Mempertanyakan “Salam Satu Jiwa”

Ferry Anggriawan S.H., M.H

*) Oleh: Ferry Anggriawan S.H., M.H

Salah satu klub kebanggaan Warga Malang yang di eranya mempunyai basis supporter yang massive, serta menjadi barometer maniac bagi supporter-supporter lainnya di Indonesia, baik di era Galatama ataupun Ligina, saat ini sedang berada diujung tanduk terkait eksistensinya. Gelombang kemelaratan klub, kesulitan finansial telah dilewati dengan tegar dan bisa dilewati dengan kepala tegak. Hantaman perpecahan klub yang mengakibatkan dualisme klub, tetap bisa dijalani secara diam-diam dengan kepalsuan legalitas dan penyelundupan hukum dari kedua kubu yang secara keabsahan hukum sudah jauh dari legal historynya.

Gelombang-gelombang dan hantaman-hantaman itu bisa dilewati bersama, karena mereka masih punya basis masa yang loyal dengan klub ini, yang siap menumbalkan harta, darah bahkan nyawa sekalipun di setiap yel-yel lagunya demi satu nama yang dibanggakan yaitu “AREMA”. 1 Oktober 2022 keadaan berubah ketika 135 nyawa menjadi korban Tragedi Kanjuruhan, sekaligus menjadi rentetan tinta hitam sejarah sepakbola nasional dan tragedi berdarah di mata dunia. Membuat klub ini seperti kehilangan arah mata angin atau bahkan sengaja mengikuti arah mata angin lain untuk lari dari tanggungjawab hukum sebagai “unity” dengan supporternya, yang selalu diteriakkan dalam jargonnya yang katanya “Salam Satu Jiwa, Arema!”.

Mereka yang mencari pembenaran dari sudut pandang klub berkata; “lohkan sudah dapat santunan dari klub, loh kan sudah mendapat bantuan dan pengobatan. Camkan sekali lagi satu jiwa itu ketika salah satu bagian jiwa itu sakit, maka bagian jiwa yang lain juga merasakan sakit dan ketika salah satu bagian berjuang menuntut keadilan atas kematian sanak keluarganya, maka bagian yang lain harus ikut berpartisipasi memperjuangkan keadilan tersebut, harus ada simbiosis mutualisme antar bagian tersebut. Kalau para korban sedang berjuang mencari keadilan atas keluarganya tetapi klub acuh tak acuh terhadap proses hukum yang diperjuangkan supporternya, maka “salam satu jiwa” yang diteriakkan di setiap pertandingan di Kanjuruhan, perlu diragukan kepada klub ini.
Pencarian arah mata angin pembenaran memang selalu menjadi hal yang manis di mata umum, mulai dari kehadiran manajemen Arema di acara tahlil hingga doa bersama kepada korban, tetapi sekali lagi tindakan itu hanya cukup dibenarkan secara norma agama dan norma sosial, penegakkan norma hukum sengaja dihilangkan dengan cukup diselesaikan dengan sampul-sampul ceremony di atas, yang jauh dari sistem penegakkan hukum itu sendiri.

Aremania dan Manajemen klub adalah satu kesatuan yang dilambangkan dengan jargon; “Salam Satu Jiwa”. Kalau sampai detik ini, Manajemen Arema hanya fokus pada kompetisi yang terus bergulir dengan mengesampingkan bagian jiwa lainnya yang sedang berjuang mengais-ngais keadilan, bersikap tidak tahu- menahu melihat hak-hak konstitusional supportenya dikebiri oleh sistem peradilan yang berjalan, maka disini timbul pertanyaan besar tentang hakikat jargon ini. Apakah Salam Satu Jiwa sebenarnya ditujukan kepada PSSI atau “Salam Satu Jiwa” itu adalah kesamaan rasa dan cinta yang harus diperjuangkan bersama-sama bersama supporternya. Di sini saya sebagai Warga Malang sedang mempertanyakan “Salam Satu Jiwa”!

*) Ferry Anggriawan S.H., M.H
Dosen Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang