,” kata Suntono, 71 tahun.

Masyarakat Batu Majemuk

Kota Batu dihuni warga beragama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan penghayat kepercayaan. Pemeluk Islam menjadi warga mayoritas dengan jumlah 199.276 jiwa. Pemeluk Kristen berjumlah 7.463 jiwa, Katolik 3.068 jiwa, Budha 670 jiwa, Hindu 429 jiwa, dan penghayat kepercayaan 333 jiwa.

Berdasarkan data 2015 yang dirilis FKUB Kota Batu, masing-masing pemeluk agama bisa beribadah di 166 masjid, 574 musala, 39 gereja, 6 vihara, 4 pura, dan 1 klenteng. Total, terdapat 790 tempat ibadah di Kota Batu.

Ketua FKUB Kota Batu Abdur Rochim alias Rochim mengatakan, masyarakat Batu sangat majemuk. Mayoritas warga bekerja sebagai petani yang hidup di pedesaan.

“Masyarakat petani lebih mudah diatur dan diarahkan. Mereka tidak melihat perbedaan sebagai ancaman, tapi sebagai kekuatan,” kata Rochim.

Bukan berarti di Kota Batu nihil kejadian yang bisa memecah belah umat agama. Pada 2007, muncul kasus pelemparan al-Quran oleh seorang pendeta dalam acara penataran dan pelatihan doa bersama umat Kristiani di Hotel Asida.

Saat itu, kata Rochim, umat Islam dari Pasuruan dan Gondanglegi siap berangkat ke Kota Batu. Sedangkan warga muslim Batu menyerahkan sepenuhnya ke aparat penegak hukum. Beruntung tokoh agama dan pemerintah sigap bertindak. Meski sudah meminta maaf, namun kasus tersebut tetap disidang di pengadilan dan sang pendeta dipenjara.

Kasus lain, aksi demonstrasi umat Islam di Kecamatan Junrejo yang menolak rencana pembangunan Panti Asuhan Gereja pada 2009. Warga mensinyalir pembangunan panti hanya kedok dalam upaya penyebaran agama Kristen.

“Masih sebatas curiga bahwa ada misi Kristenisasi di balik rencana pembangunan panti. Tapi akhirnya rencana pembangunan gagal dilakukan sehingga tidak muncul konflik di Batu,” kata dia.

Terakhir, pada 14 November 2016, Gereja Katolik Gembala Baik mendapat ancaman lewat telepon akan diledakkan. Rochim memastikan, FKUB bersama tokoh agama dan tokoh masyarakat berusaha meredam keresahan masyarakat dengan menyampaikan bahwa teror terhadap gereja tersebut bukan dilakukan atas nama agama, tapi pihak yang berniat jahat.

Kini, Rochim melalui FKUB mengajak segenap tokoh agama dan masyarakat untuk tiada lelah menyerukan kerukunan, terutama menjelang pemilihan wali kota Batu, Februari 2017 nanti.

FKUB sudah menyiapkan beberapa poin yang nantinya oleh tokoh-tokoh agama bisa disebarkan ke umatnya masing-masing. Inti dari semua poin itu adalah masyarakat boleh berbeda pilihan calon wali kota, tapi jangan sampai perbedaan pilihan itu menimbulkan gesekan dan konflik.

“Proses pemilihan wali kota harus berlangsung jujur, adil, dan damai,” tandasnya. ***

spot_img

Berita Terkini

Arikel Terkait