DI keseharian melintas di jalanan Kota Malang, nyaris di beberapa sudut kota sudah terpampang wajah-wajah para calon wakil rakyat dalam bingkai-bingkai komposisi grafis yang beraneka warna. Ada yang terenyum dengan lugunya, ada yang lagak berwibawa, banyak juga wajah yang tersenyum ragu, separuh percaya diri. Belum lagi yang terlambat sadar kalau dirinya sedang difoto. Ada juga yang sepertinya, sudah difoto berkali-kali dengan berbagai pose namun tak ada pilihan lain. Tidak sedikit juga yang bermuka malu-malu, agak grogi, seperti kenalan baru ketika dipanggil untuk naik panggung bukan untuk menyanyi. Lainnya, beberapa wajah begitu percaya diri, pakai jas, kopiah, jeans, kemeja, seolah tak peduli aral yang mengintai. Sisanya, wajah pasrah, setengah menanggung beban, barangkali karena sekedar apa kata nanti atau didorong oleh entah apa dan siapa.
Sudah tidak mengherankan lagi dan bisa diakui sebagai kondisi objektif, kalau hampir sebagian besar calon-calon wakil rakyat di Malang belum sepenuhnya menyadari pentignya hal-hal yang boleh jadi diaggap sepele dalam periklanan politik sebagai cara penting dalam berkomunikasi dengan publik. Kalau soal media, jangan ditanya, saluran komunikasi apa yang sekarang tidak bisa dipakai untuk ‘bicara’. Kreativitas pun akhirnya adalah kemampuan ‘membaca’ harapan publik dan mewujudkan persepsi mereka tentang sosok wakil rakyat dan pemimpin yang mereka dambakan. Harapan dan tuntutan memang kadang terlalu tinggi, tetapi bukankah bisa disepahamkan dengan cara-cara yang manis, apalagi di jumpa pertama, apalagi belum kenal betul sosoknya tapi terus disuguhi fotonya.
Ada yang disebut key visual. Unsur visual simple untuk merebut kesan pertama terhadap sosok. Minimal ada kesan kecil yang tertinggal di hati saat memandang foto calon legislatif. Senyum, pandangan mata, pancaran wajah, bahasa tubuh. Apa sih sulitnya tersenyum. Kata orang, kalau kita tersenyum, energi senyum orang lain akan ikut menggerakkan terbitnya senyum di bibirnya. Pandang mata akan membuat kita percaya, apalagi dengan raut wajah yang menyiratkan harapan, optimis. Kalau wajahnya ngalem bagaimana? Juga kemeja dan busana. Memberi tanda kesederhaan karakter yang siap bekerja ataukah birokrat berbunga citra. Kalau soal warna kan apa kata partainya. Apa masih perlu mengepalkan tangan menegak, atau memajang juga tokoh-tokoh pemimpin masyhur? Pede sajalah. Perlu rasanya pengarah penampilan dan pengarah fotografi yang tahu betul karakter dan visi calon. Agar visual impact-nya jadi berasa.
Juga yang namanya key word. Kata banyak orang, mulutmu harimaumu. Nggak juga. Tidak sedikit yang mulut saja, entah harimaunya kemana. Dalam bingkai komposisi grafis iklan politik yang ada saat ini, masih lazim digunakan jargon-jargon konvensional, bahkan malah ada yang justru bisa menghambat komunikasi dengan publik. Pemilihan kata-kata yang tidak tepat dalam konteks perkembangan perilaku berbahasa masyarakat saat ini, tidak jernih merepresentasikan visi. Kadang terlalu jadul, orang sudah lupa. Keluali kalau niatnya membuat yang membaca tertawa.
Selayaknya tidak hanya pada periklanan politik on screen (tv, web, digital flyer, dll.) dan on surface (baliho, poster, dll), namun juga pada pertemuan-pertemuan dengan komunitas, sobo kampung, dsb., kata dan kalimat yang terucap bisa mencerminkan kualitas sosok pribadi yang paham persoalan masyarakat, melahirkan statement-statement yang jauh dari over promise. Janji palsu alias pahape. Di sinilah diperkukan seorang copy writer dan penasehat perilaku dan tutur kata, agar setiap ucapan yang meluncur dari bibir dapat menjadi tanda bagi public untuk hormat dan percaya.
Jangan lupa, ketika wajah-wajah para caleg sudah terpampang di ruang benak masyarakat, maka wajah dan nama sudah menjadi merk, atau brand, atau cap. Tentu, masyarakat akan berharap dapat terpenuhinya keuntungan emosional dan kebutuhan fungsional yang diharapkan. Masyarakat akan penasaran dengan apa kelebihan dan keunikan para caleg. Boleh jadi yang paling dibutuhkan saat ini adalah wakil-wakil rakyat yang inside-out, insight-out, dan memiliki bekal seonggok paradigma baru dalam pemikiran dan tindakan politik untuk kepentingan masyarakat. Show must go on. Kalau soal niat, siapa bisa membaca hati? (Idur)