Massa Aksi Serukan Stop Kriminalisasi Petani dan Perampasan Lahan di Depan Gedung DPRD Kota Malang

Peringatan Hari Tani Nasional oleh Aliansi Perjuangan Demokrasi di depan gedung DPRD Kota Malang, Kamis (24/9). (Aziz Ramadani MVoice)

MALANGVOICE – Ratusan massa tergabung dalam Aliansi Perjuangan Demokrasi menggelar aksi damai memperingati Hari Tani Nasional di depan gedung DPRD Kota Malang, Kamis (24/9). Mereka menyerukan beberapa poin tuntutan kepada pemerintahan, termasuk agar mengusut tuntas konflik agraria.

Selain menggelar orasi, massa aksi juga memasang beberapa poster kritikan satire. Salahsatunya poster yang menyatakan gedung DPRD Kota Malang masih jadi warung pecel.

Kritikan tersebut bukan tanpa sebab. Lantaran berulangkali menyerukan protes atas kebijakan pemerintah yang tak mempedulikan hak-hak rakyat, pihak legislatif atau dewan hanya mengumbar janji.

“Isu-isu perampasan tanah rakyat dan petani akan terus ada setiap hari. Ini karena seluruh partai politik yang duduk di DPR dikuasai oligarki. Maka hanya ada satu kata, revolusi,” kata salah satu orator aksi.

Sementara itu Aliansi Perjuangan Demokrasi melalui keterangan tertulisnya menyatakan, bahwa berbagai problematika menimpa secara sitematis melalui produk hukum yang tidak berpihak kepada rakyat, dan perampasan ruang hidup masyarakat oleh investasi. Persoalan agraria, ancaman omnibus law, mahalnya pendidikan yang berorientasi industri, darurat demokrasi, pers dan militerisme adalah sederet persoalan yang di hadapi rakyat Indonesia hari ini.

“Di wilayah agraria salah satunya, di Hari Tani ini kita dihadapkan dengan konflik agraria yang tak kunjung usai,” kata Humas Aliansi Perjuangan Demokrasi, Mansur Lumaela.

Ia melanjutkan, berdasarkan data pada akhir tahun 2019 telah terjadi 279 letusan konflik agraria dengan luasan wilayah konflik mencapai 734.239,3 hektar. Jumlah masyarakat terdampak konflik agraria tahun ini sebanyak 109.042 KK yang tersebar di 420 desa, di seluruh provinsi di tanah air. Dibandingkan situasi konflik agraria tahun lalu, yaitu 410 letusan konflik, maka terjadi penurunan jumlah letusan konflik agraria di tahun ini.

“Namun, apabila dilihat dari eskalasi kekerasan penanganan konflik agraria, jumlah korban dan masyarakat yang ditangkap karena mempertahankan haknya atas tanah, pada tahun ini ada peningkatan yang menghawatirkan dalam hal brutalitas aparat di wilayah-wilayah konflik agraria,” bebernya.

Belum lagi perampasan lahan yang terjadi melalui hadirnya investasi dan alih fungsi lahan menciptakan permasalahan nyata bagi petani yang akan kehilangan mata pencahariannya. Disamping itu kriminalisasi kerap terjadi pada petani, masyarakat adat, dan aktivis pro demokrasi melaluai berbagai cara. Represifitas aparat juga menjadi salah satu aktor utama pemberangusan demokrasi dengan berbagai jenis represif dan menciderai kebebasan berpendapat.

“Maka, tidak bisa lagi gerakan rakyat terpecah-pecah dalam kepentingan yang berbeda dan sektoral, tapi harus mulai memikirkan masa depan rakyat Indonesia yang semakin hari terus di eksploitasi oleh sistem kapitalisme,” pungkasnya.(der)